Tiba-tiba dunia terasa riuh bagi saya. Otak ini seperti ditarik-tarik untuk terpaksa berpikir, bercampur baur dengan nostalgia yang mendadak mampir. Teringat masa-masa mahasiswa di mana saya – sebagaimana umumnya mereka yang berdarah muda – tak bosan-bosan membahas sejarah, politik, gosip terkini, dengan sumber ‘katanya’ karena jaman itu belum ada wikipedia.
Itu jaman sebelum saya terlarut dalam rutinitas budak korporat. Kemeriahan warna-warna jaman muda memudar dari keseharian saya.
Dan beberapa hari silam, mungkin karena bosan dengan rutinitas, jenuh dengan desakan tugas yang mendekati garismati, saya mulai ‘peduli’ pada apa yang mampir di dunia saya yang maya.
Tiba-tiba dunia riuh rendah terasa bagi saya.
Pemilu telah usai, Jokowi kini beradu dengan Prabowo, dan mendadak saya sedih setengah mati ketika membayangkan Prabowo akan menjadi presiden saya. Saya cuma sedih saja, tanpa alasan.
Mendekati pilpres, newsfeed di akun Facebook saya mulai penuh dengan berita-berita politik seputar capres. Sah-sah saja mendukung capres idaman, sah-sah saja mengumbar kejelekan lawan, tapi bisa nggak sih itu semua dilakukan dengan elegan? Saya sendiri mencoba tahu diri, apa yang saya yakini akan saya sebarkan, sebisa mungkin memakai bahasa yang sopan. Ya tapi saya tahu sih, nggak semua orang bisa bertutur bahasa rapi dan elegan. Banyak yang masih bertaraf memaki dengan bahasa provokatif dan memancing emosi.
Dari Twitter, ‘Miss Jinjing’ tersebut-sebut di timeline saya. Cari tahu, ternyata dia penulis buku panduan berbelanja di sana-sini, yang diserang penghuni saiber gara-gara tulisannya yang nggak bermutu itu, tentang ‘target market baru‘. Diserang sana-sini di Twitverse, mulai dari orang awam seperti saya sampai sutradara sekaliber Joko Anwar, nggak membuat Miss ini sadar bahwa bukan soal ‘target market baru’ yang kami sanggah. Namun gaya bahasa dia yang memuakkan, pemakaian istilah ‘gender ke-3’ yang nggak tepat, stereotipe tentang kaum gay yang salah besar, dan all in all: tulisan yang nggak fokus pada pemikiran tentang target market baru. Coba baca paragraf pertama, tentang istilah ‘main pedang-pedangan’, alamak, ini istilah guyonan tahun 90-an, Miss.
Setelah itu timeline ramai oleh kasus selebtwit ZH versus ‘sales sepatu’ AD. Nggak bermutu lah, apalagi menyangkut-nyangkut Prabowo. Ogah saya membahasnya sekarang, mungkin di lain waktu.
Dan terakhir, kasus Dinda yang postingannya di Path tersebar luas, tentang penolakan dia memberi kursi kepada ibu hamil. Mayoritas komentar menghujat Dinda, beberapa melebarkan masalah ke soal ‘servis commuter line’, beberapa bersikap bijak dengan tidak menyalahkan siapa-siapa, beberapa bersikap keterlaluan bijaknya dengan menyamakan para penghujat Dinda itu sama saja dengan FPI, mentalitas keroyokan.
Seliweran berita-berita nggak penting namun membahana itu (dan kalau nggak penting kenapa saya juga masih komentar juga ya?), ditambah selingan Farhat Abbas dan nipple slip si Agnez Mo, membuat – saya tegaskan – dunia saya tiba-tiba menjadi riuh.
Riuh nggak jelas.
Kalau sudah begini, saya menarik diri sejenak. Berusaha hemat energi. Daripada mengumbar komentar yang kemudian memancing komentar yang memancing emosi saya? Daripada pancing-pancingan seperti itu, mending berdiam dulu deh, menyaring semua berita tanpa menggerakkan emosi. Ya lagian ngapain juga saya emosi, memangnya Prabowo dan antek-anteknya, Farhat Abbas dan kloningannya, ARB-Jokowi-DI siapa lagi, peduli kalau saya emosi? Nggak ada hubungannya juga mereka dengan keseharian saya.
Apakah saya musti menganut filosofi seorang teman: I’d rather be blind. Ya, mending nggak tahu sama sekali biar nggak emosi lantas sakit hati. Apa musti begitu?
Nggak juga sih.
Musti istirahat, itu yang benar. Istirahat dari segala hal nggak penting, dan kembali fokus pada apa yang penting.
Baiklah. Selamat malam.