Underpass pertama di Bali, akhirnya memasuki tahap akhir. Uji coba telah digelar, sekarang underpass yang dibangun sebagai solusi kemacetan daerah Simpang Siur, bisa digunakan para pengendara motor maupun mobil. Underpass yang nggak gitu panjang ini hanya untuk jalur arah Sunset Road-Airport dan sebaliknya. Dampak positifnya, arus dari Sanur ke Nusa Dua dan sebaliknya menjadi lancar juga karena tidak perlu terganggu tumpukan kendaraan dari Kuta / Airport seperti sebelumnya.
Saat pertama kali mencoba melintasi underpass ini, saya tiba-tiba teringat Jakarta. Berasa melintas terowongan Casablanca – meski jauh beda sih, tapi saya tiba-tiba rindu Jakarta.
Memang, nggak bisa dibandingkan jalanan di Bali dengan Jakarta dengan underpass dan jalan layang di sana-sini.
Namun, melihat jalanan Simpang Siur yang akhirnya menjadi empat jalur dari arah Utara dan empat jalur dari arah Selatan, sekali lagi tiba-tiba saya merasa rindu Jakarta.
Jakarta dengan kemacetannya yang tiada akhir. Jalanan ibarat rimba yang penuh bermacam ragam kendaraan, dari yang butut sampai mewah, dengan bermacam ragam tingkah laku pengendaranya pula.
Jakarta dengan lampu-lampu kota yang saya suka, menikmatinya dari lantai 32 apartemen, atau dari Waroeng Kopi Alun-Alun Indonesia favorit saya, atau sepanjang perjalanan pulang dari kantor melewati gedung-gedung tinggi yang nggak ada di Bali.
Dan tinggal di Jakarta selama hampir dua tahun, membuat saya berubah.
Saya bertemu dengan banyak teman baru dari berbagai latar belakang. Pengetahuan saya bertambah banyak. Nggak sebatas hotel dan hospitality industry, namun tinggal di Jakarta membuka mata saya bahwa masih banyak yang harus saya pelajari dalam hidup ini.
Saya belajar untuk selfish. Dalam arti positif. Saya tidak harus menyenangkan semua orang – karena itu mustahil, dan saya memilih untuk menyenangkan diri saya sendiri sebelum menyenangkan orang lain. Tepatnya, saya membuat kenyamanan diri sendiri adalah prioritas, karena bagaimana kita bisa menyenangkan orang lain apabila hati kita tidak nyaman?
Saya belajar untuk peduli diri sendiri, karena nggak jaminan yang lain akan peduli. Saya juga belajar untuk tidak mengharapkan orang lain, saya menjadi akrab dengan basa-basi tanpa menganggap itu adalah najis, dan saya menjadi tidak suka main hati. Nggak perlu semua dimasukin ke hati, hati lu nggak akan muat, kata seorang sahabat. Jadi, kata-kata entah manis entah pahit, pujian atau cercaan, tamparan atau belaian, semua saya terima dengan senyum, tanpa melibatkan hati terlalu dalam. It is what it is. Mantra yang satu ini saya dapat dari mantan boss yang orang Jerman itu.
Nyaris dua tahun saya tinggal di Jakarta, merasakan tinggal di kompleks elite, tinggal di apartemen, lalu pindah ke kost mewah, lalu pindah lagi ke kost sederhana. Merasakan berkantor di Rasuna Said yang nyaman banget, kemudian pindah ke Pulogadung yang kampung(an) banget.
Banyak yang menduga saya nggak akan betah di Jakarta. Nggak, saya betah-betah saja. It’s a good life I had there, why should I complaint?
Tapi Jakarta ‘kan macet, kata seorang teman. Ya, tapi saya tinggal duduk manis di mobil, dan supir pribadi saya yang harus berjuang dengan kemacetan. (Catat ya: supir pribadi. Meskipun mendapat fasilitas mobil dari kantor, saya merogoh kantong sendiri untuk menggaji sopir. Ini sekaligus klarifikasi buat mereka-mereka yang sempat iri akan saya yang seakan-akan mendapat fasilitas penuh dari kantor.)
Hidup saya lebih mudah di Jakarta, namun pada akhirnya saya memilih untuk kembali ke Bali. Kembali ke perusahaan lama yang membesarkan saya pertama kali.
Dan setelah kembali ke Bali, saya tersadar bahwa saya bisa bahagia di mana saja, karena kebahagiaan itu ada di hati. Itu akan terbawa kemana pun saya pergi.
Saya rindu Jakarta, tapi sekarang saya ada di Bali yang unik tiada banding.
Rindu itu serta merta hilang.
Karena saya memilih untuk menikmati saat ini, di sini, tanpa perlu rindu berlebih akan yang telah lalu.