Seorang cendekiawan, Zhou Zi, yang telah mempelajari konsep Buddhisme dari gurunya, seorang Mahabhikshu Zen, pada suatu hari membuat suatu puisi yang menurutnya merupakan pencerminan keadaan batinnya yang tenang, tentram dan bahagia. Dalam puisinya tersebut, dilukiskan bagaimana dia telah mencapai keadaan batin yang damai, kokoh, tidak terpengaruh oleh bahkan delapan mata angin sekalipun.
Sungguh bangga sekali Zhou Zi akan puisi barunya tersebut, sehingga dia berniat untuk mengirimkan kepada gurunya yang tinggal di seberang sungai, dengan harapan akan memperoleh pujian. Zhou Zi segera mengirimkan kurir untuk menyampaikan puisinya tersebut, yang diberi judul ‘Hati yang Tiada Tergoyahkan’. Setelah gurunya menerima kiriman puisi tersebut dan membacanya, dimana oleh kurir cendekiawan dimintakan agar gurunya dapat menuliskan kesannya, maka beliau menuliskan sesuatu di balik kertas puisi tersebut dan diserahkannya kembali melalui kurir.
Zhou Zi menunggu kedatangan kurirnya untuk membaca pujian yang disampaikan oleh gurunya, dan segera dibuka sampul berisi kertas puisinya. Betapa marahnya Zhou Zi menemukan tulisan gurunya berupa tinta merah dengan tiga huruf besar, ‘PUISI BAU KENTUT’. Sungguh geram Zhou Zi, dia menilai gurunya benar-benar tidak mengerti ungkapan yang mendalam dari dia akan konsep Buddhisme tentang keseimbangan batinnya. Zhou Zi memutuskan untuk segera ke seberang sungai menemui gurunya.
Sesampainya di tempat gurunya, Zhou Zi menanyakan dengan emosi yang ditahan, “Kenapa suhu mencela puisi saya, apakah suhu tidak bisa menangkap arti kiasan yang begitu mendalam dari puisi ini?” Mahabhikshu Zen tersebut tertawa dan berkata, “Ha…ha..ha…, lihatlah dirimu sendiri muridku, baru terkena satu angin kentut saja, Anda sudah terbirit-birit ke sini…., apalagi kalau diterpa delapan mata angin sekaligus!”
(Diambil dari blog Sumansutra)
*****
Cerita di atas mengingatkan saya pada seorang kenalan yang gemar sekali berkata-kata bijak. Tidak, saya tidak menyalahkan kegemarannya. Saya malah terkadang berterimakasih karena dia menjadi sumber ilham bagi saya.
Suatu ketika dia tertimpa masalah. Dan dia meracau begitu hebat. Marah tak terkira. Murka. Seperti dunia hendak kiamat. Padahal, bagi saya, masalah yang dia hadapi itu cuma seperti kentut yang memang nggak enak baunya, tapi toh sebentar lagi juga akan berlalu. Justru, dengan cara dia menghadapi masalah, masalahnya akan tetap semakin lama berdiam. Ibarat kentut, alih-alih membuka jendela agar udara di ruangan semakin cepat bertukar dengan udara segar, dia malah menandak-nandak saja membuat udara makin pengap.
Saya tersenyum dan berkata padanya: “Terima kasih, telah memberiku bukti bahwa bijak tidaknya kamu tidak tergantung seberapa sering kamu berkata-kata indah. Kebijaksanaan yang sesungguhnya akan tampak ketika kamu sedang tertimpa masalah.” Saya mengibaratkannya seperti ini: kebijaksanaan itu tampak ketika kepala kita ditimpuk buah kelapa, bukan dari seberapa seringnya kita berkata bijak. Apakah kita akan meracau mengutuk pohon kelapa yang tak berdosa? Atau kita masih bisa tersenyum dan mengambil hikmah dari kejadian tak terduga itu, meski kepala kita mungkin bocor berdarah-darah dan mungkin juga kita pingsan dan kemudian mati karenanya? Mati dengan tersenyum dan bersyukur, atau mati dengan hati mendendam pada pohon kelapa?
Saya tidak menganggap saya lebih bijak darinya. Karena saya tahu, dulu pun saya setolol dia. Entah sekarang, mudah-mudahan ketololan saya benar-benar menyurut. Yang jelas, saya tetap terus belajar agar tidak terpaku pada kata-kata indah, namun menyerap intisari kata-kata agar tampak pada perbuatan dan kelakuan saya, pun saat masalah berat menerpa.