Kemarin, mengikuti istilah anak-anak kekinian, saya memutuskan memberikan reward pada diri sendiri. Setelah minim interaksi dengan dunia luar selama hampir dua bulan, akhirnya kemarin saya berhasil menyeret kaki untuk melangkah menuju Gramedia. Karena, ya, tempat mana lagi yang pantas dituju oleh seorang kutu buku seperti saya?
Niatnya saya beli dua novel untuk pemantik api semangat menulis saya. Satu novel penulis kenamaan entah siapa, dan satu novel penulis baru yang sama sekali saya belum pernah baca karyanya.
Biar bisa buat perbandingan, gitu, gimana gaya penulis tersohor dengan penulis baru.
Tapi itu niat, ya.
Kenyataannya, saya cuma beli satu novel.
Table of Contents
ToggleBagaimana buku ini menemukan saya
Itupun setelah hampir satu jam mengelilingi lantai 3 Gramedia Kotabaru yang makin caem. Menelisik satu demi satu judul, meneliti rak demi rak, sambil menunggu kata hati memutuskan buku mana yang pantas saya beli.
Tiba-tiba teringat, ada seorang Quorawan yang penulis buku. Niat mencari novel beliau, apa daya hasil pencarian menunjukkan stok kosong.
Nah, persis di sebelah monitor yang disediakan Gramedia bagi para pengunjung untuk mendapatkan informasi ketersediaan buku, ada rak yang memuat beberapa novel. Saya tertarik pada “Luka Cita” setelah membaca sinopsis novel ini bercerita tentang seorang pemain catur.
Wah, gue banget, nih!
Langsung deh saya beli. Dan berhubung harganya cukup mahal, Rp.125.000,- jadinya saya beli satu novel ini saja. Nggak jadi beli dua.
Dan buku setebal 441 halaman ini saya tuntaskan kemarin.
Berarti bagus banget dong? Bukankah buku yang bagus itu yang bisa bikin kita enggan meletakkan buku itu sampai kita selesai membacanya?
Bagus sih, tapi ….
Selalu ada tetapi, ya.
Kejanggalan yang mengganjal
Kita runut dari awal dulu.
Blurb di belakang buku menyebutkan:
LUKACITA. Tentang para pemimpi dikhianati cita-cita mereka sendiri. Seorang pendiri perusahaan start-up idealis bernama Javier bertemu dengan mantan atlet pecatur penakut bernama Utara. Saat mereka hampir menyerah untuk memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan selama ini, mereka belajar untuk memaafkan keadaan.
Sebagai (mantan) pecatur, otomatis saya mencocokkan pengetahuan dan pengalaman saya dengan apa yang ditulis oleh Valerie. Sama seperti ketika saya review Queen’s Gambit yang fenomenal itu.
Bagi saya, ada beberapa kejanggalan dalam Luka Cita ini. Yang paling mengganjal adalah PERCASI (Persatuan Catur Seluruh Indonesia) di buku ini “dianggap” sebagai klub catur. Setahu saya, PERCASI adalah bukan klub catur, melainkan organisasi yang membawahi segala kegiatan seputar percaturan di Indonesia, termasuk pembinaan, pelatihan, dan pertandingan.
Tapi ya mungkin semesta catur yang ada di novel Luka Cita ini sudah beda dengan semesta saya waktu jadi pecatur dahulu.
Cuma ya tetap terasa janggal sih, tokoh utama di novel ini, si Utara tidak pernah disebutkan jadi juara nasional catur Indonesia, tapi pernah juara di Asian Championship.
Kejanggalan selanjutnya yang membuat saya mengerutkan kening adalah membaca pemahaman Utara tentang eksistensi bidak Raja dan Ratu.
Because the reason why Queen exists… is the King. Queen should live for her King. Once the Queen dead, King would be dead too.
Hilangnya Ratu (atau Menteri dalam istilah catur resmi Indonesia, di notasi catur disingkat sebagai M) bukan berarti Raja langsung mati dan permainan usai.
Lha kalau Menteri kita hilang ditukar dengan Menteri lawan? Pertarungan masih akan berlanjut dengan seru.
Atau, Menteri hilang karena kita tukar dengan dua Benteng lawan? Malah lebih untung punya dua Benteng daripada 1 Menteri.
Membaca kutipan tentang King vs Queen di atas, di halaman 14, membuat saya langsung patah semangat untuk meneruskan membaca. Tapi tetap saya baca sampai akhir, kok, karena saya nggak mau terlalu awal menjatuhkan penilaian.
Masih banyak kejanggalan seputar catur di buku ini. Hanya saja saya maafkan, karena novel Luka Cita ini memang tidak mengeksplor jauh tentang pecatur, tapi lebih ke cerita cinta dan luka yang diderita Utara dan Javier, tokoh utama yang satunya.
Saya malah berpikir seandainya Utara bukan atlit catur, tapi atlit anggar misalnya, cerita bakal tetap ada, selama analogi dan istilah yang diambil dari catur diganti dengan analogi dan istilah anggar.
Gaya penceritaan dan penulisan
Secara penceritaan, penuturan dengan menggunakan “lo” dan “gue” pada awalnya mengagetkan saya. Oh, begini ya novel anak zaman sekarang. Ya gapapa sih, soal “lo” dan “gue” tidak saya permasalahkan betul.
Cerita mengalir dengan sudut pandang bergantian antara Utara dan Javier. Jago bercerita si Valerie ini, saya akui. Kalau nggak, saya nggak akan bisa tuntas membaca sampai akhir.
Perkara konflik yang diada-adakan, masih bisa saya maafkan. Namanya juga fiksi. Kalau tidak mengada-ada, nanti nggak jadi satu cerita.
Jadi gitu saja review singkat saya tentang Luka Cita. Saya nggak mau spoiler terlalu banyak juga, hehehe.
Simpulan
Recommended buat dibeli? Recommended kalau punya Rp.125.000 buat buku setebal ini plus bonus notebook. (BTW kalau mau dapat harga spesial Luka Cita sila kunjungi toko ini di Toped, suka ada diskon buku, original pasti!).
Apakah ini buku yang benar-benar menggambarkan pecatur? Not really. Dan memang fokus cerita bukan ke situ, jadi memang beda sama Queen’s Gambit.
Oh ya, ternyata Luka Cita ini karya kelima dari Valerie Patkar. Ke mana aja gue, ya?