Jumat pagi, 18 Desember 2015 yang lalu, saya langsung uring-uringan membaca twit tentang Jonan, Menteri Perhubungan kita, melarang usaha transportasi berbasis online. Bagaimana enggak, kenyamanan hidup saya di Jakarta tergantung sangat pada GrabBike, GrabCar, GrabTaxi, Uber dan (dahulu) Go-Jek. Mereka yang membuat kemacetan Jakarta bisa terasa lebih ramah. Iya, kalau pakai taksi biasa, ‘kan kemacetan bikin deg-degan ya karena argo taksi bisa melebihi perkiraan, sementara kalau pakai Grabcar atau Uber, kita bisa dapat rate yang lebih murah dan kalau pakai Grabtaxi sering ada potongan harga. Pun, kalau jarak masih dalam jangkauan, lebih praktis naik ojek, dan lebih praktis lagi pakai Grabbike (atau Go-Jek buat yang peduli karya anak bangsa, uhuk) karena nggak perlu tawar menawar harga sama tukang ojeknya (atau driver bahasa kerennya).
Bukan berarti saya anti ojek pangkalan ya. Hampir setiap pagi pun saya ke coworking space tempat saya mangkal, naik ojek yang mangkal di depan pintu keluar apartemen. Cuma pulangnya, kalau nggak naik angkot ya naik transportasi berbasis online gitu deh. (Saya ogah memakai term “ride sharing” yang dipopulerkan oleh marketing team mereka. Ojek = “ride sharing”? Please deh, kalau yang beneran “ride sharing” itu kayak nebengers gitu. Sekalinya itu dijadikan komoditas dan ditarik bayaran berdasar formula tertentu, ya udah, jatuhnya jadi kayak ojek biasa.)
Kembali ke hari Jumat pagi kelabu itu, akhirnya saya memutuskan naik GrabTaxi. Kasihan juga sih tukang ojek langganan jadi kehilangan rejeki, tapi salahin Jonan aja deh yang bikin mood saya jadi jelek! (Kalau yang lain berprinsip #semuasalahJokowi, boleh dong saya punya hestek #semuasalahJonan.)
Lagian juga di Jumat pagi itu, nyari Uber ataupun GrabCar susah banget. “No Car Available” muluk. Bisa dimaklumilah, pasti semua pada tiarap gara-gara pengumuman pak menteri.
Nggak butuh waktu lama, taksi saya pun datang. Tipikal taksi yang nggak bakal saya setop di jalan deh, karena kalau di jalanan saya lebih nyaman dan aman pakai taksi BB atau E, mentok-mentok taksi T.
Saya ngobrol dengan pak driver. Sudah lama dia pakai GrabTaxi, dan menurut dia jauh banget peningkatan penghasilan sebelum dan setelah gabung GrabTaxi. Bisa dimengerti pake banget. Seperti saya bilang di atas tadi, kalau di jalan kecil kemungkinan saya akan menyetop taksi selain BB, E maupun T. Tapi dengan GrabTaxi, saya nggak bisa memilih dapat taksi apa, dan itu bagus buat para driver taksi. Bagi saya pun nggak masalah karena dengan GrabTaxi, transaksi saya tercatat, saya naik taksi berplat nomor apa dengan driver saya, tercatat semua. Beda dengan kalau saya stop taksi di jalanan.
Lalu ingatan saya kembali pada sosok Menteri Perhubungan kita tercinta, Jonan. Saya nggak tahu apa yang mendasari beliau mengeluarkan larangan itu. Apakah ada motif persaingin bisnis? Semua orang tahu siapa yang ada di balik Organda dan betapa gencarnya Organda menentang moda transportasi berbisnis online. Apakah ada tekanan pihak tertentu? Atau semata karena Pak Jonan patuh banget sama peraturan tapi malas banget mencermati perkembangan yang ada di lapangan, sehingga alih-alih merangkul inovasi yang ada, beliau memilih melarang dan dengan kaku berdalih “menegakkan peraturan”.
Ah, Jonan. Terima kasih sudah membuat Jumat pagi saya kelabu. Saya jadi berpikir, bakal jadi apa bangsa ini, kalau setiap inovasi dicekal tanpa diberi ruang? Kasus transportasi berbasis online ini, misalnya, nggak bakal jadi kasus gede kalau Jakarta sudah dilengkapi moda transportasi yang aman dan nyaman. Nggak ada macet keterlaluan yang bikin pengguna seperti saya memilih ojek untuk mengejar waktu ketemuan. Commuter line berangkat tepat waktu dan nyaman nggak bikin kita seperti pindang berjejal di dalamnya. (Makanya saya ogah naik commuter line di jam-jam sibuk. Bandingkan dengan di Singapore, Kuala Lumpur, Bangkok maupun Taiwan, sesibuk-sibuknya mereka di peak hours, tetap masih terasa “manusiawi” naik MRT di sana.)
Saya nggak menyangkal, ojek online itu juga menimbulkan masalah. Manajemen yang nggak bijak, misalnya, dengan rekruitmen driver jauh melebihi angka permintaan pasar, menimbulkan pemandangan tak sedap: driver-driver berbaju ijo mangkal di perempatan, menganggur di pinggir jalan merindu orderan, kadang bikin macet juga menuh-menuhin jalan.
Tapi bagi saya, semua masalah itu ‘kan harusnya dirangkul, jangan dibinasakan. Kalaupun Jonan pengin semua perusahaan transportasi berbasis online memenuhi perijinan dan perpajakan, kasih waktu dong. Kalau sampai tenggat waktu belum juga dipenuhi, barulah keluar larangan. Udah gitu, telat banget keluar larangan, ketika perusahaan macam Go-Jek sudah merekrut puluhan ribu driver dan merambah banyak kota. Ke mana aja situ sedari dulu, Pak Jonan? Saya yang orang awam gini aja ngerti kok, mengapa menteri sebrilian Jonan susah ngerti yak?
Untung gerundelan saya di hari Jumat itu berakhir happy ending. Twit Pak Presiden bikin semua netizen bersorak-sorai.
Lega deh semuanya. Pulang kantor saya dengan nyaman dan lancar pakai GrabBike. Terima kasih, Pak Presiden! Dan buat Pak Jonan, kasihan banget situ Pak!
Featured image saya ambil dari sini: http://bekasipost.com/?p=720
2 Responses
Tapi sekarang masalah ini kembali muncul ke permukaan dengan adanya tuntutan dari pengemudi taksi konvensional. Semoga saja segera didapat solusi terbaik untuk semua pihak
Iya Mbak, silakan disimak artikel tentang demo kemarin: http://balepoint.com/belajar-dari-manajemen-krisis-blue-bird-seputar-demonstrasi-22-maret-2016/. Baru seputar manajemen krisis aja, kalau tentang aspek bisnisnya mungkin di artikel berikutnya. Terima kasih sudah mampir dan membaca ya!