Topik hari kedua 30 Days Writing Challenge ini adalah “Write something that someone told you about yourself that you never forget“. Agak-agak susah sih, karena saya termasuk orang yang cuek dan jarang mengingat-ingat kata orang tentang saya. Lagian, ngapain ngurusin pendapat orang tentang saya, toh yang tahu sebenarnya ya diri saya sendiri.
Tapi saya mencoba mengingat-ingat, apa ya perkataan orang tentang diri saya yang tidak bisa dan tidak akan saya lupakan?
Hmm.
Jadi nggak enak nih. Kok yang saya ingat yang bagus-bagus saja ya.
Padahal saya yakin, saya ini orang yang menyebalkan. Buktinya, ada beberapa teman yang tidak mau lagi berteman dengan saya, dan block saya di media sosial.
Ah, ini saja.
Saat itu saya dan seorang teman sedang berbincang tentang seseorang yang kami kenal.
Kami berdua sama-sama punya kasus dalam hal pekerjaan dengan orang itu. Sebut saja, Ibu X. Kasus yang beda, ya, dan saya juga baru tahu kalau teman saya berkasus dengannya.
Setelah terkena kasus, reaksi saya adalah saya tidak mau lagi berhubungan dengan Ibu X.
Reaksi teman saya beda. Dia masih mau menemui Ibu X, makan siang bareng, dan dengan halus menolak tawaran yang diajukan oleh si ibu yang merupakan utusan dari big boss dia, yang mantan big boss saya dan teman saya.
Saya bilang, “Saya nggak bisa seperti dirimu.”
Kata teman saya, “Kamu orangnya blaka suta sih.”
Blaka suta itu bahasa Jawa yang artinya blak-blakan. Kalau bicara terus terang, tanpa tedeng aling-aling. Mungkin bisa disetarakan dengan cablak atau nyablak.
Ya, saya akui saya memang blaka suta. Saya nggak bisa bermanis-manis sementara dalam hati saya bilang lain.
Saya malah kagum dengan teman saya itu. Akhirnya saya belajar untuk tidak terlalu terus terang, kecuali dengan orang-orang yang benar-benar saya percaya.
Selebihnya, saya belajar berkompromi dengan kata hati.
Sedikit munafik? Bisa jadi.
Tapi ada yang bilang, itu tanda kedewasaan.
Dewasa berarti sudah bisa mengatur emosi. Tidak membiarkan gejolak hati mempengaruhi kelakuan dan perkataan kita.
Untuk orang-orang yang pernah saya sakiti hatinya di masa lalu karena perkataan saya yang blak-blakan, saya minta maaf.
Tapi bukan berarti saya hanya akan berkata yang positif-positif saja, ya. Saya tetap anti toxic positivity.
Saya akan tetap mengutarakan kebenaran, hanya saja dengan cara yang lebih lembut.
Karena bagi saya, kebenaran itu jauh lebih sehat meski pahit, ketimbang tipuan yang disalut gula manis dan bersimbah madu.
Jadi ya saya nggak munafik. Saya hanya mengontrol diri saya, kapan keterusterangan itu bisa mengemuka, dan kapan harus disembunyikan.
Sisi lain dari kebenaran pahit adalah tidak semua orang siap menerimanya.
Dahulu, saya abai akan hal itu.
Ujungnya malah jadi merugikan saya.
Karena ketidaksiapan orang-orang menerima kebenaran yang saya utarakan, saya jadi kehilangan koneksi. Kehilangan teman. Bertambah musuh.
Nggak sih, saya nggak masalah kok bertambah musuh.
Tapi ya sekarang hemat energi adalah kunci hidup saya.
Daripada bersusah payah menjelaskan kebenaran pada orang-orang yang belum sanggup menelannya, mending saya diam. Tersenyum sudah lebih dari cukup. Tanpa perlu buang energi ber-blaka suta.
Kalau kamu, apa perkataan orang tentang dirimu yang tidak bisa kamu lupakan? Share di kolom komentar, ya!