Pertama kali saya mengunjungi Echo Beach, adalah satu pagi di tahun 2009. Begitu saja, tanpa rencana apa-apa, berangkat dijemput teman dengan niat mencari sarapan, akhirnya kami sampai di Echo Beach. Itu pakai sedikit nyasar dan perlu bantuan “Ask A Friend” agar sampai tempat tujuan.
Segar udara pagi. Sarapan cuma Indomie rebus, tapi angin pantai membuat rasanya berbeda.
Setelah itu berkali-kali saya mengunjungi Echo Beach, dengan teman-teman yang berbeda. Makan malam di Echo Beach House atau cuma minum bir, sama nikmatnya.
Minggu lalu, saya mengunjungi pantai itu lagi. Empat tahun tentu membawa banyak perubahan.
Warung nggak cuma empat biji sekarang. Bahkan Warung Eropa (warung kesukaan saya di Petitenget) juga membuka cabang di sana.
Lapangan parkir sekarang menjadi hotel besar (yang belum buka juga). Parkir sekarang berpindah ke lapangan lainnya.
Pengunjung pun sekarang beragam. Kalau dulu hanya orang-orang berkulit putih yang berkunjung ke Echo Beach, sekarang turis atau penduduk lokal mulai terlihat semakin banyak.
Duduk di bangku di warung kesukaan saya – warung yang sama dengan empat tahun silam, melihat ramai orang lalu lalang, dan sayup-sayup musik classic rock terlantun dari restoran sebelah, serta merta membuat senyum saya tersungging.
Anak-anak kecil berlarian.
Dari meja ke meja terlihat wajah-wajah sumringah, menyantap makan malam dengan wine tertuang. Beberapa pasangan terlihat mesra.
Pedagang asongan berkeliaran.
Banyak yang berubah, namun tetap terasa sama.
Ini Bali.