Ketika membaca ulang satu artikel lama ini, saya tertumbuk pada poin nomor delapan: Don’t bother with hate; it’s not worth the effort.
Terus terang saya sedang benci pada beberapa orang, benci pada situasi yang telah lalu, benci pada saya sendiri karena saya belum juga bisa mengenyahkan rasa benci itu.
Saya benci pada mantan teman saya yang manis di mulut tapi di belakang ternyata menyebut saya sebagai “show off” karena mewarisi jabatan yang dia tinggalkan.
Saya merasa ditikam dari belakang, oleh pucuk pimpinan yang tiba-tiba membuat keputusan yang tidak saya sangka-sangka, tanpa meminta pendapat dari saya seperti hari-hari sebelumnya.
Saya merasa ditinggalkan begitu saja, oleh atasan langsung saya, yang berujar: “Kalau ditembaki, tiarap saja.” Lha ternyata yang nembakin saya itu dari atas, bagaimana saya menyelamatkan diri dengan tiarap? Sementara dia yang semestinya menjadi tameng saya, ternyata tetap berpegang pada prinsip: diam itu emas. No, Sir, you are wrong. Your silence is not gold, it is called “cari selamat sendiri” a.k.a. “saya nggak mau tahu”.
Saya benci pada situasi yang complicated itu, sementara orang-orang yang berperan menciptakannya, sudah hengkang terlebih dulu dan hidup nyaman di perusahaan tempat mereka bekerja sekarang.
Begitu banyak kebencian yang saya bawa dari masa lalu.
Sementara orang-orang yang saya tinggalkan, sekarang tertawa-tawa seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Jadi untuk apa saya menyiksa diri sendiri dengan kebencian tak kunjung pudar?
Saya tersadar percuma saya memelihara rasa benci itu, karena itu akan mengkonsumsi banyak energi yang sebenarnya saya butuhkan untuk tugas saya yang berjibun ini.
Lebih baik saya fokus pada pekerjaan saya yang sekarang. Toh, ini yang saya mau. Pekerjaan yang saya cintai, yang membuat kerja 18 jam sehari itu menyenangkan dan tidak melelahkan.
Saya nggak berharap saya menyaksikan mereka mendapat karmanya. Biarkanlah, saya mau benar-benar forgive and forget. Forget the hurt and the hate, but I won’t forget the lesson learnt.