Seperti biasa, netizen Indonesia tak pernah kehabisan bahan perbincangan, ghibah, atau bahkan bahan bully-an. Sekeping konten TikTok yang diunggah sebuah coffee shop di Bandung, Rumah Sekara (kemudian disebut sebagai RS aja ya biar nggak kepanjangan), menyulut kemarahan para netizen Indonesia yang akhirnya membuat video tersebut di-take down. Tapi netizen ‘kan gercep ya. Sudah ada TikTokers yang nge-stitch video aslinya meskipun konon ybs berjanji akan take down juga video tersebut pada waktunya.
Dan nasi sudah menjadi bubur, netizen Indonesia yang antara terlalu rajin atau kurang kerjaan, menyerbu akun Google My Business (GMB) dengan review-review yang kejam, dan membuat rating RS di GMB turun jadi satu koma. Bahkan, kemarin malam saya check, profil RS di GMB sudah tiada.
Apa sih yang membuat netizen begitu murka?
Masalahnya sepele, sebenarnya. Dua orang barista (satu cewek dan satu cowok, yang cowok katanya sih termasuk salah satu owner RS) mengunggah video yang berisi muka sengak (pardon my language) mereka dengan caption: “ketika ada customer yang pesan espresso tapi ngomongnya EXPRESSO”.
Netizen murka dong. Merasa dilecehkan dan menganggap dua barista tersebut snob, suka nge-julid-in customer di belakang, dan terkesan menghina customer yang salah sebut salah satu jenis minuman kopi itu.
Dan begitulah. Perundungan pun terjadi, meskipun pihak RS sudah take down video asli dan mengunggah video-video klarifikasi. Komplit deh gerak netizen Indonesia, mulai dari TikTok, IG, GMB, dan menjalar ke Twitter.
Kita sepertinya nggak kaget dengan tingkah laku netizen Indonesia ya tersebut ya. Seperti slogan “netizen bersatu tak bisa dikalahkan”, sudah banyak kasus – baik yang positif, tapi lebih banyak negatifnya – di mana gara-gara netizen bersatu di dunia maya, banyak brand atau institusi maupun pribadi yang kewalahan menghadapinya.
Table of Contents
ToggleKegagapan frontliner dalam berkomunikasi
Pertama-tama mari kita tilik kelakuan barista, yang dalam kasus ini bertindak tidak sepantasnya sebagai frontliner yang langsung berhadapan dengan customer.
Hal-hal seperti ini nggak cuma kejadian di coffee shop kekinian, kok, yang rata-rata menunya susah dihapal. Para frontliner di banyak usaha lainnya, patut waspada agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Saya mengalami peristiwa sejenis bertahun-tahun silam. Makan malam di sebuah resto terpandang di Senayan City. Saya tertarik untuk memesan sate ayam yang terpajang di menu. Waiter kala itu menanggapi dengan perkataan yang nggak enak di telinga saya. “Sate di sini beda, lho, Mbak.”
“Beda gimana?”
“Ya, nggak kayak sate-sate orang Indonesia gitu. Lebih ke selera bule.”
Waktu itu saya naik pitam juga sih, tapi sebagai insan hospitality, saya cuma menanggapi, “Gapapa, selera saya juga selera bule kok.”
Mungkin, maksud si waiter itu baik. Biar saya nggak kecewa memesan sate yang beda sama sate pengkolan. Tapi, apa hak dia berkata seperti itu? Apalagi membuat pembedaan antara selera lokal dan selera bule. Apa tampang saya sedemikian kampungnya sehingga diragukan repertoar kuliner saya?
Pulang dari resto itu, tentu saja sebagai Local Guides yang aktif pada masanya, saya meninggalkan bintang 1 di GMB. Dan sampai sekarang, tidak pernah sekalipun saya menginjakkan kaki di restoran tersebut.
Dua contoh kasus di atas, RS dan pengalaman saya, menjadi contoh betapa pentingnya membekali para waiter, barista, pramusaji, teller, dan para frontliner lainnya dengan teknik komunikasi yang baik.
Maksud para frontliner tersebut mungkin baik: mencegah konsumen agar tidak salah pesan, tidak kecewa, atau menambah pengetahuan tentang pelafalan kata yang benar. (Kecuali dalam kasus RS ya. Melihat videonya dengan wajah songong dan ekspresi ngenyek alias menghina – tapi mungkin default wajah mereka memang begitu, mau dibilang apa lagi ya – maka saya berpendapat mereka tidak ada niat baik kecuali untuk menertawakan “kebodohan” konsumen yang salah mengucapkan espresso menjadi expresso.)
Semua bisa dipelajari, ye ‘kan. Kemampuan berkomunikasi dengan pelanggan juga yang baik dan benar juga bisa kita asah tanpa perlu kursus mahal-mahal ke berbagai lembaga kepribadian. Paling tidak, ada empat hal yang harus kita perhatikan:
- Pertama-tama, respek pada pelanggan harus mendarah daging agar segala bentuk jalinan komunikasi didasarkan pada respek ini. Hasilnya bakal kelihatan kok, mana layanan yang berdasarkan respek, berdasarkan kewajiban semata (yaudahlah, yang penting gue kerja dan digaji), atau tidak berdasar apa-apa alias asal-asalan.
- Sampaikan maksud kita tanpa membuat pelanggan merasa sakit hati. Seperti yang disampaikan salah satu komentator kasus RS, memang banyak customer yang tidak paham espresso itu apa. Tugas barista adalah menjelaskan dengan cara yang enak sehingga customer yakin dan tidak salah pesan. Bisa dipelajari kok, dan skill ini adalah wajib bagi para frontliners ya.
- Simpan opini untuk kita sendiri. Dalam kasus saya, saya bahkan tidak bertanya, sate di restoran itu seperti apa. Tiba-tiba si waiter nyeletuk saja tanpa saya minta. Kalau dia beropini saya nggak bisa menikmati makanan Indonesia ala selera bule, simpan dalam hati saja, nggak usah diomongin. Malah jadi salah paham, toh.
- Jangan ngomongin kelakuan customer di media sosial, apalagi menggunakan akun milik perusahaan. Masih banyak bahan konten yang bisa diangkat, ketimbang julidin customer.
Pentingnya manajemen krisis yang handal
Kembali ke kasus RS. Saya melihat banyak blunder dari manajemen menanggapi viralnya video mereka dan menanggapi hujatan dari sana-sini. Blunder mereka seperti:
- Minta maaf tapi banyak alasan
Alasan yang tidak masuk akal yang mereka sebut-sebut adalah: memang ada kok menu Expresso yang akan mereka launching bulan ini, makanya si barista bikin konten seperti itu. Heloowwww, dipikirnya netizen Indonesia bodoh ya? Jelas-jelas caption video asli itu julid: “ketika ada customer yang pesan espresso tapi ngomongnya EXPRESSO” dan tidak ada adegan yang menjelaskan kalau mereka sebenarnya (akan) punya menu EXPRESSO. Adanya cuma ekspresi melecehkan merasa sok pintar (sorry, saya sebel banget soalnya melihat orang yang doyan melecehkan orang lain). - Menanggapi hujatan dengan kebohongan
Kebohongan apa? Ya itu tadi: mengaku ada menu EXPRESSO yang akan mereka launching bulan ini. Mengapa saya bilang bohong? Di video dari owner representative RS, dia bilang menu itu BAKAL launching bulan ini. Tapi di video salah seorang TEMAN owner RS (mukanya sama nyebelinnya, sorry), si teman ini bilang menu itu udah adaaaa, dan malah menuduh netizen aja yang suka bully. Sebenarnya, kalau mau luncurin Expresso mah, terus terang saja. Berterima kasih pada netizen misalnya karena kasus yang ramai begini, mereka jadi terinspirasi untuk bikin menu Expresso. Jujur itu baik. - Klarifikasi dengan membeberkan dapur perusahaan
Minta maaflah dengan bijak dan secukupnya. Nggak perlu minta dimaklumi kalau barista mereka ternyata punya banyak tugas selain meracik kopi, di antaranya membuat dan mengunggah konten media sosial. Ini malah membuat masalah melebar dan memancing komentar baru seperti: “dasar owner mau ngirit budget banget sih, membebani barista dengan job desc di luar skill mereka, pantesan konten medsos nya nggak keruan”. Kurang lebih begitu. - Membahas kelakuan netizen
Di video klarifikasi ibu yang mengaku owner representative, beliau menyayangkan tindakan netizen yang kelewat batas, seperti menyerbu akun pribadi para barista, meninggalkan komen yang tidak pantas dsb. Meskipun saya juga tidak membenarkan kelakuan yang di luar batas seperti itu, tapi ya sudahlah, tidak perlu dibahas dalam video klarifikasi. Seminggu nanti netizen juga sudah lupa kok, tertimpa isu dan bahan ghibah baru. Kalau memperluas bahasan, ya ora uwis-uwis jadinya, netizen bakal selalu nemu konten RS untuk dikomentari dan dicela.
Netizen bersatu tidak bisa dikalahkan
Netizen Indonesia memang ruarrr biyasak. Terkenal sebagai netizen paling tidak sopan di seluruh dunia, kita sudah tidak asing dengan sikap reaktif netizen Indonesia.
Ini adalah satu kekuatan yang sebenarnya bermanfaat banget buat mengangkat isu-isu penting seperti perundungan di KPI, kasus si Pergi Jauh, dan berbagai isu lainnya. Kalau netizen tidak turun tangan dan kompak bersuara, bisa jadi isu seperti itu akan terlupakan begitu saja tanpa penanganan yang semestinya.
Di sisi lain, sebagaimana pisau bisa menjadi alat potong daging steak maupun bisa menjadi alat pembunuhan, persatuan netizen ini juga mampu menghasilkan hal-hal yang negatif. Dalam kasus RS ini sajalah, netizen berbondong-bondong mendatangi akun media sosial dan GMB untuk meninggalkan komentar dan review yang di luar batas.
Cancel culture jadi budaya yang jamak meskipun seringnya berlebihan. Masa’ hanya karena ulah barista songong (sorry, I can’t forget how songong his face is, no offense ya kalau kamu baca ini, saya anaknya asik kok, kalau situ ke Bali bolehlah saya traktir kopi), reaksi netizen sampai menghancurkan reputasi dan – mudah-mudahan tidak sampai – menghancurkan bisnis yang masih termasuk UMKM itu.
Kalau ulah seseorang atau perusahaan sampai melanggar HAM atau menyebabkan kerugian moril maupun materiil, bolehlah cancel culture didengungkan.
Tapi RS ini ‘kan “cuma” salah ngomong dan songong. Saya nggak habis pikir melihat semangat netizen membully mereka.
Ya mau dibilang apa lagi, itulah netizen Indonesia. Yang bisa dilakukan para pelaku bisnis ya cuma berhati-hati di ruang publik, apalagi di dunia maya. Plus, mengasah kemampuan manajemen krisis agar tidak blunder seperti RS ini, jika sudah berhati-hati pun masih kepleset dan dirundung netizen.
***
Karena saya malas menyimpan barbuk, hanya video YouTube di atas yang bisa saya persembahkan, bagi kalian-kalian yang ketinggalan info dan masih kepo.
Update: ternyata video di atas sudah di-take down. Yaudah, biarlah Rumah Sekara tenang dalam kenangan. Saya malas cari video lainnya.
Begitulah, pengamatan sekilas saya tentang kasus Rumah Sekara yang lumayan buat mengisi akhir pekan kemarin dan menghasilkan tulisan ini. Semoga berkenan dan terima kasih sudah membaca!
2 Responses
Yang sate itu kayaknya bukan maksud ngerendahin sih. Makanan yg rasanya disesuaikan lidah bule emg beda dirasain lidah lokal. Buat sy pribadi rasa masakan Indo yg disesuain buat lidah bule emg gak enak. Mungkin si waiter nya jg gak mau masakannya nanti dikomplain gak enak karena lidah lokal kita. Rasa/selera itu bukan tinggi2an kasta. Mungkin karna mentalnya inferior sama yg ada bule2nya, cuma dikasi tau gitu lgsung ngerasa direndahin.
Terima kasih atas komentar dan sudah mampir membaca. Well, bukannya inferior sih, tapi saya (dulu itu) bergerak di bidang hospitality jadi saya tahu cara berkomunikasi dengan customer yang benar itu, sebaiknya bagaimana. Gimana baiknya kita menyampaikan satu maksud baik dengan cara yang benar, dengan meminimalisir kemungkinan untuk salah paham. Lagipula what did I expect sih ketika saya memesan sate di sebuah restoran yang mayoritas menunya menu western? Ya jelaslah saya tahu nggak bakal rasanya seperti rasa sate abang-abang, nggak usah pakai dijelasin lagi kecuali kalau dipandang saya bukan orang yang biasa masuk restoran (agak) mahal gitu. Hmm, saya malah penasaran sih, tentang “inferior sama yang ada bule-bule nya” itu maksudnya gimana ya wkwkwk.