Hari Kedua: Singapura – Ho Chi Minh City

 

Hari kedua diawali dengan bangun pagi, beberes lalu memanggil Uber untuk pergi ke bandara. Yha kami memang tipikal traveler yang malas dan ogah susah. Sebenarnya sih dari akomodasi bisa ke stasiun MRT lalu sekali trip singkat saja sudah sampai ke Changi. Tapi, kalau ada yang mudah, kenapa pilih yang susah? (Oya, yang belum baca kisah hari pertama, silakan baca di tautan berikut ya tentang hari pertama perjalanan Jakarta – Singapura.)

Jangan lupa bawa handuk

Nggak pakai lama, Uber sudah tiba. Kami langsung cabut tanpa pamit ke tuan rumah. Lha gimana, diketuk-ketuk pintu kamarnya, tiada yang menyahut. Yang penting, kami sudah bayar kamar sebelumnya saat booking di Airbnb.

BTW pelajaran berharga yang kami dapat ketika booking via Airbnb: yakinkan perlengkapan yang tersedia di rumah tersebut lengkap, karena yang namanya rumah bukanlah hotel yang punya standar sendiri. Dalam kasus kami, ternyata tuan rumah tidak menyediakan handuk dan kami nggak kepikiran untuk membawa handuk. Jadi? Di antara pilihan beli handuk atau tidak mandi, kami memilih tidak mandi saja. Cukup pakai tissue basah hehehe.

Pengemudi Uber ternyata cewek (info gak penting sih). Dari akomodasi di Kembangan sampai Bandara Changi hanya makan waktu kurang dari 30 menit dan kurang lebih SGD 16. Lebih mahal dari taksi Changi – Kembangan yang cuma SGD 12. Mungkin kena surcharge ya?

Seperti biasa, saya sempat tanya jawab sama pengemudi Uber (kebiasaan di tanah air). Dia bilang, agak surprise melihat kami orang Indonesia naik Uber, karena katanya orang Indonesia lebih senang naik Grab. Keberadaan Uber di Singapura juga baik-baik saja, nggak seperti di Indonesia yang dicekal sana-sini dan ditentang habis oleh taksi konvensional.

Sampai di bandara, check-in tanpa masalah (oya sebelumnya pas di Jakarta, mau web check-in, sedih deh ditolak sama situs Tiger Air, katanya karena penerbangan kami termasuk penerbangan transit, web check-in tidak diperkenankan). Lewat imigrasi dengan cepat dan tanpa hambatan. Belanja-belanja dikit di duty free yang menyenangkan banget buat saya, lalu menunggu penerbangan ke Ho Chi Minh City.

Duty free di Changi bener-bener surga deh. Akhirnya kami mendapatkan parfum Elie Saab yang selama ini dicari kekasih saya. (Di mall Jakarta sih mungkin ada, tapi kalau bisa beli di duty free, kenapa enggak hehehe.) Waktu ke Kuala Lumpur tempo hari, ternyata nggak ada di KLIA Duty Free. Search di internet, adanya di Changi. Jadi boleh dibilang parfum Elie Saab ini salah satu alasan mengapa kami memutuskan transit di Singapura.

Lebih senang lagi ketika menemukan Elie Saab yang travel pack. Yang botolnya kecil-kecil dikemas jadi satu itu. Kami lebih memilih travel pack karena bisa dapat bermacam varian, mudah dibawa (selalu ada satu botol kecil di tas kantor saya), dan travel pack gini cuma ada di duty free, susah dicari di toko parfum biasa.

Nggak bakal mati gaya deh di Changi. Internet tersedia gratis dan cepat. Beberapa konsol komputer pun tersedia gratis. Untuk mengisi waktu bolehlah buka-buka Facebook dan Twitter. Dan foto-foto pastinya.

Leyeh leyeh di Changi Airport
Leyeh-leyeh di Changi sembari pamer Docmart baru hadiah anniversary dari kekasih

Penerbangan tanpa delay. Dari Singapura pukul 13.10 dan kami mendarat di Bandara Tan Son Nhat pukul 14.10 waktu setempat. Makan waktu dua jam, tapi ada perbedaan waktu antara Singapura dan Ho Chi Minh.

Ho Chi Minh City tampak seksi dari udara

Sungainya bercabang banyaaak....
Sungainya bercabang banyaaak

Mulai excited dong, nggak sabar menjejakkan kaki di Ho Chi Minh City. Ini pemandangan kota dari udara, mirip Jakarta ya? Memang, pembangunan di Ho Chi Minh sangat pesat. Nggak bakal terlihat deh kalau kota atau negara ini dulunya terlibat Perang Vietnam yang dahsyat. (More stories about this later)

Kota Ho Chi Minh dari udara, padat seperti Jakarta ya....
Kota Ho Chi Minh dari udara, padat seperti Jakarta

Pesawat landing dengan mulus. Bandara Tan Son Nhat terlihat tak begitu heboh seperti Changi atau KLIA. Mirip-mirip Jakarta dah. Antri di imigrasi lumayan panjang, mereka nggak membedakan jalur untuk domestik maupun foreigner. Hanya ada jalur non-visa dan jalur visa on arrival. Kita orang Indonesia sih, kagak perlu visa.

First thing first

Lepas dari imigrasi, tujuan pertama adalah ATM. Gampang ditemui dan banyak alternatif. Lalu: beli SIM Card. Banyak loket yang menawarkan SIM Card dari berbagai provider dan berbagai pilihan paket data dimulai dari VND 170.000 untuk dapatkan paket data 3.5 GB. Karena kami butuh internet tanpa putus, untuk amannya kami beli paket yang unlimited, VND 300,000. Cukup beli satu saja, habis itu pakai tethering bisa buat berdua.

Oya, sepertinya ada paket yang lebih murah, tapi kami malas membanding-bandingkan harga dan lapar sudah melanda pun.

Oya lagi, mata uang di Vietnam adalah Vietnamese Dong (VND). Untuk gampangnya kami pakai rumus bagi dua tambah dikit untuk dikonversi ke Rupiah. Senang, akhirnya ada di negara yang mata uangnya lebih lemah dibanding Indonesia! Haha!

Selesai urusan SIM Card, kami cari taksi. Loket yang menawarkan SIM Card rata-rata juga menawarkan layanan taksi. Dari bandara sampai ke hotel tujuan, dikenakan tarif VND 220.000. Plus bonus kartu nama, katanya kalau mau pesan untuk kepulangan kami, bisa pesan lewat telepon dan bakal dikasih harga diskon VND 150.000.

BTW kalau mau pakai shuttle bus dari bandara, tersedia juga bis no 152 dengan tiket hanya VND 5.000. Info ini saya dapat dari teman yang bulan kemarin berlibur ke Ho Chi Minh.

Perjalanan dari bandara menuju hotel kami di distrik 1 kota Ho Chi Minh memakan waktu kurang dari satu jam, diwarnai dengan hujan lumayan deras. Pemandangan sepanjang jalan, seperti layaknya kota-kota di Asia, hanya saja ini diwarnai baliho atau billboard berhuruf Vietnam.

Della Boutique Hotel

Untung hujan mulai reda ketika kami sampai di Della Boutique Hotel di distrik satu.

Bukan, ini bukan hotel berbintang. Ini hotel butik kecil nan mungil, bangunannya berupa ruko dengan plang “Della Tower”. Mereka punya kamar dormitory alias kamar jenis asrama di mana kita bisa tinggal bareng-bareng dengan tamu lain, namun kami tentu saja memilih kamar Deluxe Double demi kenyamanan berdua.

Kesan pertama: menyenangkan. Staf di front-office melayani kami dengan ramah dan dengan bahasa Inggris yang mudah dimengerti. Pun ada satu manager yang ikut menyambut kami, tampangnya hipster banget deh. Ramah pula, menghantarkan kami sampai ke depan pintu kamar.

Della Boutique Hotel Ho Chi Minh City
Menunggu kunci kamar sambil menikmati welcome drink dan pemandangan bapak hipster

Sampai di kamar di lantai 5, kami senang sekali, nggak salah pilih hotel. Kamar seluas 27 meter persegi ini benar-benar sesuai dengan deskripsi Della Boutique Hotel di Booking.com tempat kami memesan kamar. Kamar mandi juga luas lengkap dengan sabun dan shampoo. Berasa di rumah banget, karena sabunnya pakai sabun Lux!

Yang bikin lebih senang lagi, internet di Ho Chi Minh benar-benar kencang di semua area termasuk hotel kami.

Selesai bersih-bersih badan, teman lama saya ternyata sudah siap untuk menjelajah Ho Chi Minh bersama kami (hai, Martha!). Teman lama saya dari Bali ini baru dua bulan pindah ke Ho Chi Minh setelah lima tahun tinggal di Kolombo.

The Hungry Pig yang bakal bikin nggak hungry lagi

Tujuan pertama: makan! Kami sudah membawa daftar tempat makan yang wajib kunjung, dan tempat pertama yang kami datangi adalah The Hungry Pig. Dari hotel, kami pesan Grab. Enak, di Ho Chi Minh sudah ada Grab baik GrabCar maupun GrabBike. Sangat membantu kenyamanan jalan-jalan!

the-hungry-pig-hcmc
The Hungry Pig, 144 Cong Quynh, District 1, Kota Ho Chi Minh 70000

The Hungry Pig, seperti namanya, menyajikan burger dan sandwich dengan isian mengandung babi. Tempatnya mungil, terletak di Distrik 1, dekat banget dengan pusat tourist backpacker di Jalan Bui Vien. Selain menu a la carte, ada juga menu “Create Your Own Sandwich” seperti foto di bawah ini.

Menunya dari karton dilaminating, kita pakai spidol jadi hemat tinggal hapus dan dipakai lagi....
Menunya dari karton dilaminating, kita pilih pakai spidol jadi hemat, tinggal hapus dan dipakai lagi

Makanan hadir dengan porsi yang mengenyangkan banget. Rasanya lezat karena yang namanya bacon, pastilah lezat. Apalagi ditemani bia alias beer.

sandwich-the-hungry-pig
Create Your Own Sandwich at The Hungry Pig

Jalan kaki di Ho Chi Minh

Puas dan kenyang di The Hungry Pig (nggak sampai seratus ribu rupiah per orang, sudah bisa kenyang dan minum bir), kami melanjutkan perjalanan. Martha, teman kami hendak bertemu suaminya yang pulang kerja. Kami berjalan kaki menyusuri Bui Vien, melewati pasar malam di Ben Thanh Market, sambil mencoba beradaptasi dengan lalu lintas Ho Chi Minh yang nggak kalah riuh bila dibandingkan dengan Jakarta.

Ho Chi Minh menerapkan jalur kanan dalam berlalu lintas dan setir mobil berada di sebelah kiri, kebalikan dari Indonesia. Konsekuensinya, kalau menyeberang jalan di Ho Chi Minh, kita harus menengok ke kiri terlebih dulu untuk cek ada kendaraan yang hendak lewat atau nggak. Beda dengan di Indonesia ‘kan, kita tengok kanan dulu. Mengubah kebiasaan ini, ternyata cukup susah!

Sama seperti Jakarta, Ho Chi Minh juga dipenuhi motor bak lautan. Malah terkadang saya merasa, lebih parah dari Jakarta. Di Ho Chi Minh, motor naik trotoar sepertinya hal yang biasa. Herannya, kalau di persimpangan yang semrawut, para pengendara motor atau mobil saling silang ambil jalan, tapi semua tampak kalem dan jarang main klakson. Kalaupun ada yang nyaris menabrak, solusinya cuma supir senyum dan lambaikan tangan ke kamera. Eh.

Tips dari teman saya: kalau menyeberang jalan di Ho Chi Minh, jangan berhenti di tengah jalan! Pokoknya jalan terus, motor dan mobil akan mengalah dan kita bisa tiba di seberang dengan selamat.

Tips di atas itu, kayaknya susah diterapkan di Jakarta ya?

Cerita ringkas tentang kopi Vietnam

Eniwei, setelah berjalan hampir satu jam (menyenangkan sih, melihat suasana malam dan jadi tahu spot-spot menarik untuk dikunjungi esok hari), kami tiba di kafe kecil berjudul Mr 8 Coffee dan bertemu suami Martha di sana. Maaf, karena keringetan jalan kaki, jadi ambil gambarnya cuma satu ini.

sam_7175
Menu di Mr.8 Coffee, murah ‘kan harganya

Kami duduk di trotoar di bangku kecil, dan menghadap ke jalan. Soal bangku kecil itu, kata suami Martha, untuk menghemat bahan baku. Nggak tahu sih benar tidaknya. Soal menghadap ke jalan, posisinya jadi kayak nonton bioskop gitu, semua tamu menghadap ke arah yang sama. Entah mengapa. Mungkin memang cari pemandangan orang lalu lalang cukup menyenangkan bagi mereka.

Kopi Vietnam sudah terkenal di mana-mana, apalagi di Indonesia setelah tragedi kopi sianida. Ada satu jenis kopi yang sayangnya cuma bisa didapat di Hanoi, bukan Ho Chi Minh. Yaitu egg coffee. Bukan kayak STMJ ya. Kalo egg coffee ini, telur dikocok sampai berbuih lalu dicampur dengan kopi. Ada yang bilang sih, saat jaman perang dulu sudah mendapatkan susu sapi. Jadi ada yang kreatif, bikin kopi pakai campuran telur itu. Dan katanya surprisingly rasanya enak!

Usai menikmati secangkir kopi, kami menuju ke restoran untuk makan malam (lagi). Akhirnya kami mencicipi juga makanan khas Vietnam di restoran ini yaitu com tam (broken rice khas Vietnam) dengan potongan daging babi bakar. Sayang, lupa foto!

Selesai makan malam, kami berjalan kaki menuju parkiran. Berjalan kaki di Ho Chi Minh sangatlah menyenangkan. Trotoar lebar ramah bagi pejalan kaki. Manusianya juga cuek, mau pakai celana gemes nggak ada yang jahil suit-suit menggoda.

Kami diantar ke hotel, dan begitu masuk kamar, mandi lalu tidur! Beda banget dengan jaman muda dulu, boro-boro tidur, kaki rasanya gatal pengin jalan dan kalau malam, nggak puas kalau nggak clubbing.

Ini cerita hari kedua. Stay tune untuk cerita hari ketiga dan seterusnya ya!

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru