Hidup tanpa tetapi

Hidup Tanpa Kalau dan Andai

Sedamai-damainya hidup adalah hidup tanpa (terlalu banyak) pengandaian.

Hari kesebelas dalam 30 Days Writing Challenge! Kali ini kudu menulis tentang Something you always think “What if …” about. Kalau soal berandai-andai begini, agak gimana saya tuh. Soalnya malas berandai-andai. Saya meminimalisir penggunaan “kalau” dan “kalau saja” dalam hidup saya.

Tapi yah terkadang memang suka kepikiran sih, gimana ya andai saya begini dan bukannya begitu.

Meskipun ujung-ujungnya, malas melanjutkan perandai-andaian tersebut. Toh “kalau” dan “andai” tidak akan mengubah hidup saya yang sekarang ini.

Mayoritas pengandaian sih berujung pada: tidak, saya tidak menyesal mengambil langkah itu.

Misalnya, kasus tahun kemarin. Saya resign dari perusahaan yang toxic banget. Padahal tidak punya bekal apa-apa buat hidup. Pandemi, gitu lho. Tabungan saya sudah habis untuk bertahan hidup.

Selepas dari perusahaan itu, saya jadi freelancer. Hidup jumpalitan terutama dalam soal finansial.

Tapi apakah saya menyesal resign? Bagaimana jika saya tidak resign, apakah hidup saya akan lebih baik?

Knowing that company so well, saya tidak menyesal sudah resign. Yang saya sesali hanya mengapa saya menyia-nyiakan waktu saya sebelum itu. Mustinya saya bisa memanfaatkan waktu dengan lebih baik agar ketika saya resign, saya tidak perlu khawatir bagaimana cara mengisi pundi-pundi uang saya.

Sekali lagi, saya tidak menyesal resign tahun kemarin. Kalau disuruh balik lagi pun, ogah.

Dengan baik dan buruknya, dengan lebih dan kurangnya, saya menikmati hidup saya yang sekarang.

Jadi, andai ada yang berubah di masa lalu, akankah kehidupan saya ini ikut berubah?

Bisa jadi berubah lebih baik.

Bisa jadi berubah lebih buruk.

Bisa jadi saya sudah mati kemarin-kemarin, sehingga saya tidak sempat menulis posting ini.

Itulah mengapa saya malas berandai-andai.

Padahal, kalau mau diandaikan, banyak banget nih bahannya.

Bagaimana jika dulu saya selesaikan kuliah?

Bagaimana jika dulu saya nggak mudah menyerah, sehingga bisa terus menjadi juara catur nasional dan mengembangkan karir saya?

Bagaimana jika dulu saya tidak bilang cinta padanya, apakah dia masih akan menjadi sahabat saya?

Bagaimana jika dulu saya tidak sepemarah itu, akankah hidup saya lebih baik dan makmur?

Seribu bagaimana, takkan menggoyahkan pendirian saya bahwa hidup saya sekarang inilah yang terbaik untuk saat ini.

Namun, tentu saja, masih bisa lebih baik di hari nanti.

Bahkan, masih bisa lebih baik malam nanti.

Saat ini, adalah sekarang, adalah titik yang ilutif, yang selalu bergerak dalam sungai waktu.

Seperti pijar planet-planet yang berjarak jutaan tahun cahaya. Ketika kita melihat cahaya mereka, bisa jadi planet-planet itu sudah mati, sudah jadi bongkahan karang, sudah kiamat di semesta mereka.

Karena itu, buat apa berandai-andai, bila ujungnya adalah penyesalan tiada guna?

Saya memilih untuk hidup saat ini, dan meminimalisir segala “kalau” dan “andai”.

Demikian.

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru