Saat-saat terakhir tinggal di Bali bulan Mei lalu memaksa saya untuk menggunakan transportasi umum. Karena di Bali yang namanya transportasi umum itu ya kita tahulah amat sangat terbatas, pilihan saya cuma dua: ojek dan taksi. Cuma itu? Nggak juga sih. Ojek di Bali terbilang limited edition dan taksi argonya lumayan bikin jantungan. Untunglah saat itu Go-Jek sudah masuk Bali, juga Uber. Saya sudah menuliskan pengalaman pertama saya menggunakan jasa Go-Jek, dan kali ini saya coba paparkan keuntungan menggunakan Uber, yang jadi andalan saya untuk survive di Jakarta hingga sekarang.
Singkat kata saja ya, berikut daftar keuntungan menggunakan Uber versi saya, baik sebagai pengguna pribadi maupun dari sisi kepentingan perusahaan:
- Praktis. Ini pasti. Menggunakan aplikasi yang hanya butuh 3-5 langkah bagi saya jauh lebih praktis daripada memesan taksi lewat telepon atau berjalan kaki ke jalan besar mencari taksi di sana. Saat Uber telah menemukan driver sesuai pesanan kita, kita juga bisa memantau posisi driver sehingga bisa bersiap-siap ketika notifikasi muncul: “Your Uber is Arriving”.
- Lebih murah. Sudah banyak yang paham kalau tarif Uber lebih murah dari taksi biasa, bahkan bisa mencapai 30%. Memang sih, karena lebih murah akhirnya memancing banyak perlawanan dari taksi biasa. Tapi saya dari sisi kastemer mah senang-senang aja. Sebelnya kalau pas jam sibuk dan Uber mengenakan “surge pricing” yang biasanya berkisar 1.2x sampai 3.9x tarif normal. Tapi karena ada fitur “Fare Estimate” di apps Uber, saya biasa mengira-ngira dulu final price-nya masih masuk akal nggak. Kalau masih masuk akal, hajar aja bleh, toh biasanya juga kalau pas surge pricing gitu, cari taksi biasa pun susah dan bakal mahal karena terkena macet.
- Pembayaran lewat kartu kredit. Ini sih pro dan kontra ya, banyak teman saya yang jiper menggunakan Uber gara-gara metode pembayarannya cuma lewat kartu kredit. Kalau saya sejauh ini, masih nyaman saja dan belum ada masalah. Enaknya adalah nggak perlu banyak bawa uang tunai, dan nggak perlu dengar alasan menyebalkan selayaknya di taksi biasa: “Nggak ada kembalian, Neng”. Tagihan Uber pun sudah termasuk uang tol. Jadi kita cuma perlu nyiapin uang parkir (bila diperlukan) dan tips buat pak supir (nggak wajib sih).
- Aman. Mengapa saya bilang aman? Karena posisi di mana saya berada, bisa diketahui dan dilacak setiap saat. Jadi nggak perlu kuatir dibawa lari pak supir. Andaikan ada driver yang berniat jahat pun (knock knock on the wood), goblok berarti itu driver karena kejahatannya pasti akan mudah terlacak nggak butuh waktu lama.
- Lebih nyaman. Naik taksi memang sudah nyaman, tapi naik Uber yang minimal mobilnya Avanza, bagi saya lebih nyaman rasanya. Sepanjang pengalaman saya, mobil Uber selalu terawat baik. Driver pun lebih sopan dan nggak gaptek (minimal dia tahu cara menggunakan Waze atau Google Maps). Lagipula, berasa punya supir pribadi. Berasa jadi horang kayah.
- Bisa buat nraktir teman atau pasangan. Iya, jadi nggak cuma diri sendiri yang bisa pakai Uber, tapi bisa juga buat nraktir teman, saudara atau pacar. Karena partner saya musti ngantor tiap pagi dan saya biasanya ngantor dari rumah, saya tinggal pesankan Uber buat partner. Setelah dia pergi, saya bekerja nggak perlu mikirin dia sampai di mana dan saat ada email masuk dari Uber berisi tagihan, saat itu saya tahu kalau partner saya sudah sampai dengan selamat di kantor.
- Mudah buat reimburse/klaim ke kantor. Ini yang paling saya suka, karena ada tagihan tertulis via email, lebih gampang urusannya untuk reimburse ke kantor, karena jelas pemakaian dan biaya yang telah saya keluarkan. Tempat asal saya berangkat dan tempat akhir tujuan, tercantum dengan jelas. Beda kalau pakai taksi biasa yang mayoritas masih belum punya fitur mencetak bill, reimburse ke kantor akhirnya berdasar kejujuran dan niat baik semata.
- Mudah memonitor aktifitas karyawan. Senada dengan nomor 6, dengan adanya tagihan yang transparan, kita bisa tahu karyawan benar-benar beraktifitas sesuai titah kantor atau nggak. Nggak munafiklah, banyak di antara kita yang mengaku keluar kantor untuk sales call, tapi akhirnya jalan-jalan di mal atau malah sex call. (Meskipun, kalau karyawannya memang berotak licik, masih bisa diakalin sih perkara monitoring ini.)
- Mudah memonitor aktifitas pasangan. Nah kalau nomor 8 itu dari kacamata perusahaan, yang nomor 9 ini dari sisi kepentingan pribadi. Sama sih intinya, bedanya yang ini lebih cocok buat kalian yang “control freak” dan nggak rela pasangan lepas sedetik saja dari pengawasan. Kalau pakai Uber, jelas ‘kan pasangan kita pergi ke kantor dan nggak kemana-mana, atau pamit ke mall ya beneran ke mall nggak mampir ke selingkuhan.
Well, dari bulan Mei sampai bulan Juli ini, saya merasakan banget delapan keuntungan pakai Uber seperti paparan di atas. Mmm, wait, di atas ‘kan ada sembilan keuntungan? Haha. Saya bilang ‘kan yang nomor sembilan itu keuntungan buat control freak, kalau saya mah keuntungan pakai Uber cuma sampai nomor delapan saja.
Jadi terlepas dari Uber itu memancing banyak perlawanan dari taksi biasa, saya dan banyak kastemer pastinya sangat diuntungkan dengan adanya Uber. Saya berharap sih, di Jakarta Uber tetap bisa langgeng. Ya selama Uber berbadan hukum jelas dan bayar pajak (nggak cuma rental mobilnya yang disuruh bayar pajak, tapi Uber-nya juga), mengapa musti ditentang keberadaannya?
2 Responses