Akhir Juni 2021. Indonesia kembali merah membara karena peningkatan kasus baru COVID-19 di banyak daerah. Berita-berita buruk menjadi biasa saja di telinga. Foto-foto nakes kelelahan, antrian mengular masuk rumah sakit, screenshot cuitan mengabarkan berita duka bertebaran. Ada kemarahan yang terpendam dalam hati kita semua, beberapa terluapkan, beberapa coba teredam. Saya mulai membaca artikel yang mengulas tentang hal-hal dalam hidup sebelum pandemi yang sering kita abaikan dan tidak kita apresiasi.
Sementara, lupakanlah chaos yang terjadi, yang toh sudah diprediksi sejak kapan hari.
Kali ini, saya cuma pengin mengenang hari-hari sebelum corona meluluhlantakkan hidup kita.
Apa yang paling saya rindukan dari hidup sebelum pandemi?
Pandemi membuat saya terpisah dengan kekasih saya di Jakarta. Saya harus tinggal di Bali, dan karena kondisi ekonomi tidak lagi seperti dulu, tidak bisa seenaknya saya terbang Bali-Jakarta. LDR itu berat, sungguh.
Pandemi memaksa saya berhenti dari pekerjaan saya, dan menempuh jalan ninja sebagai freelancer. Saya menikmati ups and downs sebagai freelancer, tapi tetap ada satu titik yang memaksa saya berpikir: enak juga sih ya kalau jadi karyawan, terima gaji bulanan. (Tapi saya tidak menyesali keputusan saya resign. Prinsip saya, daripada bertahan di sebuah perusahaan yang toxic dan bisa menjadikan saya toxic juga, lebih baik saya mulai lembaran baru.)
Di luar dua hal di atas (tinggal serumah dengan partner, dan kestabilan ekonomi), rasa-rasanya kok hari-hari sebelum dan sesudah pandemi bagi saya nggak begitu jauh beda.
Tentu saja, sekarang setiap ke luar rumah, saya pakai masker. Tapi ya, sudah menjadi kenormalan baru, jadi saya nggak gitu merindukan hari-hari tanpa masker.
Ah, ternyata ada yang saya rindukan: senyum orang-orang. Sekarang, karena tertutupi masker, kita nggak tahu apakah orang-orang yang berpapasan dengan kita itu tersenyum atau nggak. Kita hanya bisa menduga dari sinar mata mereka, apakah sedang ceria atau sedang murung berduka.
Orang-orang merindukan betapa mereka dahulu bisa dengan mudah bertemu teman, berpelukan, nongkrong hingga pagi tanpa perlu dibatasi oleh PSBB atau PPKM atau aturan apalah.
Tapi sebelum pandemi, saya memang sudah mengurangi kegiatan bertemu teman, sih. Beda dengan jaman muda dulu, rasanya kalau nggak nongkrong nggak cihuy. Sebelum pandemi, saya memang sudah jarang bertemu teman, kecuali teman dekat, atau teman yang ada perlunya misalnya untuk garap project bareng.
Ada lagi yang rindu keluarga (besar). Lah sebelum pandemi, saya memang jarang bertemu ibu dan kakak-kakak yang tinggal di Semarang. Pulang kampung kalau ada perlunya saja, seperti: pencoblosan Pilres, ngurus KTP elektronik, ngurus Kartu Keluarga dan sejenisnya.
Memang, anak nggak tahu diri, saya ini.
Apa lagi, ya? Yang kira-kira dirindukan banyak orang tentang hidup sebelum pandemi?
Konser musik?
Saya jarang banget nonton konser. Beda dengan partner saya yang nggak pernah absen ikut DWP.
Nonton film di bioskop?
Well, saya nggak begitu kehilangan juga. Nonton film di Netflix sudah cukup buat saya.
Traveling?
Memang, tahun kemarin untuk pertama kalinya saya dan partner tidak merayakan anniversary dengan bepergian ke luar negeri. Tapi ya, dibilang rindu traveling jarak jauh, nggak juga. Hidup saya masih baik-baik saja tanpa perlu traveling sana-sini.
Senyampang saya menulis ini, saya jadi melakukan refleksi: apakah saya sudah menyerap kenormalan baru seutuhnya, sehingga hampir tak ada yang saya rindukan dari hidup sebelum pandemi?
Atau saya sudah berubah menjadi pribadi yang garing, yang kehilangan rasa kemanusiaan, menjadi makhluk yang praktikal dan logis tanpa emosi berlebih?
Ah, nggak juga. Saya masih sering nangis kok, baik nangis karena depresi maupun karena terharu melihat indahnya bulan purnama. Saya masih bisa mengapresiasi matahari tenggelam perlahan.
Cuma ya, it is what it is. Sekarang saya sudah lebih menerima. Yang terjadi, terjadilah.
Kembali pada pertanyaan semula: apa yang saya rindukan dari hidup sebelum pandemi?
Mungkin, ini yang saya rindukan: saya rindu ruang maya yang bersih dari caci maki karena banyak orang yang belum percaya COVID-19 itu nyata. Ah tapi, mana mungkin ruang maya di Indonesia ini bersih dari caci maki? Selalu saja ada debat kusir. Selalu saja ada pertentangan, ketidakpercayaan pada pemerintah, fanatisme berlebihan entah itu fanatik agama atau teori konspirasi.
Jadi, kerinduan saya itu (akan ruang maya tanpa polusi) berlebihan, ‘kan?
Jadi, apa dong yang saya rindukan?
Saya rindu punya uang banyak. Dah, itu aja. Karena punya uang banyak akan menyelesaikan segala perkara kehidupan saya yang lain.
Kalau kalian, apa yang kalian rindukan?