Apakah cinta harus diutarakan?
Saya rasa ini salah satu pertanyaan abadi bagi para pecinta, terlebih untuk mereka yang pada dasarnya berjiwa galau seperti saya.
(Disclaimer: Mohon siapkan ember untuk menampung muntahan Anda karena posting yang satu ini sungguh cheesy, sungguh ndangdut.)
Seorang teman bilang, lebih baik kita utarakan. Terus terang saja, agar tidak ada salah sangka, agar dia tahu bahwa kita berharap kita menjadi lebih dari sekedar teman baginya. Perkara cinta itu diterima atau ditolak, toh intinya sama: kejelasan. Jelas diterima, ya kita akan bahagia, dan berarti bahagia lebih cepat daripada memendam pernyataan cinta kita. Kalau ditolak, ya sudah, terima nasib, apakah kita masih akan jalan sebagai teman, atau beneran berpisah jalan, yang penting sudah jelas jawabnya: ditolak. Silakan cari yang lain.
Saya sendiri terhitung susah jatuh cinta. Sampai sekarang, baru tiga kali saya jatuh cinta. Uhm. Okay, empat kali termasuk yang terakhir ini.
Yang pertama kali, saya berterus terang tentang perasaan saya. Bagaimana selanjutnya, itu benar-benar drama yang bersimbah air mata. Terkadang malu rasanya mengingat episode hidup saya kala itu, tapi ya sudahlah, toh itu satu episode yang benar-benar menempa saya.
Yang kedua kali, terjadi selang empatbelas tahun (!) dari yang pertama, pun begitu. Saya kembali jujur padanya, dan kembali di sinilah drama dimulai. Sampai sekarang saya masih belum bertemu lagi dengannya setelah pertemanan kami yang singkat dan manis itu saya akhiri hanya karena tiga kata ajaib itu.
Yang ketiga kali, lima tahun setelah yang kedua, adalah permainan semesta yang sampai sekarang saya nggak ngerti. Saya cinta dia, dan saya yakin dia juga cinta saya – pernah dia menganggap saya adalah belahan jiwa yang membuatnya merasa lengkap. Tapi kebodohan saya, ketidakdewasaan saya, membuat dia pergi, meski datang lagi dan pergi lagi, dan saya remuk redam dibuatnya.
Sekarang, tiga tahun setelah saya dibuat seperti gila oleh kisah cinta yang ketiga, saya kembali merasakan perjalanan ala roller coaster menelisik setiap lekuk sudut satu kata sederhana: cinta.
Dan saya masih bersikukuh untuk tidak berkata apa-apa tentang perasaan saya ini padanya.
Karena saya tahu jawabnya. Saya bukanlah untuk dia. Siapalah saya ini. Cinta ini bukanlah cinta yang sempurna untuknya. Jalan ini adalah jalan yang terlalu sempit untuk berdua, dan dia nggak layak untuk menderita karena cinta.
Saya musti tahu diri.
“Tapi apakah kamu kuat, berdekatan dengannya – meski tidak secara fisik – namun sekaligus merasa jauh karena kamu tahu dia bukanlah untukmu? Apakah kamu nggak merasa patah hati setiap dia bercerita tentang kedekatannya dengan para lelaki yang mengejarnya? Apakah senyummu itu murni menimpali setiap dia berbagi cerita, ataukah senyummu itu hanya kedok seakan-akan kamu bahagia untuknya, apapun yang terjadi, meskipun itu bukan karena kamu, meskipun itu tidak bersama kamu?”
Saya tertegun mendengar cerocosan teman saya. Saya tahu saya rapuh. Saya ragu apakah saya kuat, sementara menulis posting ini saja, sedikit mengembang air mata saya karena membayangkan nelangsanya cinta ini yang tak terbalas. (Uh, wait, bagaimana saya tahu itu tak terbalas sedangkan saya mengutarakannya saja belum?)
Teman saya terus berbicara. “Kalau kamu nggak kuat, jangan salahkan dia yang seakan memberi harapan. Baginya mungkin semua itu biasa saja, dan kamu juga teman biasa, nggak ada yang istimewa. Tapi itulah penyakit para pecinta, senyum yang sama yang dia bagikan kepada setiap orang, ketika tertumbuk pandanganmu seakan-akan menjadi lain maknanya, menjadi istimewa. Padahal dia tidak bermaksud mengistimewakanmu.”
Dan saya teringat pada cinta kedua saya yang bengong ketika saya tanya: “Jadi kamu nggak tahu selama ini sebenarnya saya cinta kamu?” Dan dia bilang: “Enggak. Karena bagiku kamu itu orang baik, jadi kamu baik padaku kupikir sama seperti kamu baik pada semua orang yang kamu temui.”
Saya nggak tahu. Dan saya nggak mau mengambil keputusan terburu-buru.
Yang jelas saya nggak mau kehilangan perasaan ini. Saya nggak mau kembali ke periode sebelum saya bertemu dengannya, saat saya berhati beku dan hidup terasa begitu-begitu saja.
Akhirnya saya bilang pada teman saya,” Saya mau menikmati perasaan ini dulu. Saya memilih untuk berdarah-darah, daripada kehilangan dia, dan daripada menyakiti dia dengan pernyataan saya. Pun, saya memilih untuk undur diri dari kehidupannya, andai saya sudah nggak kuat lagi menahan perasaan ini.”
Saya mau menikmatinya dari kejauhan saja. Tanpa mengusiknya.
Biarkan hanya Semesta yang tahu bagaimana saya tersenyum setiap pagi ketika namanya terlintas di benak begitu saya membuka mata, bagaimana saya menutup mata setiap malam setelah membayangkan saya mengecup keningnya.
Demikianlah.