Kalau menurut Google Maps, jarak yang saya tempuh dengan berjalan kaki dari titik awal ke titik akhir itu kira-kira sejauh 27 km. Jarak yang fantastis bagi saya yang sebulan lalu bahkan ogah untuk jalan kaki sejauh 1 km.
Jadi ceritanya, bulan-bulan terakhir ini sungguh berat bagi saya. Sebenarnya, kalau semua berjalan sesuai rencana, tidak ada yang perlu saya khawatirkan.
Masalahnya ‘kan, manusia berencana, manusia yang lain menghancurkan.
Jadilah saya terpuruk seterpuruk-puruknya.
Sampai tiga minggu lalu, ketika saya memutuskan menarik diri dari peradaban dan mengucilkan diri di suatu tempat. Suatu sore saya berjalan-jalan di desa itu – yang tidak begitu desa sebenarnya – dan mencatat jarak sekitar 3 km.
Saya pikir, kalau saya bisa berjalan kaki sejauh 3 km, pastinya saya bisa berjalan sejauh 30 km.
Sejak hari itu, ada satu perubahan dalam hari-hari saya.
Saya membiasakan diri berjalan kaki setiap pagi. Mulai dari 6 km, 8 km, 10 km, 12 km.
Dan kemarin, saya berjalan sejauh 27 km. Bolehlah dianggap mendekati target awal sejauh 30 km ya.
Pertanyaan yang pastinya muncul bagi kalian yang membaca kisah ini adalah: mengapa? Untuk apa?
Saya pun tidak tahu pasti. Tapi saya rasa, saya butuh challenge. Butuh tantangan untuk saya taklukkan. Sementara sisi kehidupan saya yang lain boleh dibilang berantakan, saya butuh tantangan baru untuk membuktikan saya mampu.
Dan apabila saya mampu melakukan tantangan ini, saya jadi teryakinkan bahwa saya bisa melakukan apapun.
Seperti satu post yang saya temukan di Quora, tentang seseorang yang juga melakukan tantangan berjalan sejauh 30 km. “After walking that far, I became pretty convinced that I could do anything I seriously committed myself to.” (Sayang saya tidak menyimpan tautannya.)
Ternyata, kalau saya commit, saya bisa.
Pola hidup yang dulu berantakan – kerja sampai pagi, tidur larut, bangun siang – tanpa saya sadari sekarang mulai membentuk ritme baru.
Untuk bisa berjalan kaki tiap pagi, saya harus bangun lebih pagi.
Agar bisa bangun lebih pagi, saya harus tidur lebih cepat.
Jadilah, sebelum jam 12 malam saya sudah tidur dan jam 5 pagi saya sudah bangun.
Dan setelah berjalan kaki, pastinya jadi lapar. Akhirnya sarapan yang sering terabaikan, jadi satu kebiasaan.
Satu kebiasaan membentuk kebiasaan-kebiasaan lainnya. Emejing, ya?
Table of Contents
ToggleKamu tidak perlu bercerita pada siapapun
Tidak ada yang tahu misi saya berjalan 30 km ini. Ada sih, satu-dua teman yang tahu kalau saya mulai berjalan kaki tiap pagi. Tapi saya tidak bercerita tentang misi saya, dan kalaupun pernah terucap, saya rasa mereka juga tidak menganggap saya serius.
Berkaca dari pengalaman saya yang lampau, bercerita pada orang lain belum tentu memberikan hasil yang positif.
Bisa jadi mereka menganggap hal yang kita anggap penting itu, tidak penting. Untuk apa? Kurang kerjaan. Apaan sih. Begitu kurang lebih ragam komentarnya.
Jadi daripada mengandalkan orang lain untuk memotivasi kita, andalkanlah orang yang takkan pernah pergi dari kita: diri kita sendiri.
Sekaligus, itu saya lakukan untuk membuktikan bahwa saya kuat. Saya bisa. Tanpa perlu banyak bantuan dari orang-orang.
Karena pada akhirnya, kita ini sendirian
Semua orang punya masalah dan kesusahannya masing-masing. Kita tidak bisa mengandalkan orang lain 100% karena pada akhirnya, semua berpulang pada diri kita sendiri.
Saya sendiri bersyukur dikelilingi banyak teman baik. Selalu ada teman saat saya memerlukan seseorang.
Saya bersyukur punya partner yang meski sekarang berjauhan, tapi masih menjadi satu-satunya orang yang benar-benar paham diri saya.
Tapi saya tidak bisa terus-terusan membebani mereka dengan keluhan dan tangisan saya.
Kunci perubahan ada di diri saya sendiri.
Dan kalau saya bisa menaklukkan tantangan berjalan kaki 27 km, saya bisa melakukan apa saja.
27 km yang tidak akan pernah saya lupakan
Dibandingkan dengan cerita teman-teman yang sudah berhasil lari maraton 42 km, atau cerita para petualang yang jalan kaki keliling Indonesia, tentu saja cerita saya ini nggak ada apa-apanya.
Tapi hidup ‘kan nggak selalu perlu diperbandingkan.
Yang bisa kita perbandingkan hanyalah diri kita sendiri saat ini dan diri kita sendiri di masa lampau.
Seperti saya bilang di atas, sebulan yang lalu, jalan kaki 1 km saja terasa berat bagi saya. Bangun pagi dan benar-benar melakukan sesuatu, sebulan yang lalu adalah satu kemustahilan. Saat itu, bahkan untuk bangun dari tempat tidur saja, terasa berat karena, “Yaelah, buat apa sih hidup.”
Jadi, melalap 27 km itu satu keberhasilan hebat bagi saya pribadi.
Saya mulai berjalan pukul 5.37 WITA. Tidak terlalu pagi, bahkan agak kesiangan beberapa menit.
Perhentian pertama setelah berjalan kurang lebih dua jam, di sebuah warung yang memajang menu “kacang ijo”. Sepertinya sarapan yang bagus, nih.
Saat mulai kembali berjalan, matahari mulai menampakkan kehangatannya. Lama-lama panas. Saya sudah mengantisipasi ini, tapi ternyata panas matahari – yang syukurnya seringkali terhadang mendung – mengurangi kecepatan langkah saya.
Perhentian kedua di kilometer 13,5. Ini lebih karena butuh ngecharge hape agar batere selalu penuh, sambil memantapkan niat untuk terus berjalan.
Perhentian ketiga di sebuah warung bakso, karena saya benar-benar sudah basah kuyup oleh keringat karena matahari yang tidak bersahabat.
Perhentian keempat di sebuah warung kopi kekinian, sambil ngecharge hape lagi, dan menimbang rute yang akan saya lalui. Sebenarnya saya ingin mengambil rute A, jalan raya yang saya tahu jalanan datar, ketimbang rute B yang sepertinya mengandung tanjakan dan turunan.
Tapi akhirnya, rute B yang saya pilih. Berkat Google Maps, lumayan blusukan keluar masuk kampung, sampai ke satu jalan besar yang membuat saya, “Oh shit, ini jalan yang dulu pernah saya lewati, dan ada tanjakan dan turunan yang lumayan”.
Mau bagaimana lagi? Kembali ke rute A sudah tidak mungkin. Harus jalan terus, tanpa kompromi.
Di tengah jalan, menyempatkan diri sebentar untuk menikmati pemandangan seperti ini.
Setelah itu, mulai menyiapkan mental untuk menempuh bagian terberat, mana matahari sedang panas-panasnya.
Pas jalanan menurun sih, nggak masalah ya, cukup mengerem langkah kaki biar badan ini nggak menggelundung di turunan yang cukup curam itu.
Pas tanjakan, barulah terasa dan bikin misuh-misuh, “Ngapain sih nyusahin diri sendiri” sambil tetap menyemangati diri, “Ayo, kamu bisa!”.
Dan saya bisa. Meskipun setelah itu, harus menenteramkan diri di salah satu gubug yang untungnya lagi kosong, disertai tatapan kuli-kuli proyek di kejauhan. Ya, aneh saja lah, seorang cewek tengah hari bolong, jalan kaki sendirian di rute antah berantah gitu.
Gerimis tipis turun. Matahari masih nyalang. Sedikit berharap ada pelangi, tapi tidak kunjung saya temukan.
Sempat tersirat untuk hitchhiking alias numpang sampai jalan utama ke mobil atau motor yang lewat, tapi lagi-lagi suara hati mengingatkan, “Sudah sejauh ini dan kamu mau menyerah? Tinggal 8 km lagi, lho!”
Setelah nafas yang ngos-ngosan kembali normal, saya melanjutkan perjalanan. Untungnya tidak ada lagi tanjakan yang bikin jantung mau copot.
Perjalanan tanpa hambatan sampai ke titik tujuan dan memutuskan pulang. Pulang jalan kaki? Oh, tentu tidak. Ada yang namanya Gojek.
Pulang naik Gojek, si abang menempuh rute yang hampir sama seperti yang saya tempuh sebelumnya termasuk melewati rute jahanam tadi.
Dan barulah saya bisa menikmati pemandangan yang tadi saya lewatkan karena lebih fokus ke nafas yang ngos-ngosan.
Seperti hidup, ya. Kita baru bisa menikmati jerih payah kita setelah semuanya tuntas. Tapi terkadang kita mau enaknya saja, dan melewatkan bagian kerja kerasnya.
Apa yang saya dapat dari perjalanan ini?
Berjalan kaki sendirian, memberi kesempatan saya untuk memikirkan segala yang terjadi dalam hidup saya belakangan ini. Saya melihat kesalahan-kesalahan yang saya perbuat, ketololan-ketololan saya yang tiada henti, dan di atas semuanya, kini saya yakin bahwa saya kuat. Saya bisa.
Seiring ayunan langkah, ada keping-keping refleksi yang mulai saya satukan. Ah, jadi kangen untuk segera pulang ke Jakarta, agar bisa memeluk partner saya yang sudah setahun ini jauh dari dekapan. Apapun yang terjadi, dia adalah satu-satunya orang yang sepenuhnya memahami saya dan segala keanehan saya.
Di atas saya bilang, “Manusia berencana, manusia yang lain menghancurkannya.”
Ada hal-hal yang terjadi di luar rencana saya, dan saya harus mengubah reaksi saya agar hal-hal itu tidak turut menghancurkan hidup saya secara keseluruhan. Misalnya saja, seorang anggota tim kesayangan, yang saya mentoring sedari awal, yang saya carikan pekerjaan di kala susah, kemudian menghilang dan bikin projek berantakan. Seharusnya saya menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa, pahit memang tapi itu sudah biasa terjadi, tanpa perlu menariknya ke ranah personal dan terlalu menyalahkan diri saya sendiri mengapa semuanya bisa terjadi.
Saat keringat saya sedang deras-derasnya, earbuds telinga kiri saya sempat lepas. Tangan saya sigap menangkap dan kemudian memasangnya kembali di telinga, meski hati berbisik, “Sepertinya lepas dulu earbuds kamu”.
Beberapa puluh meter kemudian, earbuds itu kembali lepas. Kali ini saya tidak beruntung. Dia menggelinding ke jalanan, tepat pada saat ada mobil lewat, dan tergilaslah si earbuds itu di depan mata saya.
Seketika saya misuh, “Sudah diberi pertanda tadi kalau harus copot earbuds dulu, masih juga ngeyel.”
Dan itu mengingatkan saya pada satu kejadian saat saya retreat beberapa minggu lalu.
Seekor burung pipit tiba-tiba terbang kencang, menabrak kaca kamar saya, untuk kemudian jatuh terkapar di lantai. Satu dua menit, dia tidak bergerak. Saya coba goyang-goyangkan tubuhnya, akhirnya dia bangun kembali, tertatih-tatih mencoba terbang, dan setelah beberapa kali percobaan, si burung pipit itu kembali terbang tinggi.
Saat itu saya pikir, si burung pipit dikirim sebagai pertanda bahwa saya tidak boleh menyerah. Bahkan ketika sedang KO alias knocked out pun, ternyata masih ada harapan untuk bangun kembali dan melanjutkan hidup seperti biasa.
Begitu banyak pertanda dalam hidup saya, tapi saya tidak bijak menanggapinya.
Kembali ke earbuds yang remuk tadi. Saya anggap, itu pertanda bahwa saya harus lebih mendengarkan sekeliling. Cukup sudah memanjakan diri dengan lirik-lirik suicidal Linkin Park. Waktunya untuk membuka telinga, mendengarkan kicauan burung, suara anak-anak desa yang riang selalu, suara angin yang memberi sedikit penghiburan mengimbangi panas terik matahari.
Depression is real
Salah satu nasihat terbaik yang saya terima dari teman saya adalah, “Get a professional help.”
Tapi buat kalian yang seperti saya, yang selalu menunda mencari bantuan profesional, selalu punya alasan untuk menghindar, mungkin tulisan ini bisa sedikit membantu.
Tidak usah terlalu mengandalkan orang lain. Mereka punya kesibukan dan kesusahannya sendiri-sendiri. Hargai bantuan apa yang mereka tawarkan, sekecil apapun itu, karena itu yang mereka bisa bantu dalam kapasitas mereka. Don’t expect too much from others.
At some points, ignore what other people say. Karena tidak ada yang mengerti apa yang kita alami, lebih dari diri kita sendiri. “Apa susahnya sih bangun dari tempat tidur?” Well, kalian yang dirundung perasaan tak berguna, perasaan tidak mampu berbuat sesuatu, perasaan numb yang lebih dari sekadar numb, perasaan yang tidak terjelaskan lagi, pasti paham mengapa begitu berat bagi seseorang untuk sekadar bangun dari tempat tidur dan beraktivitas.
Seorang teman berkata, dia malas bercerita kepada orang lain karena malas di-judge. Ya sudah, abaikan saja judgment yang kalian terima, atau lebih baik, cari teman lain yang bisa menerima cerita kalian dengan baik.
Seorang teman lagi berkisah, bahwa orang-orang di sini (di Indonesia) masih belum paham bahwa depresi itu nyata. Bila berhadapan dengan seseorang yang sedang depresi, mereka cenderung mengabaikan, menganggap remeh, melemparkan penghakiman seperti “you’re just a attention seeker”.
Untuk itu, maafkan mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.
Saya punya banyak teman. Saya mendapati bahwa ada teman yang bisa saya jadikan tempat berkeluh kesah, tapi ada juga teman yang tidak merespon ketika saya berbagi cerita soal kesusahan yang saya hadapi. Tentang yang terakhir, saya tidak menyalahkan dia, anggap saja dia teman di kala senang.
Karena sekali lagi – saya suka mengulang-ulang bagian ini – setiap orang punya kesusahannya masing-masing, terlebih di masa pandemi ini.
Jadi, siapa lagi yang bisa menjadi teman sejati, kalau bukan diri sendiri?
Tantang diri kita bahwa kita bisa.
Cerita ke orang lain seperlunya saja.
Dan jika semua jalan terlihat sudah tertutup, get a professional help.
Sebuah penutup
Dengan tercapainya misi 27 km ini, saya merasa episode kacau balau dalam hidup saya sudah waktunya saya tutup.
Ya, saya masih berjuang secara emosional, secara finansial, dan masih harus membereskan semua yang sempat berantakan kemarin ini.
Ya, saya bahkan nggak berani menjamin kalau suicidal thoughts yang sempat hinggap selama berminggu-minggu terakhir ini, akan segera pergi.
Tapi saya pastikan bahwa saya akan terus berjalan sampai garis finish.
Catatan penutup: Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang sedang merasakan depresi namun merasa takut untuk bercerita ataupun untuk mengakuinya. Tidak perlu takut dianggap aneh, justru mereka yang menganggap kalian aneh itulah yang harus membenahi pola pikir mereka. Dan ini salah satu video favorit saya dari TEDx Talks yang termasuk terbaik menggambarkan depresi.
satu Respon
seperti biasa tulisan dan cerita yang luar biasa dan enak dibaca. keep them coming mbak!