sebuah pesta

Sebuah Pesta, Kenangan dan Keriaan Yang Saling Menumpang

Sebuah pesta yang berjalinan dengan kenangan.

Catatan: Tulisan ini sebenarnya sudah mendekam di draft sejak Desember 2019. Pagi ini saya temukan, dan saya ingin menerbitkannya. Oya, saya absen di thank you party 2020, karena memang sudah tidak lagi jadi bagian dari dunia perhotelan (dan juga: tidak terima undangan), dan saya rasa kalaupun diundang, saya tetap absen karena pandemi, cuy!

Dulu, jaman pekerjaan saya masih berkutat dengan reservasi hotel dan kemudian contracting, undangan party ke hotel udah hal biasa. Thank you party, appreciation party, whatever you name it, biasanya diselenggarakan oleh hotel sebagai event kumpul-kumpul dengan para agent, media dan vendor partner. Acara seperti ini berarti bertemu dengan teman-teman dari travel agent lain, makan besar (lumayan buat peningkatan gizi anak kost), minum-minum free flow sepuasnya ampe mabok (kalau nggak tahu malu sih).

Tapi itu dulu.

Tahun-tahun belakangan, pekerjaan saya lebih banyak berhubungan dengan system development, dan saya nyaris nggak menyentuh operation seperti reservasi dan juga contracting.

Otomatis, kontak saya semakin jarang dengan teman-teman hotel. Hubungan tetap terjaga lewat Facebook dan Linkedin, pastinya. Tapi undangan ke party, sudah bukan bagian dari keseharian saya lagi.

Alkisah, tersebutlah satu hotel bintang lima yang ditakdirkan dekat dengan saya. Masalahnya teman dekat saya bekerja di sana, meniti karir dari bawah sampai menjadi director sekarang.

Jadi, meskipun saya nggak lagi ngurusin contracting, tetap saja setiap tahun saya menerima undangan thank you party. Nggak peduli saya kerja di mana, nggak peduli saya ada di kota mana. Setiap tahun, selalu undangan itu saya terima.

Dan sebisa mungkin, saya selalu datang.

Malah pernah, sewaktu saya kerja di Jakarta (2011 atau 2012?), saya menyempatkan terbang ke Bali, berakhir pekan di Bali, hanya demi menghadiri thank you party ini.

Dan malam ini, saya kembali hadir.

Masih di ballroom yang sama. Masih dengan prosesi yang sama: ngantri di registration desk, mengambil name tag, souvenir yang tiap tahun selalu berbeda sesuai tema, menghabiskan waktu di lobby ballroom sambil minum dan bertegur sapa dengan teman-teman agent (terima kasih untuk kalian yang masih mengingat wajah saya dan menyapa), dan kemudian pintu terbuka.

Kami para hadirin masuk ke ballroom, disambut tim sales & marketing lengkap berjajar di kanan kiri seperti layaknya among tamu tapi dengan gaya kekinian.

Opening speech, lalu pesta dimulai.

Beredar cari makanan. Ah, ngantri pasti di semua stand makanan mulai dari sushi sampai pasta.

Sayangnya, malam ini nggak ada babi guling. Tapi tergantikan oleh pork belly yang crispy dan sungguh lezat.

Bagi saya, mengisi perut adalah wajib, karena setelah itu, bar adalah tempat tujuan utama.

Karena lebih banyak yang tidak saya kenal (dan tidak kenal saya), malam ini saya lebih leluasa bergerak, seperti bocah ilang, makan dan minum saja kerjanya.

Sesekali berhenti, menyapa teman seangkatan, bertukar kabar dan berujung: “Duh, aku nggak kenal lagi anak-anak jaman sekarang.”

Kami memang sudah tua.

Segitu doang? Ya tentu saja tidak. Apa istimewanya party yang isinya makan minum doang.

Setelah dirasa perut hadirin mulai penuh dan percakapan mulai ringan seiring sesapan alkohol bergelas-gelas, mulailah acara yang dinantikan tiap tahunnya.

Flashback dulu. Jadi ceritanya gini….

Sepuluh tahun silam (kira-kira, mungkin lebih), thank you party di hotel isinya ya gitu-gitu aja. Makan, minum, speech, pembagian doorprize, hiburan live band, dancer, ya gitu deh.

Hotel kesayangan saya ini, mulai mendobrak tradisi.

Mereka mulai menyajikan hiburan yang lain dari yang lain.

Dengan “mempermalukan” tim sales & marketing mereka.

“Mempermalukan” dalam tanda kutip ya, hehe.

Pendek kata, tim sales & marketing mereka tampil di panggung untuk menghibur para travel partner.

Performance mereka berganti-ganti tiap tahunnya.

Kalau saya nggak salah ingat, pertama kali temanya Elvis Presley (soalnya waktu itu sampai bela-belain cari CD Elvis buat latihan teman saya).

Pernah juga, temanya swimsuit.

Atau seperti malam ini: under construction. Jadi semua tim berseragam ala-ala pekerja bangunan dengan helm proyek.

Dan mereka menari dengan koreografi yang entah dipelajari berapa lama di sela-sela kesibukan mereka bekerja.

Yang nggak biasa menari pun, ya harus bisa.

Yang sudah berumur dan dituakan sehari-harinya pun, ya harus turut.

Seru ‘kan? Melihat para sales yang biasa ditemui dalam balutan baju seragam nan formal, tiba-tiba tampil dengan dandanan yang ora umum.

Malam ini, seperti biasa, mereka menari di atas panggung, lincah meski ada yang terpatah-patah.

Dan tiba-tiba, satu kenangan hadir tanpa permisi.

Seorang teman, yang dulu adalah bagian dari mereka, telah berpulang beberapa tahun silam. Dia masih muda. Dia salah satu dari sedikit orang yang bisa membuat saya menangis. Ya, saya menangis berjam-jam pagi itu saat membuka mata dan mendapati pesan bertubi-tubi masuk di WhatsApp, Facebook, missed calls, yang ternyata mengabarkan kepergian teman saya.

Teman saya itu, seorang ayah muda, sama seperti saya, sama sekali tidak bisa menari. Jadi kalau kami berdua ke club, bawaannya garing aja, duduk, minum, mengomentari dj atau band yang lain main, mengomentari pengunjung club yang lain. Udah, gitu doang. Garing, ya?

Jadi, saat hotel dia mewajibkan dia berlatih menari untuk pesta tahunan, bayangkan betapa berat perjuangannya.

Dan dia bisa menaklukkan tubuh kakunya untuk paling tidak lebih kooperatif dalam bergerak mengikuti lantunan musik.

Rest in peace, Ndre. Sudah tiga tahun kamu pergi, tapi kamu tetap di hati.

Di tengah keramaian, saya berusaha kembali ke masa kini setelah kenangan masa lalu menggerogoti malam riang ini.

Di balik pesta, di balik tawa, ada cerita yang kita tak pernah tahu itu ada.

Saya undur diri dari depan panggung, bertemu dengan salah satu teman yang sudah jadi petinggi di salah satu online travel agent. Saya mengungkapkan perasaan sedih saya. Dia teman baik almarhum teman saya itu, jadi dia maklum dengan apa yang tiba-tiba melanda perasaan saya.

Sungguh, memang tak elok rasanya, menodai pesta dengan satu cerita sayu.

Saya berkata, “Berbahagialah mereka yang mati muda.”

Teman saya menimpali,” Begitulah hidup. Cheers for Andre.”

Kami bersulang. Saya nggak tahu kamu mungkin juga sedang berpesta di atas sana, Ndre, dan tergelak melihat kami yang masih bermata basah tatkala mengenangmu.

Dan malam kembali normal.

Seorang teman lama datang bergabung. Dan seorang lagi, dan seorang lagi.

Seorang teman baik mengirim pesan: “Kutunggu di dekat dj booth”. Segera meluncur! Bertiga, kemudian, kami bertukar cerita dan tertawa-tawa.

Sayang, semua pesta harus usai. Tiba waktunya pulang.

Demikianlah sebuah cerita tentang pesta, perayaan, keriaan, kegembiraan, dengan sejumput kenangan tak diundang.

Life must go on. Berpestalah saat harus berpesta, berdukalah saat harus berduka, namun hidup harus terus berjalan, mau tak mau.

Sampai jumpa di tahun depan! Kira-kira, tema apa lagi yang akan kalian sajikan?

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn
Balepoint Kotak Pandora

Kotak Pandora

  Pada suatu masa, saya mengkontak teman lama untuk mengirimkan satu berkas yang saya butuhkan. Berkas tersebut dari kantor lama yang pernah menaungi kami berdua.

Read More »
Perjalanan di Pantai

Pengembara

    seorang pengembara, ia mengetuk pintu-pintu dari waktu ke waktu. takkan ia memaksa untuk terbuka ia cukup puas, pun bila harus duduk di teras

Read More »
Suicidal Mind Cerita Lalu Puisi

Suicidal Mind

Suicidal Mind Tak ada lagi yang bisa kucapai, semua-muanya t’lah tergenggam, Namun masih juga tak penuh: kekosongan itu Manusia-manusia, riuh di sekelilingku, meladeniku, Memujaku, mengagumiku,

Read More »

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru