Saya dan partner bertemu dengannya saat sarapan di hotel tempat kami menginap. Seorang single traveler, wanita yang sudah berumur, jauh-jauh datang dari negara Inggris Raya. Dia senang sekali saat kami mengajaknya untuk ikut serta dalam perjalanan kami hari itu. Rencananya kami sedang mencari kain kebaya, dan konon pasar di Klungkung adalah pilihan yang tepat. Jadilah, kami pergi bertiga.
Setelah disesatkan oleh Google Maps (maklum, koneksi GPS on-off) dan bertanya satu-dua-tiga kali di jalan, sampailah kami di pasar tradisional yang ternyata berseberangan dengan Kertha Gosa. Deretan kios pedagang kain langsung terlihat begitu kami memasuki pasar. Dan si Ibu kenalan baru kami, meminta ijin untuk pergi ke toilet. Agak nggak enak hati sebenarnya melepas kepergian dia (halah), karena kami bisa membayangkan rata-rata penampakan toilet umum di Indonesia. Tapi kami tahu si Ibu sudah bertualang ke berbagai negara, dan banyak negara yang lebih miskin dari Indonesia, kami yakin si Ibu sudah siap mental tentang kondisi toilet umum kita.
Artikel kali ini, nggak akan menyoroti tentang toilet umum, anyway.
Sekeluarnya si Ibu dari toilet, dia meminta tolong saya untuk mencarikan uang receh untuk diberikan pada si penjaga toilet. Cuma butuh seribu perak, katanya. Ketika saya melihat di dompet dia ada selembar duaribuan, saya menyarankan untuk memberikan duaribu saja daripada repot-repot cari seribuan. Dia menolak. Sambil ngecepres dalam bahasa Inggris pastinya. Intinya, meskipun cuma seribu perak, tapi dia nggak mau memberikan lebih dari yang dibutuhkan.
Kesan pertama saya, idih pelit banget si Ibu.
Tapi saya mencoba menempatkan diri di sepatunya (kekecilan sih), alias I put myself in her shoes. It’s a personal thing, dan saya nggak boleh menghakimi bahwa dia itu pelit (lagian juga baru kenal berapa jam, judgmental banget sih akunya). Itu masalah prinsip aja, bahwa dia menganggap nggak bener itu ngasih orang lain siapapun itu lebih dari yang diharuskan. Ya karena di toilet keharusan bayar Rp. 1,000,- ya that’s it, seribu perak sudah cukup, mengapa harus memberi lebih?
*****
Minggu kemarin saya membaca artikel di TIME.com. Ceritanya tentang seorang Sarah Bartlett yang merasa “nggak perlu merasa bersalah deh kalo nggak ngasih tipping ke waiter“. Kurang lebih begitu. Tip itu, bagi dia, adalah hak bukan kewajiban. Dia berhak memberi atau tidak memberi, tergantung dari apa yang dia rasakan pantas atau tidak. Kalau servis yang diterima memang sebagaimana seharusnya, mengapa harus memberi tip? Kecuali kalau ada layanan lebih atau spesial, barulah tip itu layak diberikan.
Tentu banyak pro dan kontra.
Yang pro artikel Sarah Bartlett ya seperti si penulis dan si Ibu dalam cerita saya di paragraf awal itu. It is what it is, kurang lebih begitu prinsipnya.
Yang kontra bilang, lah elu kayak nggak tahu aja bahwa para waitstaff alias pramusaji itu gajinya nggak sebesar gaji kita, malah banyak yang nggak memenuhi gaji standar. Maka berikanlah tip itu buat nambah-nambahin pendapatan.
Trus yang pro bilang begini: lah emang urusan gue soal gaji menggaji? Harusnya si pemilik usaha yang mempekerjakan karyawan itu dong yang mikirin. Menggaji semua pegawainya entah itu tukang parkir atau pramusaji atau siapapun, dengan layak dan sesuai standar pemerintah.
Ya kalau ditarik ulur sih nggak akan selesai-selesai dah. Karena menurut saya, ini mah masalah hati. Dan masalah hati nggak bisa gampang diputuskan siapa yang benar siapa yang salah.
Yang jelas salah itu, kalau servis yang kita terima jadi jelek gara-gara kita dikenal sebagai orang yang pelit nggak pernah nge-tip. (Omong-omong, pernah saya tulis juga di artikel mengenai generasi service charge ini – kurang lebih bisa diaplikasikan untuk kasus tip-mengetip ini.)
Sementara dari kita pihak konsumen, bagi saya sih kurang pantas juga kalau kita menerima servis yang luar biasa tapi nggak mau mengapresiasi servis yang diberikan. Tip itu salah satu bentuk apresiasi, ‘kan? Servis yang luar biasa ini simpel saja ukurannya, bagi saya: apabila pihak pemberi servis memberikan layanan yang sebenarnya tidak termasuk di perjanjian awal. Misalnya, naik taksi lewat jalur yang kita tahu macetnya luar biasa, tapi pak supir ternyata tahu jalan tikus yang membuat kita sampai di tujuan lebih cepat. Atau, nongkrong di club cuma dengan melirikkan mata, si waiter sudah tanggap untuk melayani keinginan kita. (Paling sebel ‘kan kalo nongkrong di club atau di restoran, cari-cari pramusaji susah banget sementara kita sudah kebelet memesan sesuatu.) Atau lagi, pesan minuman tequila sunrise tapi rasanya kurang menohok lantas ketika kita minta adjustment (ceile istilahnya), si bartender dengan sukaria mengucurkan tequila ke gelas kita biar nendang sampai ke bulan. (Mmmm… ini kok contohnya makin lama makin ngaco ya. Baiklah.)
Seorang teman lagi punya pendapat lain. Nggak ada salahnya memberi tip, itung-itung bagi-bagi rejeki, dan Insya Allah rejeki kita akan semakin dilancarkan karenanya. Okesip!
Jadi ya sebenarnya urusan tip ini gampang aja: suka-suka yang ngasih dah. Kalo ngasih tip banyak ya bolehlah dilayani lebih di kunjungan berikutnya tapi kalo nggak ngasih ya jangan dicemberutin.
Tapi bagaimana tentang rasa bersalah kalau kita nggak memberi tip, seperti di artikel TIME.com tadi? Ini nih yang susah dihilangkan bagi saya pribadi. Rasanya kok nggak tahu etiket ya, pergi begitu saja tanpa meninggalkan tip. Saya terbiasa memberi tip di kisaran minimal 5%, tapi di keadaan ekonomi seperti ini, mulai merasa bersalah pada diri sendiri kalau terlalu royal pada orang lain. Gimana dong?
Jadi ya, terus terang saya sih mulai membiasakan diri untuk tidak merasa bersalah apabila saya nggak memberi tip, dengan catatan memang layanan yang saya dapat itu biasa-biasa saja. Daripada saya memberi tip, tapi dihantui rasa bersalah karena berlagak jadi orang kaya jadi big tipper padahal lebih baik uang itu dialokasikan buat hal yang lebih berguna.
Nah lo, dari paragraf terakhir di atas ini, kok malah jadi kepikiran ya, nggak memberi tip bisa merasa bersalah, memberi tip (kebanyakan) juga bisa merasa bersalah.
Trus gimana dong? Ya sudah, bikin santai aja ya. Yang penting ikhlas, itu saja. Ikhlas dalam tidak memberi tip, dan juga ikhlas dalam memberi tip seberapa banyak pun itu.