Saya bukan salesman. Saya tidak pintar jualan. Kelemahan saya ini tampak saat saya harus menawarkan produk yang saya tahu tidak begitu bagus.
Banyak salesman yang bisa merangkai kata sedemikian indahnya, sehingga membuat calon pelanggan abai akan kelemahan produk yang mereka tawarkan.
Kalau saya, nggak bisa seperti itu.
Rasanya mengganjal, gitu, menawarkan produk yang saya tahu saya sendiri nggak akan pakai.
Mengapa ya?
“Karena intensi kamu beda dengan mereka,” komentar seorang teman ketika saya melontarkan keresahan saya itu.
“Para salesman itu memang niatnya berjualan. Membuat produk mereka laku. Sedangkan kamu, tidak. Niat kamu adalah membagikan value pada customermu. Jadi kalau ada produk yang menurutmu value-nya tidak sepadan, hatimu sudah langsung enggan.”
Well, ada benarnya.
“Dan kedua-duanya nggak salah, kok,” lanjut teman saya itu. “Para salesman itu tidak salah karena memang tujuan mereka mengejar angka penjualan. Kamu juga tidak salah karena tujuanmu membuat pelanggan mendapatkan manfaat sebanyak-banyaknya dari produk yang kamu tawarkan.”
Bukan berarti saya nggak bisa jualan, ya. Saya bisa meskipun dalam hati saya tahu produk yang saya tawarkan ini masih ada kelemahan. Buktinya, saya pernah hampir closed deal untuk sebuah sistem seharga USD 20.000.
Hampir. Karena kemudian saya keluar dari perusahaan itu sebelum deal ditandatangani.
Dan seiring keluarnya saya, calon pelanggan tersebut – yang adalah teman baik saya – membatalkan niatnya untuk menggunakan sistem tersebut.
“Itu buktinya pelanggan kamu percaya padamu. Pada apa yang kamu katakan. Pada penjelasan yang kamu jabarkan.”
Jadi beda jalur saja sih ya, cara saya untuk mendekati pelanggan beda dengan para penjual biasanya.
Saya lebih senang membangun kedekatan emosional terlebih dulu.
Perkara mereka akan membeli produk saya atau tidak, yang penting kedekatan dan hubungan baik terbangun sudah.
Meskipun tetap, saya ogah-ogahan menawarkan produk yang saya tahu banyak cacatnya.
Saya sadar akan kelemahan dan ketidakbisaan saya sebagai penjual.
Makanya saya tidak mencari pekerjaan yang membutuhkan skill sales.
Bila saat saya interview lalu disuruh jualan bolpen, mungkin saya hanya akan mengernyitkan dahi dan well, mengapa saya harus jualan bolpen? Hanya demi saya dapat kerja?
Bagus sih, sadar diri akan keterbatasan dan ketidakmampuan kita.
Setelah itu, ya cari saja bidang atau pekerjaan yang sesuai dengan skill dan keahlian kita. Betul?