Tantangan hari kedelapan 30 Days Movie Challenge: menulis tentang satu film yang membuat saya sedih. Terbersit untuk menulis tentang Schindler’s List, meski terakhir saya menonton filmnya belasan tahun lalu. Dan meski film ini memenangi 7 Piala Oscar, banyak pula yang menulis kritik pedas tentang film yang disutradarai Steven Spielberg ini.
Jadi saya sempat berpindah niat untuk menulis tentang A Boy in Stripped Pajama, yang sama-sama mengharukan dan bercerita seputar kamp Nazi juga.
Namun urung juga.
Akhirnya, persetan deh dengan kritikus dan ketidaksempurnaan film ini. Toh yang diminta adalah film yang membuat saya sedih. Dan Schindler’s List, sukses memancing keharuan dan kesedihan saya.
Saya pertama kali menonton film ini tahun 2001 secara tak sengaja. Ceritanya saya dengan seorang teman sedang ngebolang di Jawa Tengah, dan kami terdampar di Wonosobo. Saat mencari penginapan, kami singgah di satu hotel bintang tiga, dan televisi di resepsion menampilkan film Schindler’s List yang segera membuat teman saya memutuskan untuk menginap di hotel tersebut.
Untungnya film yang didapat dari saluran parabola (tahun 2001 ya bo!) baru berlangsung sebentar, sehingga kami bisa mengikuti hampir semua jalan cerita.
Saya sendiri saat itu nggak ngeh Schindler’s List itu apa karena film itu tidak diputar di bioskop di Indonesia, dan informasi dari internet yang saya ingat cuma seputar film itu menceritakan jaman holocaust dahulu kala.
Cerita berpusat pada Oskar Schindler, seorang pebisnis dari Jerman yang pada masa Perang Dunia II memanfaatkan peluang menjadi supplier peralatan perang untuk pihak Jerman. Schindler mempekerjakan orang-orang Yahudi dari kamp tahanan Nazi. Motif bisnis yang semula berawal demi mendapatkan tenaga murah, akhirnya menggugah Schindler untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi dari kekejaman tentara Nazi.
Kisah film ini diangkat dari cerita nyata. Oskar Schindler tercatat berhasil menyelamatkan sekitar 1,100 orang Yahudi. Di akhir film ditampilkan dokumentasi nyata penghormatan dari mereka yang masih hidup, beserta keturunannya.
Beberapa kritik tentang film ini adalah penampilan hitam putih para karakternya. Schindler digambarkan sebagai orang baik dan Goeth, petinggi Nazi, digambarkan benar-benar sebagai orang jahat. Tidak ada abu-abu di sini, sebagaimana juga penyajian film ini yang hitam putih.
Ada satu pengecualian tentang kehitamputihan film ini. Satu adegan menampilkan warna merah untuk si gadis kecil berjaket merah. Para kritikus menganggap warna merah adalah cara mudah untuk menggiring atensi penonton yang langsung mengenali objek cerita karena digambarkan berwarna, beda dengan sekelilingnya yang hitam putih.
Bagi saya, kisah holocaust ini adalah kisah kelam tentang kemanusiaan, tidak hanya soal Yahudi dan Nazi. Kekejaman disajikan secara telanjang dan bersimbah darah (untung aja filmnya hitam putih). Dan bodohnya manusia, dia acapkali lupa belajar dari sejarah, dan mengulang ketololan yang sama.
Namun selalu ada harapan. Oskar Schindler, meski ‘hanya’ menyelamatkan 1,100 orang, dia menyelamatkan generasi-generasi yang akan tumbuh dari 1,100 orang itu.
Bagi kamu yang nggak demen menonton kekejaman perang, kamu bisa membaca kisah Schindler’s List ini dalam bentuk buku. Saya beruntung pernah mempunyainya, hasil gerilya di Pasar Beringharjo.
2 Responses
“Schindler’s List”. Beli novelnya tahun 1994 di Singapore, dan sangat penasaran tentang filmnya. Tahun 1999, pas hamil Ima 6 bulan, nemu VCD-nya di rental. Isinya 3 keping CD, itupun edit sana-sini. Tapi VCD itu kubeli seharga 25rb untuk koleksi. Baru sekitar 2001 bisa nonton komplit setelah beli DVD bajakannya di Ratu Plaza. And ir’s worth it!
Iya, sayang film itu dicekal masuk Indonesia karena dinilai penuh adegan kekerasan, dan alasan utama ya karena dianggap propaganda Yahudi.