Kemarin, saat saya berkunjung ke Gramedia Yogyakarta di bilangan Kotabaru, saya tertegun melihat begitu banyak buku terhampar. Harap maklum, sudah setahun lebih rasanya saya nggak ke toko buku. Selama ini, baca buku cukup lewat ebook atau langganan Gramedia Digital.
Berkeliling mencari buku yang sekiranya cocok buat saya, beberapa kali saya tertumbuk pada buku yang mengangkat topik seputar filosofi hidup dari luar negeri.
Misalnya, buku tentang ikigai, yang menjelaskan tentang kesenangan dan makna kehidupan. Konsep yang lahir dan dipegang oleh banyak orang Jepang.
Memang, memperkaya diri dengan filosofi maupun falsafah kehidupan dari luar negeri, tidak ada salahnya. Saya rasa, nilai-nilai universal tidak bisa diklaim hanya sebagai milik satu bangsa saja.
Tapi kita juga punya falsafah milik nenek moyang kita sendiri. Jangan sampai terlupakan hanya karena kita terpesona dengan konsep-konsep impor dari luar.
Karena saya lahir dan besar sebagai orang Jawa, saya tertarik untuk mengulik falsafah Jawa.
Seperti yang satu ini: narimo ing pandum. Atau lebih sering disebutkan sebagai nrimo ing pandum.
Narimo atau nrimo artinya “menerima”.
Pandum artinya pemberian dari Tuhan atau yang empunya hidup.
Jadi “narimo ing pandum” artinya menerima segala pemberian dari Tuhan.
Menerima di sini jangan diartikan sebagai pasrah, atau pasrah bongkokan.
Kalau pasrah kesannya kok tanpa daya tanpa greget gitu.
Menerima alias nrimo ala orang Jawa itu menerima dengan rela, mengandung usaha untuk mengupayakan penerimaan itu.
Bukan terpaksa, tapi rela.
Legawa, kata lainnya. Dengan besar hati menerima apapun yang diberikan oleh kehidupan.
Nrimo ing pandum ini masih ada kaitannya dengan postingan saya kemarin tentang batasan dalam hidup.
Kita dengan rela, dengan kesadaran penuh, menerima apapun pemberian Tuhan. Menerima apa yang terjadi, dan mempersiapkan diri juga untuk menerima apa yang akan terjadi.
Termasuk menerima batasan-batasan yang diberikan pada kita.
Kalimat nrimo ing pandum ini sebenarnya ada lanjutannya, yang acap kali diabaikan orang dan akhirnya salah memahami nrimo ing pandum sebagai satu sikap pasrah tak berdaya.
Kalimat lengkapnya adalah narimo ing pandum, makaryo ing nyoto.
Artinya “menerima segala pemberian, bekerja secara nyata”.
Jadi meskipun nrimo, ya tetap perlu bekerja. Nyata-nyata bekerja, kagak ngomong doang.
Itulah mengapa sikap menerima orang Jawa, meskipun terlihat pasif, sebenarnya bukanlah satu kepasifan, karena selalu ada tindak lanjutnya yaitu: makaryo ing nyoto. Bekerja secara nyata.
Sikap nrimo ing pandum ini akan mengantar kita ke gerbang kebahagiaan.
Dengan nrimo ing pandum, kita terhindarkan dari sikap kebanyakan protes. Sikap melawan takdir. Sikap menentang apapun yang diberikan atau sudah digariskan oleh Tuhan.
Nrimo ing pandum, makaryo ing nyoto. Satu falsafah Jawa yang perlu kita gaungkan selalu agar tidak terlupakan.
Kalau kamu, apa falsafah nenek moyang yang kamu pegang erat hingga sekarang?
satu Respon