Hari Ketiga: Mengelilingi Cebu Dengan Motorbike Tour

 

Kemarin saya menulis tentang perjalanan ke Cebu dalam rangka perayaan dua tahun jadian sama kekasih. Baru hari pertama dan kedua sih, lanjutannya silakan simak sekarang!

Hari Ketiga, 1 November 2015

Hari ketiga pas hari Minggu, niat sarapan di Rico’s Lechon, eh lha kok mereka belum buka. Harap maklum jam tujuh pagi gitu, dan ternyata di sekitar hotel nggak terlihat warung-warung penjaja makanan yang bisa buat sarapan. Yakaleee kami mengharapnya seperti di Jogjakarta gitu yang di tiap pengkolan setiap pagi ramai oleh penjual gudeg hahaha. Benar-benar deh lengang, mungkin karena bukan daerah permukiman ya. Mau ke Ayala Mall, pastinya belum buka.

Solusinya ya gampang aja: makan pagi di 7-eleven samping hotel. Pop-mie rasa babi cukup deh!

Setelah itu kami bersantai menunggu jam 9. Iya, saya sudah booking satu tour yang lumayan unik. Sekedar informasi, saya dan kekasih bukan tipikal turis manja yang demen paket wisata mainstream yang sudah disediakan oleh biro perjalanan wisata. Namun kami juga punya rasa malas jika harus naik turun bis lalu jalan kaki mendaki gunung lewati lembah, buka peta atau buku panduan dan celingukan tanpa pemandu. Solusinya? Kami cari paket wisata di Withlocals. #bukansponsor

Pilihan jatuh pada tour yang ditawarkan oleh Jessie, yaitu mengelilingi Pulau Cebu dalam sehari dengan bersepeda motor. Pastinya dia yang jadi drivernya ya, ‘kan nggak mungkin saya yang bayar, saya yang kerja. Dan karena saya berdua bersama kekasih, nggak mungkin juga cenglu alias bonceng telu (bonceng tiga). Jessie mengajak rekannya Jason. Sebelum jam 9 pagi, mereka sudah muncul di hotel dengan motor semacam Suzuki Raider. Dan perjalanan dimulai!

Blue sky of Cebu
Langit Cebu yang biru banget

Mungkin ada yang bertanya: apa enaknya jadi turis motor-motoran? Enak banget! Pertama, pandangan jadi lebih terbuka, langit Cebu yang biru banget jadi berasa dekat (beda kalau di dalam mobil ‘kan, pandangan lebih sempit terhalang). Kedua, lebih fleksibel untuk berhenti di mana kita suka, dan juga bisa melewati jalan-jalan tikus yang nggak mungkin dilewati mobil. Nggak enaknya ya jelas, nggak bisa grepe-grepe pacar, beda kalau di mobil ya.

Selayaknya turis, kami mengunjungi tempat-tempat wajib kunjung di Cebu seperti Magellan’s crossSt. Nino Basilica, pasar tradisional Carbon, Fort San Pedro (sayangnya waktu kami berkunjung, sedang ditutup karena renovasi), Cebu Heritage Monument dan juga melintasi Colon Street. (Tentang tempat-tempat ini mah, cukup kunjungi link yang saya sertakan untuk dapat deskripsinya ya, kalau saya ceritakan di sini malah membosankan.)

Puas mengelilingi kota, kami melipir ke pinggiran dan mengunjungi satu mercu suar di atas bukit di Kota Liloan. Nggak begitu spektakuler sih, dan kawasan ini nggak terurus. Bukan obyek wisata banget deh kecuali buat turis iseng seperti kami dan atau para remaja yang cari lokasi buat pacaran.

Turun dari bukit, Jessie minta ijin untuk mengunjungi makam ayahnya. Nyekar, katanya, karena hari itu bertepatan dengan All Saint’s Day. Semua keluarga di Filipina berkunjung ke makam para leluhur atau makam keluarga. Kami sampai di pemakaman ayah Jessie dan sementara menunggu dia, Jason menunjukkan koleksi foto dia yang membuat kami terperangah. Iya, kami baru tahu kalau makam di Filipina itu ternyata sangatlah megah dan mewah. Bahkan, ada yang megahnya mengalahkan rumah beneran.

Perjalanan berlanjut ke Papa Kit’s Lagoon untuk makan siang. Papa Kit’s ini satu kompleks yang ada restaurant, hotel dan juga aktifitas seperti flying fox. Makan siang, kami memilih “Sinigang Na Baboy” yang berasa seperti sayur asem tapi ada daging babi dan lobak, dan “Beef Bulalo” alias sop buntut. Kami baru sadar bahwa kalau urusan babi, orang Cebu sangatlah kreatif, tapi kalau untuk urusan sayur mayur, referensi mereka terbatas deh. Yang ada tumis kangkung lagi dan lagi, dan semacam cap cay. Pilihan sayurnya nggak banyak.

day03-lunch1
Sinigang Na Baboy alias Sayur Asem Babi

Selesai makan di restoran yang juga jadi kompleks pemancingan, kami lanjut ke area flying fox. Harga tiket sudah termasuk aktifitas ini, tapi butuh waktu setengah jam lebih untuk meyakinkan saya untuk mencoba flying fox. Titik tujuan flying fox ini terletak di satu pulau kecil di seberang sana. Saya ini ‘kan pada dasarnya penakut ya, dan clumsy, jadi imajinasi saya sudah kemana-mana gitu membayangkan saya melakukan satu ketololan yang bikin saya kecemplung di danau. Akhirnya setelah didorong-dorong oleh Jessie dan Jason dan pastinya sang kekasih, saya memutuskan untuk mencoba aktifitas ini.

Kalau dipikir dengan logika sih, nggak perlu takut sebenarnya untuk main flying fox. Keamanan sudah terjamin, kecil kemungkinan tiba-tiba tali terputus atau apalah. Jadi, sebenarnya memerangi ketakutan diri sendiri itu yang berat. Plus ya imajinasi macem-macem gitu. Yang sebenarnya semua nggak ada artinya begitu petugas mendorong tubuh kita untuk meluncur. Yang ada spontan teriak deh, dan berusaha untuk tidak memandang ke bawah biar nggak pusing dan terancam oleh tenangnya air danau yang hitam itu.

Lumayan, mencoba flying fox pulang-pergi bikin keringetan juga, apalagi cuaca di Cebu hari itu sedang panas-panasnya. Tapi puas! Akhirnya di usia saya yang sudah tidak muda lagi ini (cuih!), saya mencoba yang namanya flying fox, yaaayyy!!!!

Setelah puas di Papa Kit’s Lagoon (sebenarnya bisa juga berkuda ataupun wake-boarding lho), kami lanjut bermotor ria. Jessie berinisiatif untuk mampir mencoba “halo halo” alias dessert khas Filipina yang komponennya adalah potongan buah, disiram susu, dan eskrim. Eskrimnya lucu deh dengan warna ungu memikat, kata Jessie sih itu eskrim ubi makanya warnanya ungu. (CMIIW dari ubi atau bit ya, pokoke warnanya ungu gitu deh.)

Warung Halo-Halo terlezat di Cebu
Warung Halo-Halo terlezat di Cebu

Tempat halo-halo yang kami singgahi benar-benar warung pinggir jalan yang nggak ada bagus-bagusnya deh, kecuali ya halo-halonya itu sendiri. Namun benar kata Jessie, warung ini termasuk yang paling disuka di Cebu, buktinya pengunjung selalu silih berganti dan ada pula yang pakai mobil mewah nggak ragu untuk nongkrong di warung ini. Saat hal0-halo disajikan, waaah, kami terpesona melihatnya. Apalagi ketika merasakan dinginnya eskrim dicampur nangka dan pisang sele. Iya, pisang sele! Ternyata bisa banget lho pisang sele dipadukan dengan eskrim.

Penampakan halo-halo yang sangat mengundang
Penampakan halo-halo yang sangat mengundang

Puas melepas lelah, kami lanjut ke… pemakaman! Itu ide Jessie dan Jason yang ingin menunjukkan kemeriahan perayaan All Saint’s Day. Ada satu pemakaman besar, kata mereka, dan benar saja, ketika kami tiba, kompleks pemakaman itu sudah penuh oleh pengunjung. Mobil dan motor memenuhi lapangan parkir. Kami nggak bisa membedakan ini pemakaman atau taman wisata saking meriahnya. Jadi ‘kan satu keluarga punya satu kapling tuh, nah mereka sudah berkumpul di situ, ada yang gelar tiker, ada yang bawa kursi, rata-rata pakai tenda, bahkan ada yang pasang poster bergambarkan (menurut dugaan saya sih) foto mendiang. Meriah banget ‘kan? Apalagi pas kami melewati kawasan elit, makamnya bahkan lebih mewah dari rumah kami, seriously.

Ini bukan parkir kompleks perumahan, tapi di pemakaman
Ini bukan parkir kompleks perumahan, tapi di pemakaman

Jadi All Saint’s Day ini di Filipina diselenggarakan dengan berkumpul bersama keluarga besar, lalu beranjangsana ke makam, nyekar, mengenang mereka yang telah pergi ke alam baka dan pastinya yang dikenang yang baik-baik saja. Cukup berkesan buat kami yang nyaris lupa akan budaya nyekar, dan juga kami semacam udik yang nggak pernah lihat makam magrong-magrong (mewah banget).

Kelar mengelilingi kompleks pemakaman dengan tetap di atas motor, Jessie menawarkan apakah saya mau mencoba ‘balut‘. Saya spontan menolak. ‘Balut’ ini telur itik atau ayam yang sudah berisi embrio yang mau menetas, lalu direbus. Baunya konon menusuk banget. Saya belum seekstrim itu sih, kalau nggak bau sih saya masih berani terima tantangan.

Karena rasanya semua tempat sudah kami kunjungi, kami memutuskan pulang saja. Tapi hey, di tengah jalan Jessie melihat ada tempat produksi lechon. Spontan saya minta Jessie untuk berhenti, lantas kami menghampiri kompleks lechon yang astaganaga bikin ngeces aja deh. Bagaimana tidak, babi-babi berjejer rapi dibakar dan diguling. Kurang lebih butuh dua jam katanya, karena babinya juga babi muda. Berikut gambar yang sempat saya ambil, mohon maaf bagi yang nggak berkenan ya langsung skip aja atau tutup browser Anda.

Lechon alias babi guling ala Cebu
Lechon alias babi guling ala Cebu

Setelah puas mengambil gambar babi-babi imut yang tak berdaya, kami benar-benar pulang. Pantat mulai pegal juga sih. Ya, nggak enaknya berwisata dengan sepeda motor pastinya pantat bakal nempel berjam-jam di jok motor. Sampai di Kota Cebu kembali, Jessie masih berbaik hati menunjukkan beberapa spot untuk tempat kami makan malam atau nongkrong menikmati night life di Cebu. Kami minta didrop di Robinson Mall di pusat kota dan berpisah dengan Jessie dan Jason. Sampai jumpa kembali, kawan!

Kami nggak butuh waktu lama di Robinson, butuhnya cuma buat beli oleh-oleh sih. Oleh-olehnya seputar manisan buah, kue kering, dan Maggie kaldu babi. (Tetap dong, membabi!)

Dari Robinson kami naik taksi ke Red Planet Hotel, beristirahat sejam-dua jam lantas kembali beraktifitas. Hari telah menjelang malam, kami kembali berjalan kaki mengunjungi Rico’s. Kunjungan kedua inipun kami belum beruntung karena lechon sudah sold out, kata mas-masnya. Duh! Akhirnya kami menuju ke Abuhan Pochero. Tempat ini direkomen banyak situs sebagai tempat pochero terlezat di Cebu.

Pochero ini semacam masakan yang bisa saja dari daging babi, sapi atau ayam, dimasak dengan bumbu rempah-rempah dan tepung jagung. Agak susah sih mendeskripsikannya, yang jelas penampakannya seperti ini.

Abuhan Pochero: pochero terlezat di Cebu
Abuhan Pochero: pochero terlezat di Cebu

Dan benarlah yang dikatakan banyak situs itu, pochero di Abuhan Pochero ini benar-benar lezat! Sampai tandas kami menghabiskan seporsi pochero untuk berdua (sayurnya tetap tumis kangkung). Kami sudah belajar bahwa porsi makan di Cebu ternyata gede banget, melebihi standar normal kami. Jadi, di Abuhan Pochero ini kami cukup pesan seporsi untuk berdua, dan benar, porsi yang datang benar-benar deh bikin perut meledak kalau dihabiskan sendirian.

Usai berpesta pora di Abuhan Pochero, saya menyempatkan diri untuk massage sementara kekasih menunggu di kafe sebelah tempat massage. Lumayan, kurang lebih sama deh dengan di Bali, PHP 250 (1 PHP = IDR 300) bisa dapat sejam full-body massage dengan tempat yang lumayan decent.

Hari ketiga ini ditutup dengan beristirahat di kamar hotel saja. Batal menikmati nightlife karena kami pikir, sudahlah, nggak perlu memaksa diri untuk menikmati semua, daripada dipaksa ntar badan rontok mengganggu sisa perjalanan.

Nah, begitulah cerita di hari ketiga. Karena sudah cukup panjang, hari selanjutnya bisa dipantau di postingan berikutnya ya. Jangan bosan!

 

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

4 Responses

  1. Hehehe iya, sudah ada belom ya yang jual halo-halo di Jakarta? Peluang bisnis tuh!

    Maafkan untuk babi gulingnya… hihihi. Terima kasih sudah mampir dan membaca!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru