Awal bulan November ini, saya dan kekasih merayakan hari jadi ketiga. Kalau tahun kemarin kami bepergian mengunjungi Cebu, maka tahun ini kami memutuskan untuk mengunjungi Ho Chi Minh City. Mengapa Ho Chi Minh? Pertama, sesuai budget. Kedua, saya pernah sehari di sana sebelum meluncur ke Hanoi, jadi kali ini saya pengin benar-benar menyeruput sumsum jiwa kota yang menurut saya dan banyak orang: romantis.
Silakan simak catatan perjalanan kami, siapa tahu bermanfaat bagi kalian yang berencana liburan di Ho Chi Minh. Oya, perjalanan kami ini termasuk last minute. Pesan tiket pesawat berangkat dua bulan sebelum Hari-H dan pesan tiket pesawat pulang malah dua minggu sebelum Hari-H. Pesan hotel? Bahkan on the same day check-in hahaha. Entahlah, sebagian karena malas dan kebiasaan menunda-nunda, sebagian karena merasa sudah tahu medan dan November toh bukan peak season di Ho Chi Minh jadi saya pikir gapapalah semua serba last minute. Jangan ditiru saat musim liburan ya!
Hari 1: Jakarta – Singapura
Ada banyak pilihan penerbangan dari Jakarta ke Ho Chi Minh. Penerbangan langsung memakan waktu tiga jam lebih, dan memakan biaya lebih banyak karena maskapai yang melayani penerbangan langsung tanpa transit ini macam Garuda Indonesia atau Vietnam Airlines. Pilihan kedua transit di Kuala Lumpur. Kami mengambil pilihan ketiga: penerbangan transit di Singapura.
Dipikir-pikir, nanggung kalau singgah di Singapura tujuh jam doang. Jadi, kami memutuskan menginap semalam di Singapura. Pilih maskapai Tiger Air dan pesan tiketnya lewat Tiket.com, karena di detik-detik terakhir saat hendak menyelesaikan pesanan di situs Tiger Air, lha kok dikenai biaya pembayaran kartu kredit lumayan gede. Akhirnya ya pakai Tiket.com aja, nggak kena biaya apapun dan jatuhnya jadi lebih murah.
Hari Selasa, 1 November 2016, kami berangkat menuju Singapura. Penerbangan Jakarta-Singapura 1 jam 50 menit tanpa delay tanpa hambatan. Sesampai di Changi, langsung cari taksi menuju akomodasi yang sudah kami pesan sebelumnya lewat Airbnb. Catatan aja, susah menemukan hotel budget yang pas keinginan kami, dan yang namanya Singapura susah ditebak ketersediaan kamarnya. Jadi nggak usah gambling kalau mau berlibur ke Singapura, terutama soal akomodasi, baiknya pesanlah kamar jauh sebelumnya. Dan Airbnb bisa jadi alternatif kalau kamu nggak juga menemukan akomodasi yang pas buat kamu di berbagai online travel agent.
Akomodasi yang kami pesan terletak di daerah Kembangan. Iya, kami memang anti mainstream. Kalau yang lain ke Singapura penginnya dekat-dekat dengan Orchard Road yang femes dan atau foto sama Merlion, kami mah memang niatnya numpang jalan aja di Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh. Kami memilih akomodasi ini karena di informasi yang tertera di Airbnb, propertinya cukup dekat dengan stasiun MRT. Itu penting biar kemana-mana mudah dan gak mengandalkan taksi.
Uncle driver taksi kami nggak kesulitan menemukan rumah yang kami tuju. Namanya juga Singapura, semua serba tertata dan terdata. Ngandelin GPS gak bakal nyasar dah. Nah, sampai di depan rumah yang halamannya cukup luas, kami sempat ragu. Cari bel rumah kok nggak nemu, eh lha kok ternyata pintu pagar nggak dikunci. Sampai depan pintu rumah, kami kebingungan lagi. Ini rumah berasa nggak ada penghuni. Ketok-ketok pintu, nggak ada yang nyaut. Bel pintu nggak ada. Iseng-iseng buka pintu, terbuka. Nggak dikunci! (Langsung ngebatin, coba di Jakarta ya, mana kompleks perumahan sepi gak ada orang lalu lalang, apa ya nggak habis isi rumah dengan pintu tak terkunci gini.)
Ruang tamu yang luas, dan berantakan, menyambut kami. Kembali kami ber-spada ria mengucap salam, namun nggak ada sambutan. Berasa rumah sendiri aja dah. Inspeksi ke dapur (yang berantakan juga), satu kamar (yang super berantakan) dan akhirnya kami memutuskan naik ke lantai dua.
Di lantai dua, ada tiga kamar yang pintunya tertutup semua, plus satu kamar mandi gede. Iseng kami membuka pintu kamar yang paling dekat dengan kamar mandi. Kamar yang ini rapi, di atas tempat tidur bahkan sudah ada semacam nampan dengan kunci rumah di atasnya, catatan berisi password wifi dan dua cangkir minum.
Kami tebak inilah kamar yang disediakan untuk kami. Ya sudah, langsung kami angkat koper dan ransel ke kamar. Pede banget yak. Sedang asik berbenah (termasuk cari colokan buat charger hape, biasalah), tuan rumah muncul dari kamar sebelah. Cowok, ramah (kalo gak ramah ya jangan jadi host Airbnb ya), dan mengaku kalau dia ketiduran selama menunggu kedatangan kami. Setelah berbasa-basi sejenak, dia kembali masuk ke kamar dan kami melanjutkan kesibukan.
Prioritas pertama: cari makan! Berdasar penuturan tuan rumah, kami cukup jalan kaki 2 menit menuju halte bis, lalu naik bis ke stasiun MRT, dan dari sana kami bisa menuju ke mana saja kami suka.
Singapura di awal bulan November, ternyata cukup panas. Lumayan juga kami berjalan kaki, lebih dari 2 menit dah dari akomodasi. Sempat kebingungan cari halte bis lalu bertanya pada pejalan kaki yang malah sarankan kami jalan kaki aja ke stasiun MRT, cuma 10 menit jalan katanya, daripada nunggu bis yang sepertinya baru bakal lewat 20 menit lagi.
Sepuluh menit jalan kaki mah, ayuk aja! Di tengah jalan kami menemukan semacam food court mini, lumayan deh buat isi perut. Nggak pake pusing, pesen aja nasi goreng sekitar SGD 5. Yang penting makan aja dah, pikir kami. (Menurut cerita teman, di Singapura memang gitu, setiap kompleks apartemen atau perumahan pasti memiliki semacam food court. Jadi nggak perlu bingung kalau mau cari makan ala kadarnya.)
Dari food court mini kami lanjut jalan kaki ke stasiun MRT yang sudah terlihat gedungnya. Kalau dihitung-hidung, lebih dari 10 menit kami jalan kaki dari saat kami bertanya pada pejalan kaki. Setelah dipikir lebih lanjut, pantaslah. Sepuluh menit bagi orang Singapura yang jalannya cepat bergegas gitu, ya bisa jadi dua puluh menit bagi kami yang jalan santai sakpenake.
Kesimpulan: jangan asal menuruti saran orang lokal. Sesuaikan dulu dengan ukuran kita.
Sampai di MRT, ke mana lagi kami menuju kalau nggak ke Orchard Road. Nggak ada tujuan khusus kecuali memang nongkrong menghabiskan sore. Nggak kepengin ke Marina Bay Sands, Mustafa Center, Bugis Junction, Chinatown, dan lain sebagainya – itu buat tujuan liburan berikutnya aja, karena tujuan kami sekarang adalah: Ho Chi Minh City.
Orchard Road masih seperti yang terekam di ingatan saya. Terakhir saya mengunjungi jalan tersohor ini tahun 2013 (dalam rangka transit juga sebelum lanjut ke Bangkok). Sebelumnya, tahun 2010 saat perjalanan saya pertama kali ke luar negeri, bersama tiga orang teman karib.
Kami mah pasangan yang sederhana. Jalan bergandengan tangan sepanjang Orchard Road aja, sudah bahagia. Selfie selfie dikitlah, buat barang bukti. Dan juga, mencicipi one dollar ice cream yang terkenal itu. Capek jalan kaki, kami malah akhirnya nongkrong di satu kafe mungil atas nama wifi gratisan, apalagi tujuannya kalau nggak: bekerja! (Eh, itu kekasih saya ding, dia mah liburan nggak boleh ganggu kerjaan, sedih yaaaa.)
Jelang pulang, karena udah malas mo kemana-mana lagi, akhirnya kami memutuskan cari food court untuk beli makan malam. Ngasal aja masuk Lucky Plaza, eh ada Warung Padang di sana. Nggak, kami nggak makan nasi Padang kok. Kami memutuskan makan… lechon! Iya, ternyata di food court ada satu kios yang menjual lechon khas Cebu yang membuat kami tergila-gila membabi buta tahun kemarin di sana.
Akhirnya malam pertama liburan kami lewatkan dengan sederhana: makan lechon di kamar. Abis itu, tidur. Beruntunglah punya kekasih seperti kami. Nggak perlu macam-macam. Menghirup udara Singapura aja sudah bikin bahagia. Mungkin, karena nggak macam-macam itulah, kami bisa menempuh perjalanan bersama selama tiga tahun ini. Perjalanan yang nggak mudah tapi juga nggak penuh drama.
Ini cerita hari pertama 3rd anniversary trip kami. Maaf bila nggak terasa asiknya ya, karena keasikan kami simpan untuk hari kedua sampai hari terakhir di Ho Chi Minh. Sampai jumpa di cerita berikutnya!