Membiasakan diri buat menulis rutin itu, susah ya. Iya, buat saya. Kalau kalian enggak berasa susah, ya beruntunglah kalian. Sebenarnya saya sadar kok kebiasaan nggak sehat ini musti dienyahkan. Tapi terkadang banyak alasan. Paling sederhana ya: capek. Atau: nggak ada waktu. Yang paling susah dilawan: malas. Saking malasnya, jangankan update blog, buka mata di pagi hari aja saya malas – eh, itu mah banyak temannya yah.
Jadi maafkan kalau baru sekarang saya sempat bercerita tentang banyak kejadian di hari-hari kemarin, termasuk anniversary yang pas 2 November 2015 kemarin berusia 2 tahun. Yah, baru dua tahun, nggak perlu dibanggain lah! Begitu mungkin kata haters. (Berasa punya haters aja hahah.)
Hari jadian resmi pacaran itu buat saya sesuatu yang layak diperingati melebihi perayaan tujuhbelasan maupun perayaan dapat uang arisan. Cuma ‘kan saya nggak mau lebay dengan membagi romantisme kisah kasih berbunga-bunga apalah dan cerita cinta apalah antara kami berdua. Biar itu jadi konsumsi kami dan teman dekat saja.
Trus, apa dong yang mau diceritain? Well, sekali-sekali boleh deh di blog ini saya berbagi cerita perjalanan, ya dalam rangka perayaan anniversary tadi.
Perjalanan ini sudah kami rancang sejak awal tahun 2015. Biasalah, memanfaatkan promo hemat penerbangan kelas ekonomis menengah kerakyatan. Pacar pengin pergi ke suatu tempat yang nggak lazim. Jangan Singapore atau Bangkok ya, pesannya. Destinasi itu sudah jadi destinasi standar bagi para pejalan. Setelah cari mencari, jatuhlah pilihan ke Cebu, Filipina. Alasan saya waktu itu karena (dari hasil googling) Cebu mengandung banyak kekayaan bangunan tua ala-ala heritage gitu, sesuailah dengan minat sang pacar. (Yang mana sebenarnya saya salah hahahaha. Pacar itu penyuka peninggalan bersejarah ala megalitikum, macam yang di Machu Pichu atau Pulau Paskah sana. Bukan warisan budaya heritage. Ya, beda tipislah, anggap aja gitu.)
Tujuan sudah ditetapkan, e lha kok saya pindah ke Jakarta dan kantor pusat berada di Kuala Lumpur. Bagus deh, jadi kami bisa langsung pergi dari Jakarta menuju Cebu, bayangkan kalau saya masih di Bali, lebih ribet ‘kan.
Itinerary baru kami susun seminggu-dua jelang Hari-H. Iya, saya memang gitu, jangan dicontoh ya. Saya berprinsip di mana ada uang, jalan-jalan nggak jadi masalah. Jadi ya nyante aja, booking hotel pun model last minute, karena saya tahu November bukanlah peak season jadi nyantelah soal hotel.
Okay, berikut itinerary perjalanan kami, siapa tahu bisa buat inspirasi.
Table of Contents
ToggleHari Pertama, 30 Oktober 2015
Kami berangkat siang hari dari Jakarta menuju Kuala Lumpur. Memang diniatin nginep semalam di Kuala Lumpur, sebelum esoknya kami terbang ke Cebu. Tiba di Kuala Lumpur, naik KLIA Express dengan tiket RM 35 per orang sekali jalan menuju Sentral Station alias Stesen Sentral. Nah, ceritanya nih, kami ‘kan menginap di Prescott Hotel Kuala Lumpur Sentral. Kalau dilihat di Google Maps sih memang dekat, tapi dasar kami pelancong kurang nyali, tetap aja naik taksi. Sepertinya si taksi muter-muter dulu ampe argo kurang lebih RM 10, gapapa deh karena sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan bangunan bersejarah nan antik di area ini.
Prescott Hotel Kuala Lumpur Sentral menyenangkan, sesuai deh dengan apa yang kami bayar. Hanya saja, jangan dibandingkan dengan hotel di Bali ya. Jauh lebih menyenangkan hotel di Bali, baik dari segi harga maupun pelayanan.
Semalam di Malaysia, ngapain? Karena kami manusia yang sederhana nggak banyak mau, dan kami nggak keberatan dicap turis mainstream beneran, pastilah kami ke Alor Street untuk cari makan dan jalan-jalan dikit. Pengalaman yang menyenangkan! Gimana nggak menyenangkan karena begitu mudah menemukan makanan yang haram alias mengandung babi. Sepanjang jalan senang banget melihat kemeriahan malam, ruas jalan dipenuhi turis beragam bangsa, dan seperti di Indonesia ramai juga dengan pedagang asongan dengan komoditas andalan: tongsis!
Puas menyantap makan malam, muter-muter Alor Street, menikmati eskrim kelapa dan membeli sekantung kacang berangin alias chestnut kesukaan kami, kami pulang deh lalu istirahat di kamar hotel.
Hari Kedua, 31 Oktober 2015
Akhirnya tibalah hari yang dinanti untuk terbang ke Cebu. Pagi-pagi kami sudah ke Stesen Sentral, karena udah agak pinter nih, kami jalan kaki aja, nggak lama kok nggak nyampe 30 menit dengan jalan santai. Naik KLIA Express lagi ke airport, lalu terbang ke Cebu. Agak-agak blank sebenarnya soal Cebu, bekal kami cuma list restoran dan rasa penasaran ingin mencicipi lezatnya lechon alias babi guling ala Cebu.
Empat jam penerbangan, nyampe di Cebu siang dan airportnya sederhana gitu yak. Naik taksi ke hotel yang sudah kami pesan sebelumnya yaitu Red Planet Hotel, kurang lebih PHP 200. Nggak perlu takut, taksi berargo dan aman kok, lagian ternyata Cebu itu seumprit, mau diputer-puterin juga argonya gak bakal bikin jebol kantong nggak kayak di Jakarta.
Sepanjang perjalanan yang kurang lebih 40 menit, kesan pertama tentang Cebu adalah: apa ya… aneh? Serius, kami bertanya-tanya gitu. Soalnya dibilang kota besar, nggak juga, nggak kayak Jakarta dengan pencakar langit di sana-sini. Dibilang kota kecil, kok ya internet connection 4G udah bukan barang asing. Udah gitu lihat Jeepney, mobil angkutan umum yang dipenuhi penumpang dan displaynya unik banget, rasanya nggak pas deh kalo disebut metropolitan.
Ohya, yang langsung bikin kami senang nggak karuan ya pastinya karena sepanjang jalan bertebaran warung penjaja lechon alias babi di mana-mana! Bali aja kalah cuy!
Anyway, sampailah kami di Red Planet Hotel. Proses check-in cepat dan mudah, front office fasih berbahasa Inggris meski dengan logat Filipino. Kamar standarlah, yang penting tempat tidur king size, bersih dan koneksi internet kencang! Kami menyempatkan ke 7-Eleven (iye, standar banget ye?) dan terpekik girang ketika menemukan pop-mie rasa babi. Waaah, memang tepat tindakan pacar yang berbekal suplemen Omepros yang konon bisa memerangi kolesterol. #bukansponsor
Setelah merasa cukup beristirahat, segera kami menuju Ayala Mall yang letaknya cuma selemparan kancut dari hotel. Itu deh alasan kami memilih Red Planet Hotel: gampang akses ke mana-mana. Di Ayala Mall, apalah yang menjadi tujuan kami, tak lain tak bukan adalah CnT Lechon. Yaaayyy. Akhirnya kami makan lechon juga! Meskipun saat menemukan counter CnT Lechon yang ternyata di food court gitu, kami celingukan bingung belinya gimana ya? Nanya ke satu cewek muda yang lagi memesan lechon, dia pun ikut bingung menjelaskan dengan bahasa Inggris belepotan plus bahasa Tarzan. Nggak masalah deh, akhirnya kami pun memesan sepiring lechon dengan puso alias ketupat.
Kesan pertama? Enak bangeeetttt. Agak asin sih, tapi bumbunya jauh lebih berasa dan lebih enak dibanding babi guling yang biasa kami nikmati di Bali. Very oily sih kalau kata pacar… duh, nulis ini malah sambil ngeces pengin makan lechon lagi huhuhu.
Usai makan lechon, kami berkeliling mall dengan niat menyelami kehidupan bermasyarakat ala Cebu di akhir pekan. Ayala Mall ini cukup gede loh, semacam Grand Indonesia gitu deh, meskipun layout dan atmosfer di beberapa tempat terasa seperti Plaza Semanggi.
Kami sempatkan mampir ke satu kafe, hanya gara-gara melihat di display mereka ada lechon pie! Duh, orang Cebu ini yak, apa-apa adalah unsur babi dan lechonnya. Ini nih penampakan lechon pie, siapa tahu ada yang minat bikin di Jakarta, saya pesan deh!
Puas berjalan-jalan, kami pulang ke hotel dan tidur. Hehehe, what a simple us, yes?
Berhubung artikel ini sudah melebihi 1,000 kata, daripada bikin pusing pembaca, mending kita sambung lagi ya di artikel berikutnya. Janji deh, nggak pake lama updatenya! Nggak bakal sampai anniversary ketiga kok!
Oiya, kalau pengin tahu lebih jauh tentang hotel tempat kami menginap, bisa klik button di bawah ini ya!
3 Responses