Topik hari ketiga dalam 30 Days Writing Challenge adalah “What are your top three pet peeves?” Jujur saja, awal mendengar topik ini, saya pikir itu berhubungan dengan hewan peliharaan alias pet. Saya baru tahu kalau pet peeves itu artinya “something that especially annoys you” (sumber: Cambridge Dictionary). Iya, ke mana aja saya selama ini ya.
Jadi, apa saja hal-hal yang paling mengganggu buat saya?
Table of Contents
ToggleTidak tepat waktu
Yang pertama, orang yang tidak tepat waktu dan tidak update kalau tidak ditanya.
Ini nyebelin banget sih. Salah satu nasihat senior waktu saya jadi atlet catur dulu adalah soal ketepatan waktu. “Jangan biarkan orang lain menunggu.” Mangkanya saya selalu berusaha agar tiba di tempat janjian sebelum waktunya. Lebih baik saya yang menunggu.
Yang lebih nyebelin dari ketidaktepatan waktu atau ngaret itu adalah kalau orangnya nggak update atau kasih kabar ke saya, kalau tidak ditanya.
Saya sendiri punya SOP seperti ini kalau janjian dengan teman:
- Tentukan jam dengan jelas (nggak cukup “setelah makan siang” tapi pastikan “jam tiga”, misalnya).
- Pada hari H, pagi hari konfirmasi lagi apakah janjian kita masih on. Tahu saja ‘kan, banyak kejadian yang tidak terduga apalagi buat orang sibuk macam saya dan teman-teman saya.
- Saat menuju ke tempat tujuan, saya berkabar pada teman. Biasanya teman juga mengabari, jadi kami bisa mengatur ekspektasi apakah kami akan tiba tepat waktu atau telat atau gimana.
- Selama dalam perjalanan, apabila ada halangan, kami akan saling update. Misal ban bocor, atau harus isi bensin dulu.
- Sesampai di TKP, update lagi. Biar yang masih di jalan bisa bergegas, atau yang masih males-malesan bisa segera mandi.
Ribet? Buat saya dan teman-teman saya sih, nggak sama sekali ya. Karena itu sudah menjadi semacam SOP, dan sudah jadi kebiasaan, jadi ya otomatis aja berjalan.
Paling terganggu kalau saya sudah di tempat janjian, tapi lawan janji terlambat tanpa berkabar sama sekali.
Kalau misalnya saya tahu teman saya akan telat satu jam, misalnya, saya bisa menulis untuk blog biar kelar dan tidak terinterupsi dengan kedatangannya. Tapi kalau telatnya cuma 15 menit, ya main sosmed sudah cukup. Itu sebagai contoh saja.
BTW, saya bukan orang yang sempurna, ya. Pernah satu kejadian, eh, dua kali ding, saya menelantarkan janji. Entah sedang kesambet setan apa saya waktu itu.
Karena kejadian itu, di mana saya jadi pihak yang amat bersalah karena menciderai janji, saya jadi lebih kompromis sekarang. Lebih bisa menerima kalau teman saya ada yang tidak tepat waktu. After all, we are human.
Bragging, mau itu humble brag atau terang-terangan
Hal kecil yang mengganggu bagi saya adalah menghadapi orang yang bragging. Terlebih kalau yang dibualkan itu yang menurut saya biasa saja.
Misalnya, hampir sepuluh tahun lalu, seorang teman nyombong kalau dia baru beli sepatu dua juta. Mahal, tentunya, bagi kami waktu itu.
Yang mengganggu adalah dia ngomong tuh nggak cuma sekali. Yang paling saya ingat, di bandara waktu kami menunggu flight ke Jakarta, dia menunjuk ke sepatunya dan bilang kalau dia baru beli sepatu itu seharga dua juta.
Iyain aja deh kalau sudah gitu.
Bukan soal benda fisik ya. Bragging soal jabatan atau gaji, buat saya juga sesuatu yang menyebalkan.
Saya lupa pernah cerita di blog ini atau nggak, tapi saya pernah tulis di Quora. Seorang teman lama berjumpa dengan saya dan dalam dua kali perjumpaan itu (yang berselang puluhan tahun), ada satu pertanyaan yang sama. “Berapa gaji lu?”
Bukan masalah gaji saya kecil atau gimana. Tapi kelanjutannya yang paling malesin.
Yaitu: bragging. Kalau gaji dia sudah sekian digit, kalau dia bayar pajak penghasilan sudah sekian puluh juta.
Trus? Gue mesti nyesel gitu karena waktu kuliah dulu gue nggak nanggepin cinta lo? Gue mesti ngiri gitu karena situ sekarang CEO something something?
Sorry, bro, membanggakan soal gaji bagi saya termasuk bragging yang nggak perlu. Dan menyebalkan.
Ogah melakukan hal kecil yang bisa membantu orang lain
Hal ketiga yang mengganggu saya adalah ketika orang tidak memikirkan kalau tindakan mereka itu menyusahkan orang lain.
Contohnya banyak ya.
Parkir motor di jalan sempit tanpa berpikir orang lain juga butuh lewat jalan itu.
Tidak membuang bekas minuman ke tempat sampah. Alasannya, ya untuk itu pegawai kafe digaji. Padahal apa salahnya sih, kita tinggal buang ke tempat yang sudah disediakan, kok. Membantu pegawai kafe itu juga ‘kan biar mereka bisa mengerjakan hal lainnya.
Seperti foto yang saya capture di kopisop tempat saya menulis posting ini. Jangan khawatir, setelah foto, gelas kosong itu saya buang ke tempat sampah kok. Jadi saya nggak ngomong doang atau nggak ngedumel aja bisanya.
Tidak mengembalikan tray atau baki saji ke tempatnya saat makan di fast food restaurant seperti KFC. Lagi-lagi alasannya, ‘kan sudah ada pegawainya. Nanti kalau kita membereskan makanan kita, mereka kerja apa?
Dulu saya juga punya kebiasaan seperti itu. Tapi setelah sering traveling, ke luar negeri terutama, saya melihat sepertinya nggak salah kalau kita punya kebiasaan rapi-rapi meja setelah kita selesai makan.
Tidak hanya membantu pekerja restoran tersebut, tapi juga membantu sesama pengunjung yang ingin memakai meja itu seperti kita.
Contoh lainnya, saat di department store, ada yang suka ngacak-acak baju di bak yang sudah rapi. Habis itu nggak beli.
Kasihan aja mbak dan mas SPG/SPB nya, gitu. Sudah harus berdiri seharian, harus ketambahan tugas beresin baju-baju yang diawur-awur nggak keruan.
Ya, hal-hal kecil seperti itu bisa kita lakukan tanpa menguras energi kita. Tapi bisa berarti banyak bagi orang lain. Mengapa kita nggak lakukan?
***
Itu tiga hal yang menjadi gangguan kalau menimpa saya. Sepertinya sih masih banyak lainnya ya, tapi belum terpikir sekarang.
Lagi pula, sekarang hidup saya makin selow kok. Karena sekali lagi, kita semua manusia. Punya salah dan lupa.