Agak lama buat saya menulis bagian terakhir perjalanan karir saya di dunia catur. Karena memang banyak sekali cerita yang terjadi di periode ini, dan tidak semuanya menyenangkan. Sekarang, saya sendiri tidak memahami cara berpikir saya waktu itu.
Saya mulai kecanduan catur. Kecanduan banget.
Saking mencandunya, kuliah terlantar.
Saya lebih sering nongkrong di markas, daripada kuliah.
Teman-teman kuliah saya mulai cemas. Nggak sedikit yang membujuk saya untuk kembali rajin kuliah. Bahkan ada yang mau menjemput dan mengantar saya kuliah. Baik banget, ya! Padahal pacar bukan, hanya teman baik sahaja.
Dan profil seperti saya ini, bukanlah profil satu-satunya di komunitas catur kami.
Iya, jadi mahasiswa abadi lumrah pada masa itu.
Bukan karena kami bodoh di mata kuliah, bukan. Ada teman saya yang untuk kalkulus pun dia mendapat A. Tapi kesehariannya dihabiskan di markas catur, atau di Gramedia Kotabaru (untuk baca buku gratis).
Ada kakak angkatan di Fakultas Kedokteran, yang akhirnya masuk RSJ. Keluarga bilang, karena terlalu banyak main catur. Komunitas catur bilang, karena dikekang oleh keluarga. Entahlah mana yang benar, dan di mana beliau sekarang.
Ini bahaya catur, menurut saya. Bahaya apabila tidak disertai dengan disiplin diri yang keras, dan terlalu larut dalam dunia yang memabukkan pikiran itu, sementara dunia yang sesungguhnya ada di sekeliling kita, terlupakan.
Seperti saya, yang memang hidup nyaris tak berdisiplin saat itu. Dengan mudah saya terhanyut oleh suasana.
Yang kami sebut markas, hanyalah kamar kost berukuran 3 x 3 m2. Kamar sesempit itu bisa dipenuhi oleh sepuluh orang. Bahkan pernah, 18 orang!
Sepasang main catur, dan yang lain memperhatikan, jadi komentator.
Atau baca buku. Buku catur, pastinya.
Atau ngobrol ngalor ngidul, yang biasanya lantas diakhiri dengan acara makan rame-rame.
Masak indomie (sungguh, sedap indomie bikinan teman saya Taryoko, tak tertandingi hingga kini).
Wisata kuliner murah meriah. Berboncengan, kami menjelajah sudut Jogja untuk menemukan tempat soto yang wuenak. Burung dara Rotowijayan yang guede dan sedap. Gudeg Tugu yang murah meriah. (Di depan Toko Gunung Agung yang sekarang sudah tutup. Kalau yang di seberangnya, itu lebih enak tapi mihil.)
Petualangan kami benarlah khas anak muda. Bebas, sebebas-bebasnya
*****
Sebenarnya, bagaimana sih kecanduan catur itu? Pastinya nggak sama ‘kan dengan mencandu narkoba?
Bisa bayangkan ketika apa yang ada di otak kita adalah hal yang kita cintai? Detik demi detik, menit demi menit, hanya itu-itu saja yang hadir di benak.
Bikin mabuk kepayang.
Bukan hal yang luar biasa bagi kami, apabila kami main catur buta. Terkadang di markas, terkadang sambil jalan-jalan di Malioboro.
Catur buta?
Iya. Kedua pemain tidak boleh melihat papan catur. Mereka hanya bisa membayangkan posisi buah catur di benak.
Saat melangkah, hanya cukup sebutkan langkah yang kita inginkan. Putih: e2-e4, misalnya. Lalu jawab si Hitam: e7-e5. Dan seterusnya, sampai salah satu mencapai kemenangan, atau salah satu salah langkah karena salah membayangkan posisi.
Rumit, ya?
Saat pertandingan, apalagi jika kalah, tak jarang partai (=permainan) terbawa mimpi. Saat tidur, otak tetap bekerja mencari tahu mengapa kita bisa sampai kalah. Dan bangun-bangun, langsung terbayang langkah kemenangan.
Sebegitunya sih.
Terlihat gila. Padahal, iya.
*****
Saya semakin sering bertanding di Kejuaraan Terbuka. Sekarang saya heran, bisa-bisanya waktu itu saya memutuskan untuk hidup menggelandang.
Untuk ikut kejuaraan di Bali, misalnya, dengan bekal seminim-minimnya. Cerita lengkapnya sudah saya tulis tentang perjalanan pertama saya dalam rangka main catur ke Bali tahun 1994.
Atau ke Bojonegoro. Malam pertama karena tidak sempat mencari penginapan, saya tidur bersama para pecatur pria lainnya di hall ruang pertandingan.
Baru esoknya kami mencari losmen murah. Tempat yang biasa dipakai untuk menginap para sopir antar kota. Untuk makan, kami beli sate seporsi dibagi 3. Miskin, cuy.
Saat main catur di Semarang, di kota asal saya sendiri, karena saya keasikan main sampai pagi, saya tidak berani pulang ke rumah. Alhasil, terdamparlah di Simpang Lima, yang waktu itu masih diperbolehkan untuk para pedagang, termasuk penjual problem 3 langkah mati.
Tidur sejenak setelah menatap langit kota yang bertaburan bintang.
Di Jogja sendiri, tak terbilang malam-malam yang saya habiskan di jalan.
Nongkrong bersama teman-teman para penjual problem 3 langkah mati. Sampai pagi.
Atau, sekedar melewatkan malam di angkringan Sekip.
Dengan hidup bebas tak keruan macam itu, apa sih sebenarnya yang terlintas di benak saya saat itu? Entah. Sepertinya, kebebasan adalah nilai utama saya pada masa itu.
*****
Karir catur saya sendiri, memburuk setelah Kejurnas Catur 1992. Saya masih ikut PON mewakili tim DIY tahun 2000 dan 2004, namun tak ada hasil cemerlang.
Setelah itu saya memutuskan berhenti. Karena jujur saja, apa yang bisa dapatkan dari catur dengan karir yang tak kunjung cemerlang?
Kilas balik ke masa lalu yang tak semuanya indah, tidak membuat saya menyesali apa yang sudah saya perbuat dulu. Memang, andai saya bersikap lebih tangguh, mungkin karir catur saya akan tetap cemerlang dan hidup saya lebih teratur.
Tapi saya menikmati hidup saya yang sekarang ini. Andai dulu saya tidak hidup gila, mungkin saya tidak akan sampai pada titik ini.
Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Penyesalan sebesar apapun, akan percuma.
Cukuplah bagi saya untuk mengerti apa artinya kemenangan, kekalahan, pertemanan, persahabatan sejati, persahabatan palsu, rasanya mencintai, rasanya dicintai, dan semua yang tidak semua anak muda mengerti.
Jadi, lebih baik belajar dari masa lalu, untuk masa depan yang lebih baik. Yoih ‘kan? Mantap? Ntap!
*****
Tautan ke tulisan sebelumnya tentang perjalanan karir catur saya:
Awal Perkenalan Saya Dengan Dunia Catur
Awal dari Periode Hidup Penuh Drama