Kisah cinta pertama

Sebuah Kisah Tentang Cinta Pertama

Ini bayar utang nulis hari ke-19 dari 30 Days Writing Challenge. Discuss your first love. Saya ambil dari postingan Instagram saya tentang kisah cinta pertama.

Wisma Kaloka Salatiga, 1988.

Di sana segalanya bermula. Papan catur jadi saksi pertarungan kita pertama kali dan satu-satunya. Setelah Raja kamu rubuh, aku hanya terdiam melihatmu tergesa meninggalkan ruangan. Mungkin karena kesal atas kekalahanmu.

Toh itu tak mencegah kita untuk tetap berteman. Dan ketika malam perpisahan sebelum kita pulang ke kota masing-masing, ketika gerombolan kita nongkrong menjemput pagi, lagu “Yesterday” berkumandang diiringi genjrengan gitar teman. Aku masih ingat senandungmu terasa begitu dekat dengan telingaku. Purnama pula waktu itu.

Malam itu aku langsung tahu, aku jatuh cinta padamu.

Cerita selanjutnya adalah cerita dua sahabat yang selalu terpisah kota. Belum ada email waktu itu. Surat menyurat menjadi penjembatan.

Aku tidak tahu apakah kamu tahu, betapa berjuangnya aku waktu itu. Sendirian melawan perasaan, sendirian merasa tak dimengerti dunia, menyalahkan diri sendiri karena mengapa cinta harus hadir meski itu salah (waktu itu aku merasa itu sesuatu yang salah).

Lalu kuberanikan menyatakan cintaku padamu. Aku sudah lupa, apa reaksimu kala itu. Yang jelas, pertemanan kita masih terus berjalan.

Aku tidak yakin apakah kamu masih ingat segala detil ini. Kemarahanku atas dunia yang tidak memihak cintaku (ya, aku cukup sadar untuk tidak mengatakan “cinta kita” karena memang kamu menolak cintaku). Kegeramanku pada kedekatan kita yang sebenarnya lebih dari sahabat tapi tak bisa lebih dari sahabat.

Boleh ya, kubagikan beberapa yang masih tersimpan di ingatan yang makin samar ini?

Malam sebelum kamu menikah, kamu meneleponku. Aku lupa apa yang kita bicarakan waktu itu, pastinya aku sedih karena tidak bisa terbang dari Bali ke Jakarta menghadiri pernikahanmu. (Tahun segitu, tiket penerbangan masih super mahal, ya.)

Sebelum kamu menikah, kita sempat bertemu di Semarang. Kamu sedang ada tugas pekerjaan bersama temanmu (yang juga temanku). Ah, kuingat sekarang. Kamu menangis malam itu. Lagi-lagi aku bengong (aku selalu bengong menghadapi wanita yang menangis.)

Katamu, kamu sedih karena temanmu lebih update tentang diriku. Kamu sedih karena ada jarak yang membuatmu merasa aku seperti orang asing bagimu.

Malam itu, kamu tiba-tiba lari ke kamar mandi, meninggalkan aku dan temanku yang asyik bercakap.

Ketika kamu kembali dan kita hanya berdua, hati-hati aku bertanya,” Kamu menangis?”

Kamu mengiyakan, lalu terisak lagi. Dan aku hanya bengong. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kamu bilang, kamu sedih mengikuti percakapanku dan temanmu, karena tiba-tiba kamu merasa temanmu lebih tahu perkembangan terbaruku. Kamu merasa tertinggal. Atau merasa ditinggalkan?

Karena kita sudah lebih dewasa, malam itu kita selesaikan semua. Percakapan panjang menjuntai senyampang kita berjalan kaki mengitari Simpang Lima. Akhir kata: kita baik-baik saja.

Beberapa malam kemudian, kita makan malam di Toko Oen. Ada keyboardist dan penyanyi yang menghibur para tamu. Ketika mereka menawarkan apakah ada yang ingin menyumbang suara, kamu maju.

Pasti kamu sudah lupa, tapi aku selalu ingat. Kamu menyanyi sambil lekat memandangku.

“I love you, for a sentimental reason ….”

Kalau saja aku tak ingat kamu sudah bertunangan, dan kita sudah berikrar sebagai sahabat, pasti aku klepek-klepek mendengar nyanyianmu. Dan tatapanmu, dan senyummu itu!

Episode selanjutnya adalah pertemuan yang makin jarang. Terpisah kota, tersandera kesibukan, namun tetap, sambungan rasa itu tidak akan sirna.

Usai pandemi, segera kita bertemu ya. Aku belum pernah bertemu anakmu yang sekarang sudah remaja itu.

Terima kasih untuk kesediaanmu memelihara persahabatan jangka panjang kita. Dan seperti katamu, “You’re always be my Bayik.”

I Love You For Sentimental Reasons – Nat King Cole

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru