Tidak terasa telah lewat setahun lebih sejak saya menulis tentang awal pandemi di Bali. Apa kabar, Bali, di tahun 2021 ini? Pandemi belum juga berakhir, malah minggu-minggu terakhir ini, berita diwarnai kengerian gelombang kedua COVID-19 di India.
Nggak usah dibilang lagi lah, pandemi COVID-19 memporakporandakan Bali. Gimana nggak, ekonomi Bali 70% bergantung kepada pariwisata. Pandemi yang menyebabkan lumpuhnya lalu lintas wisatawan, otomatis membuat pariwisata Bali terdampak, dan ekonomi Bali hancur lebur. Menurut I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, “Ini parah dan sangat mendalam sehingga ekonomi Bali year on year minus 9,3 persen. Jadi paling parah di seluruh Indonesia.” (Sumber: Kompas, Kamis 4/3/2021).
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah terjadi sejak awal pandemi. UPL (unpaid leave) jadi istilah yang wajar terdengar dalam percakapan sehari-hari, terkadang berarti PHK, terkadang berarti dirumahkan.
Pekerja di hotel dan restoran yang tergabung dalam PHRI yang dirumahkan mencapai 300.000 karyawan, transportasi 75.000 orang, dan industri 360.000 orang. (Sumber: Kompas, Kamis 4/3/2021)
Itu yang tercatat, ya.
Lalu, bagaimana masyarakat Bali bisa bertahan?
Macam-macam, dari pengamatan yang selintas saya lakukan. Tentu, objek pengamatan tidak termasuk mereka yang punya pohon duit dan bahkan jadi makin kaya akibat pandemi tanpa berbuat apa-apa, ya.
Tentu saja banyak yang mengandalkan tabungan. Tapi, ini sudah setahun pandemi, sampai kapan tabungan masih bisa jadi andalan dan tidak habis terkikis?
Ada yang jual aset. Tapi, lagi-lagi, uang hasil penjualan aset bisa bertahan sampai kapan, apabila kondisi tak juga pulih?
Yang dilakukan mayoritas teman adalah banting stir. Bekerja apa saja, yang penting halal dan menghasilkan uang.
Buka usaha kuliner tercatat sebagai usaha yang paling banyak dipilih teman-teman di Bali. Macam-macam jenisnya, mulai dari kue-kue, lauk pauk, kue kering, gorengan, atau minuman. Mulai dari usaha kecil-kecilan di rumah, jualan online, sampai buka warung.
Usaha kedua yang trending di Bali adalah trading. Mulai banyak broker dadakan. Gapapa sih, saya mah mendukung saja, selama uang yang digunakan adalah uang dingin sehingga kalau nanti saham merah semua dan musti cut loss, dapur masih tetap bisa ngepul.
Usaha lainnya beragam, intinya adalah jual jasa atau keahlian. Housekeeping jualan jasa bersih-bersih rumah atau villa. Pekerja spa yang dirumahkan, jualan jasa pijat panggilan.
Yang menjadi beban pikiran hari-hari terakhir ini adalah sampai kapan, bisa bertahan?
Seorang teman berkisah di status Facebook. Awal pandemi dulu dia yang buka usaha travel agent langsung banting stir jual makanan khas Bali. Setiap kali buka PO, bisa 15-20 juta dia dapat. Sekarang, tiap buka PO, hanya bisa dapat 1-2 juta. Bisa dimengerti, pesaing makin banyak, dan mungkin juga para pelanggan dia sudah mulai mengetatkan ikat pinggang.
Kapan hari saya bertemu teman lama. Kami bertukar kisah tentang pandemi setahun ini. Saya bilang, “Dulu di awal, komunitas teman sering adakan bagi-bagi sembako seminggu sekali. Dan nggak hanya komunitas teman itu saja. Banyak yang berbuat serupa. Sekarang, baru aku sadar, makin jarang terdengar kegiatan seperti itu. Apakah makin sedikit yang musti ditolong, ya? Bagus dong artinya ya?”
Teman saya terkekeh dan meng-counter pendapat saya. “Dulu masih banyak donaturnya. Sekarang, para donatur mulai kelabakan juga mengingat kondisi belum juga membaik dan tabungan sudah menipis.”
Hmm, gitu ya.
Sebenarnya, keadaan tidak semurung itu, sih.
Beberapa hotel tercatat kembali buka. Paling tidak, itu berita bagus buat para pekerja yang sempat hampir setahun dirumahkan.
Banyak tempat hiburan yang kembali aktif bahkan buka sampai lewat tengah malam. Dan mengundang kerumunan orang-orang, semacam nggak ada itu virus corona!
Kapan Bali, tepatnya pariwisata Bali, akan pulih kembali?
Hanya Tuhan yang tahu.
Sekian kali kabar bagus menyambangi masyarakat pariwisata Bali. Akhir tahun 2020, banyak hotel-hotel di Bali yang bersenang hati karena prediksi okupansi tinggi, bahkan sudah banyak yang fully booked. Optimisme itu langsung redam begitu pemerintah mengeluarkan kewajiban untuk tes swab bagi para pelancong. Dan waktu itu, tes swab masih berkisar 1,2 juta ya. Bayangkan berapa ongkos tambahan yang harus dikeluarkan oleh pelancong, apalagi yang pergi bersama keluarga!
Awal Mei 2021 kembali menimbulkan harapan. Konon, Singapore Airlines akan terbang kembali ke Bali. Jujur, saat saya mendengar berita itu, saya hanya tersenyum (karena tidak tega menghancurkan kebahagiaan teman saya si penyampai kabar). Saya nggak begitu antusias, karena seperti terbukti pada akhirnya, kabar itu lagi-lagi berujung pembatalan.
Lebaran 2021 menjadi harapan. Sudah lazim di tahun-tahun lalu bahwa periode Lebaran adalah high season para tamu domestik. Okupansi hotel-hotel mulai merayap naik. Lalu… Dang! Muncul berita pemerintah melarang mudik, dan penghentian kegiatan transportasi termasuk transportasi udara. Lah, kena zonk lagi?!
Sekarang, harapan para insan pariwisata adalah kata-kata Menparekraf kita yang ganteng itu, yang sudah menyempatkan berkantor di Bali, Bapak Sandiaga Uno. Juni-Juli 2021 diharapkan Bali sudah siap menerima wisatawan mancanegara. (Sumber: Media Indonesia, Sabtu 27 Maret 2021)
Akankah itu terjadi, atau lagi-lagi zonk seperti sekian kabar baik sebelumnya?
Saya pribadi tentu berharap itu akan terjadi. Biar pariwisata Bali segera pulih.
Tapi akal sehat masih ingat bahwa, percuma pintu Bali terbuka apabila negara-negara lain tidak mengizinkan warga negara mereka untuk traveling ke Bali.
Kalau kata seorang teman, “Udah, buka aja. Tunjukkan kalau kita siap. Kalau nggak dibuka-buka, gimana menunjukkan kalau Bali sudah siap menerima turis kembali?”
Boleh-boleh aja sih.
Karena urusan pariwisata Bali sekarang ini nggak cuma urusan insan-insan pariwisata di Bali. Tapi sudah merambah ke G2G alias government-to-government. Sedangkan kalau kita lihat, dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat saja, masih sering miskomunikasi?
Jadi nggak usahlah berharap terlalu banyak pada pemerintah. Mereka nggak cuma ngurusin Bali.
Lakukan saja apa yang kita bisa, yang sudah kita lakukan setahun ini. Tingkatkan, demi diri kita sendiri, dan juga buat membantu sesama.
Karena menurut saya, itulah yang menguatkan Bali hingga bisa tetap bernafas hingga kini.
Komunitas, kolaborasi, dan semangat kebersamaan adalah kata kunci.
Pemberdayaan komunitas yang selanjutnya memberdayakan warga di sekitar mereka, adalah langkah kongkrit ketimbang berbusa-busa menetapkan tiga zona hijau Bali apalah-apalah.
Mengupayakan agar produk masyarakat Bali bisa meluas dikonsumsi oleh pelanggan di luar Bali, adalah langkah alternatif lain yang juga punya arti.
Kalau di artikel tahun lalu saya mengutarakan tiga kata kunci: bersiap, bertahap, bertahan, sekarang prioritasnya beda. Bertahan, bersiap, bertahap.
Tetaplah bertahan, agar kita bisa tetap hidup untuk menyaksikan matahari cerah bersinar setelah badai pandemi ini berakhir.
Bersiap, menyambut keadaan baru, kenormalan baru, yang bisa jadi tidak pas dengan dogma-dogma kita yang lama.
Terakhir, persiapan itu harus kita jalankan secara bertahap. Biar nggak kaget, kalau tiba-tiba muncul lagi peraturan baru yang meluluhlantakkan segala persiapan kita.
Dan di atas semuanya, jaga kesehatan, baik jiwa maupun raga.
Tabik!