Tidak terasa, sudah hari keenam alias hari terakhir kami berjalan-jalan. Oya, tautan untuk perjalanan hari-hari sebelumnya bisa diklik ya:
- Hari Pertama: Jakarta – Singapura
- Hari Kedua: Singapura – Ho Chi Minh
- Hari Ketiga: Wisata Kuliner di Ho Chi Minh
- Hari Keempat: Wisata Kuliner di Ho Chi Minh
- Hari Kelima: Banh Mi dan Bitexco
Kami pulang naik Malindo Air. Airlines ini termasuk grup Lion Air. Karena berangkatnya kami sudah lewat Singapura, maka untuk pulangnya kami mampir Kuala Lumpur aja. Biar nggak bosan. Meskipun cuma transit 7 jam dan nggak pakai nginap.
Dari Duc Vuong Hotel di Jalan Bui Vien, kami naik transportasi yang disediakan hotel. Daripada ribet naik taksi. Bayar VND 170.000 untuk berdua. Pas sampai bandara, si driver terus terang minta tip. Kasih dah.
Disarankan untuk datang jauh lebih awal di Bandara Tan Son Nhat ini apabila ingin bepergian ke luar negeri. Mengapa? Karena antrian di imigrasi lumayan panjang dan lambat. Kami butuh waktu sekitar 45 menit sebelum melewati imigrasi dengan sukses tanpa halangan.
Eh, ada sedikit halangan ding.
Waktu kami di Ben Thanh, kami sempat membeli pemantik berbentuk granat kecil. Saking imutnya saya malah lupa pernah belanja pemantik yang lantas saya taruh di kantong depan ransel. Jadi waktu lewat detector di bandara, jelaslah petugas imigrasi menyuruh saya membuka ransel dan mengeluarkan barang itu. Sedikit bengong tanpa merasa salah, akhirnya setelah kantong demi kantong diselidiki, baru ketahuan sumber masalahnya adalah pemantik miniatur granat itu. Tentu saja disita. Apes.
Bandara di Ho Chi Minh ini terbilang sederhana. Nggak sekinclong Changi atau KLIA, ataupun Terminal 3 Soekarno Hatta.
Tapi kami senang karena menemukan cukup banyak toko oleh-oleh. Kami bahkan menemukan banyak barang yang nggak kami lihat sebelumnya di Benh Thanh. Seperti oleh-oleh jajanan green bean cake yang ternyata uwenak tenan. Nyesel cuma beli tiga pack!
Banyak juga souvenir yang menjajakan bendera, topi maupun kaos bergambar bintang kuning berlatar belakang merah menyala. Pengin beli sih, tapi nanti kalau ada sweeping, saya disangkanya penganut faham komunis dan atau antek PKI. Hehehe.
Ho Chi Minh – Kuala Lumpur memakan waktu dua jam lima menit. Ada perbedaan waktu satu jam antara Ho Chi Minh dan Kuala Lumpur, jadi kami mendarat di Kuala Lumpur pukul 13.25 waktu setempat.
Penerbangan kami selanjutnya pukul 20.30 jadi kami punya waktu banyaaak banget. Namun ya berhubung kami turis pemalas dan sudah merasa cukup dengan Kuala Lumpur, kami habiskan waktu dengan mengeksplor bandara. Jadi nggak perlu melewati proses imigrasi.
Biar jalan-jalannya enak, kami tinggalkan ransel di penitipan bagasi. Berbayar, pasti. Sekitar RM 30 untuk enam jam.
Kami sempat mengisi perut di Kopitiam. Standar banget yak. Abis itu kebingungan, karena terminal tempat kami mendarat kok rasanya sepi banget nggak ada kehidupan atau duty free. Nggak seperti yang saya ingat waktu terakhir ke KLIA enam tahun silam.
Ternyata oh ternyata, kami harus naik aerotrain untuk pergi ke Gate C yang lebih hidup. Gratis pastinya. Dua menit doang perjalanan.
Nah di Gate C ini barulah kami puas karena duty free shop berjajaran di sana sini. Dan juga banyak pilihan tempat makan dan ngopi.
Seperti kebanyakan wisatawan lainnya, kalau di duty free begini jarahan kami cuma berkisar dua hal: parfum dan minuman beralkohol. Berhubung parfum sudah kami beli di Changi, maka target belanja di KLIA ini cuma miras. Nggak bisa kalap soalnya ‘kan ada batasan berapa botol yang bisa dibawa masuk ke Indonesia tanpa kena pajak. Jadi kami cuma beli satu botol wine dan satu botol sherry.
Setelah berputar sana-sini masuk keluar duty free shop, diselingi ngopi, akhirnya kami pasrah menunggu jam keberangkatan pesawat kami.
Delay sedikit, 30 menit.
Perjalanan pulang lancar. Kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 21.35. Sebenarnya sih perjalanan makan waktu dua jam, tapi ada perbedaan waktu satu jam antara Jakarta dan Kuala Lumpur. Eh pas baca-baca inflight magazine di pesawat, ada hotel yang sempat saya inapi dan saya ulas: The Sintesa Jimbaran.
Dari bandara pulang ke rumah, rasanya capek, tapi senang, tapi nyesel mengapa liburan harus berakhir.
Tapi tetap bersyukur, masih diberi kesempatan dan rejeki untuk mengunjungi Ho Chi Minh. Mudah-mudahan kami diberi rejeki berlimpah biar anniversary trip tahun depan bisa lebih seru. Kira-kira, ke mana ya?
Perjalanan kami yang paling selow ini juga membuat saya tersadar, terkadang yang kita butuhkan cuma pergantian suasana. Terkadang nggak butuh mengunjungi obyek wisata sebanyak-banyaknya. Nggak memaksa diri. Bangun siang, nggak mengapa. Tidur cepat, juga nggak masalah.
Seperti perjalanan kami ke Ho Chi Minh ini. Kami nggak menyusuri Sungai Mekong, nggak pergi ke Cu Chi Tunnel. Itu salah dua contoh obyek wisata yang terkenal di Ho Chi Minh, yang biasanya jadi menu wajib kunjung para turis.
Kami sudah cukup bahagia bisa menyantap pho di warung tepi jalan dan juga merasakan pho legendaris di Pho Hoa Jalan Pasteur. Sudah senang bisa menyeruput espresso martini di bar lantai 52 Bitexco Tower. Puas, bisa menemukan She Cafe. Bahagia, berjalan kaki kian kemari.
Meskipun tetap terbersit penyesalan, mengapa kami tidak sempat merasakan KFC di Ho Chi Minh (lihat cerita hari kelima ya!). Jadi, kami bertekad suatu saat nanti kami akan datang lagi. Demi Ho Chi Minh dan demi KFC!
Semoga cerita kami berguna buat kalian semua ya, terutama buat yang ingin berjalan-jalan dan eksplor Ho Chi Minh City. Apabila tidak dirasa berguna, maafkan. Dan doakan kami banyak rejeki biar bisa jalan-jalan lagi dan berbagi cerita yang lebih seru.