Baru-baru ini saya dipasrahi menjaga rumah seorang teman yang bepergian ke luar negeri selama dua pekan. Rumahnya gak segitu gede, halaman depan cukuplah buat parkir satu mobil dan taman kecil (banget). Ada satu kamar di lantai satu plus dua kamar di lantai dua. Sebenarnya sudah dari dulu saya sering main ke rumah teman ini, cuma baru sekarang saya merasa perlu berkomentar: “Barang lu banyak banget!”
Yang lebih mengenaskan lagi, ketika saya bermaksud masak air buat kopi dan indomie telur buat makan malam, saya langsung merasa kangen pada kamar kost saya dan dapur seuplik itu.
Lebih mudah menemukan garpu di dapur saya ketimbang di rumah ini.
Lebih mudah menentukan apa yang bisa dipakai untuk memasak air. Di kamar saya, ada ceret untuk masak air, dan di rumah ini saya nggak menemukan itu, akhirnya pakailah panci soup untuk masak air.
Gunting yang ada di rumah teman saya, nggak berfungsi sebagaimana gunting adanya, karena sudah tumpul. Dan saya nggak menemukan gunting yang lain.
Saya musti membuka satu demi satu laci drawer untuk menemukan mana wajan untuk bikin omelette.
Dan seterusnya.
Rumah teman saya mengingatkan saya pada rumah di kampung halaman. Penuh barang, meski belum tentu barang itu masih berguna. Tapi dibuang sayang, siapa tahu suatu ketika perlu, begitu kata Ibu.
Saya mencoba memaklumi Ibu karena dia lahir dan besar jaman susah. Jaman Jepang saat nggak berkelimpahan barang seperti sekarang. Jadi, saya maklum betapa berat hatinya untuk membuang setumpuk majalah Femina lawas – yang jelas-jelas sudah tidak akan terbaca. Kebiasaan menimbun barang menjadi hal biasa di mata saya.
Kebalikan dari Ibu, saya malah jadi teledor soal barang. Kehilangan barang beberapa kali, saya melipur diri dengan berdalih: “Biarkan saja hilang, toh ntar saya mati juga nggak dibawa.” Nggak menemukan gunting kuku, gampang, tinggal beli di minimarket sebelah.
Tahu-tahu saya jadi penimbun barang. Ketika pindah dari Bali ke Jakarta tahun 2011, saya baru terpana melihat berapa banyak tempat lilin yang saya punya. Begitupun dengan gunting kuku. Bahkan palu, untuk apa saya punya dua palu? Dipakai pun cuma sekali setahun.
Akhirnya semua barang saya hibahkan pada teman-teman. Saya ke Jakarta cuma membawa dua koper.
Sekarang saya nggak mau menimbun barang. Untuk apa punya selusin gelas, toh yang dipakai cuma satu. One at a time. Ya toh?