Siang ini saya makan siang dengan bos saya yang kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta. Dari kemarin saya sudah berpikir mau ajak makan di mana, karena saya tahu selera bos saya yang lebih suka local food daripada fancy restaurant. Saat menuju restoran rekomendasi seorang teman, tiba-tiba bos saya nyeletuk. “Nasi Padang?”
Baiklah! Siapa takut! Segera saya minta supir taksi untuk berbelok arah menuju satu restoran Padang yang terkenal banget di bilangan Sabang.
Ternyata pilihan saya nggak salah. Bos dan rekannya puas banget, takjub dengan penyajian khas warung Padang yang menghamparkan piring-piring lauk di meja kami. Nggak ada hentinya beliau berdua mengunyah. Puas deh, pokoknya!
Sepulang dari makan siang, di perjalanan rekan bos (yang baru saya kenal tadi siang) bertanya pada saya. “Is he a good boss?”
Ditanya begitu di hadapan bos, saya pun tersenyum dan menjawab,”The best la.”
Terus jadi kepikiran tentang bos saya, dan juga para bos saya sebelumnya. Are they good bosses?
Manusia tidaklah sempurna, termasuk para bos. Tapi selalu ada yang bisa kita pelajari dari tiap pribadi.
Dan apa yang bisa saya pelajari dari para bos saya?
Ohya, mulai dari awal karir hingga hari ini, saya sudah pernah bergabung dengan 6 perusahaan. Tiap perusahaan dipimpin oleh bos yang berbeda karakter. Nggak semuanya baik sih, ada yang (maaf) bajingan.
Dan sebenarnya, “bos” yang saya ulas di sini adalah yang berkarakter sebagai pemimpin (leader), bukan tipikal bos yang bossy. Tapi biar gampang, saya pakai kata “bos” aja gapapa ‘kan ya, daripada pakai kata “atasan” yang formal banget rasanya.
Kita belajar dari yang baik-baik saja dulu.
Jadi, inilah yang saya pelajari dari para bos saya.
1. Jangan memandang dan memperlakukan orang dari title atau jabatannya.
Ini pelajaran di awal saya meniti karir. Saat itu bos saya bilang, perlakukanlah semua orang sama, jangan tergantung title atau jabatannya. Di dunia hospitality yang saya geluti, sudah lazim apabila ada perusahaan yang mewajibkan managernya untuk berhubungan hanya dengan DOS (Director of Sales) atau GM dan sepantarannya. Memang sih, ada hal-hal yang hanya bisa diputuskan oleh level direktur ke atas. Tapi tidak berarti kita boleh menganggap enteng mereka yang baru meniti karir, hanya punya title Sales Executive, misalnya. Tetaplah baik pada semua orang. Karena kita tidak akan pernah tahu, kelak siapa tahu mereka akan menjadi direktur, GM, atau bahkan owner.
2. Don’t sweat the small stuffs.
Dari bos saya yang sekarang (hi, boss!), saya belajar untuk hemat energi. Fokus pada hal-hal yang penting. Jangan berkeringat untuk hal-hal yang nggak penting, kasarannya. Kerjaan setumpuk? Bikin prioritas, kerjakan satu demi satu, dan nggak usah mengeluh dengan panjangnya task list, karena mengeluh itu artinya mengalokasikan energi dan sepantasnya kita hemat energi. Efisiensi ini termasuk dalam menjawab email atau chatting. Saya sih nggak sakit hati kalau boss saya cuma jawab email atau chat panjang saya dengan: “Ok.”
3. Berbuat kesalahan itu diperbolehkan.
Karena tidak ada manusia yang sempurna. Dahulu saya dikenal pemarah. Tim yang pernah di bawah saya pasti paham betapa bawelnya saya soal kerjaan. Berkorespondensi harus dengan format yang pantas. Jawab telepon harus efisien dan tidak membingungkan pelanggan. Bahkan, menulis nama klien atau title pun, harus benar. Kebawelan itu ada bagusnya sih. Tapi belakangan saya sadar, nggak ada manusia yang sempurna. Pun dalam hal pekerjaan. Saking takutnya bikin kesalahan, malah bisa membuat ragu-ragu dalam melangkah. Dan ini nggak bagus. Berbuat kesalahan itu bagus, karena itu artinya kita punya inisiatif. Yang nggak bagus adalah jika kita tidak belajar dari kesalahan tersebut dan mengulang kesalahan yang sama.
4. Selalu belajar, belajar dan belajar.
Kesamaan para bos saya adalah: mereka selalu belajar hal baru. Dari yang nggak bisa bahasa Inggris, kini sudah casciscus berbahasa Inggris. Kurang paham soal manajemen, belajar. Kurang paham soal teknologi, belajar. Jaman sekarang, belajar bisa dari mana saja. Banyak sumber gratis pun di internet. Dan tatkala jadi bos pun, nggak berarti berhenti belajar, justru harus semakin banyak belajar agar tidak kalah pengetahuan dari para anak buah.
5. Beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Kompetisi di dunia pariwisata Indonesia sangatlah tinggi. Dengan majunya teknologi, lanskap dunia travel agent kini berubah. Distribusi dikendalikan oleh perusahaan yang berteknologi. Travel agent konvensional, meskipun belum dan gak akan mati, seakan tertatih berjalan. Saya menyaksikan satu-dua travel agent besar, telah tumbang karena mereka tidak beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Dan saya cukup bangga menyaksikan perusahaan tempat saya bekerja dulu, masih tetap eksis bahkan semakin maju karena bos saya sedari awal telah sigap menyiapkan langkah-langkah menyongsong badai teknologi.
6. Selalu positif menghadapi dunia.
Satu bos saya punya kebiasaan unik. Setiap bangun pagi, dia langsung senam di kamar mengikuti lagu yang riang. Karena bagi dia, setiap hari baru harus disyukuri. Hari baru, tantangan baru, kesempatan baru untuk menghasilkan karya atau prestasi baru. Kalau bangun pagi sudah bersungut-sungut membayangkan hari yang penuh jadwal, bagaimana bisa bahagia. Selalulah berpikir positif, pun dalam menghadapi persoalan berat, karena pikiran positif adalah awal dari solusi yang akan kita temukan.
Itulah hal-hal yang saya pelajari dari bos saya. Pelajaran yang tersampaikan nggak cuma lewat kata dan cerita, namun juga lewat perilaku dan contoh nyata. Thank you, boss!