Pernah ngalamin jamannya Krip Krip Anak Mas? Cemilan berupa mie kering yang diremes-remes (alias diremukin) sebelum dikasih bumbu dan dicemil itu, dulu populer banget. Terus sempat menghilang. Belakangan, saya menemukannya lagi di warung depan kantor – bukan Anak Mas sih, tapi sekategorilah, mie remes gitu.
Trus saya beli beberapa bungkus, saya taruh di laci kantor. Ketika seorang teman datang, dan teman ini cluthak alias mau tahu aja, singkat kata teman saya menemukan mie remes ini. Dia santap sebungkus sambil kami mengobrol soal okupansi dan hal-hal basi lainnya.
Selain mie remes itu, cemilan yang hampir tiap hari saya tenteng dari warung itu adalah donat. Donat kampung, istilah teman saya. Tapi asik aja rasanya, ketimbang donat ala Dunkin atau J.Co. Enakan donat kampung, bagi lidah saya yang memang anak kampung ini.
Saya memang ekstrim. Saat menulis posting ini, saya sedang menghabiskan segelas Ice Lychee Tea setelah tadi secangkir coklat hangat habis tandas.
Tapi saya nggak antipati pada kopi sachet atau jajanan kampung seperti yang saya tulis di atas.
Hari-hari ini malah saya berusaha menurunkan taraf gaya hidup saya, agar lebih membumi. Ya tepatnya sih, agar lebih ngirit. Lebih frugal. Saya nggak mau lupa daratan, jadi saya biasakan tetap menyantap nasi jinggo buat sarapan, atau nyemil jajanan macam donat kampung itu.
Saya sudah pernah merasakan kenikmatan yang mewah.
Sebaliknya, saya pernah juga akrab dengan kemelaratan yang sebenar-benarnya.
Semua yang terjadi di masa lalu saya, membuat saya menjadi seperti sekarang. Sedang-sedang saja. Tidak berlebihan.
Tetap membumi. Tetap menapakkan kaki di bumi, dan tidak lupa diri mengawang-awang berilusi.