Kemarin Jumat saya nonton “Ziarah” meski agak tidak terencana. Karena bioskop yang menayangkan film Indonesia ini terbatas, saya dengan pacar dan teman menonton di Blok M Square. Lumayan murah, Rp. 35.000,- saja. Meski saya sudah mendengar dan membaca “Ziarah” seliweran di berbagai media terutama media online, saya menonton dengan bekal minim. Maksud saya, saya cuma tahu bahwa ini film Indonesia, pemeran utama seorang nenek (Mbah Ponco Sutiyem), dan mendapat banyak penghargaan.
Nama sutradaranya saja, BW Purba Negara, sungguh asing bagi telinga saya yang anggota masyarakat awam ini.
Bagus juga sih, jadi saya nonton film tanpa banyak ekspektasi.
Agak kaget juga mendapati ketika ternyata film ini berbahasa Jawa.
Menggunakan bahasa Jawa, pas dengan lokasi syutingnya di alam pedesaan Gunung Kidul dan sekitarnya, bagi saya menambah nilai plus bagi film ini. Ya masa’ nenek dan kakek veteran yang hidup di desa lumayan terpencil, dipaksakan berbahasa Indonesia. Ntar malah wagu jadinya (= aneh).
Cuma saya penasaran juga sih, gimana ya dengan penonton yang nggak paham bahasa Jawa? Apa ya nggak susah membagi konsentrasi antara menonton adegan dengan kuping menangkap percakapan dalam bahasa Jawa, lalu mata musti teliti membaca sub-title dalam bahasa Indonesia? Semoga saja tidak mengganggu penghayatan para penonton ya.
Tentang ceritanya, sebenarnya kisah biasa, namun jadi luar biasa. Sederhana: seorang nenek, Mbah Sri, keliling sana sini untuk mencari di mana makam suaminya, Mbah Pawiro Sahid, yang dulu tahun 1949 berangkat ke medan perang melawan Belanda (itu saat agresi militer kedua). Setelah itu Mbah Pawiro nggak pernah pulang, dan nggak jelas pula kabar berita. Seandainya sudah wafat, di manakah makamnya, begitu Mbah Sri bertanya-tanya.
Film berjalan lambat di awal. Adegan cucu Mbah Sri yang sibuk hendak membangun rumah tangga dengan kekasihnya lumayan menyita waktu.
Tapi setelah itu saya tanpa sadar turut serta dalam perjalanan Mbah Sri.
Pemandangan pedesaan tampil dengan apa adanya, tapi itu yang membuat film ini berkesan bagi saya.
Nggak ada keindahan sinematografis berlebih ala Garin Nugroho, yang bisa menyulap kemiskinan atau kemalangan menjadi sesuatu yang cantik luar biasa.
Semua disajikan sebagai mana adanya. Lugu. Seperti karakter-karakter di film ini. Percakapan demi percakapan mengalir. Buat yang orang Jawa seperti saya, pasti merasa seperti balik ke kampung demi mendengar para pelaku bercakap sambil cangkrukan.
Beberapa isu berat seperti PKI dan Kedung Ombo, diselipkan secara wajar dan tanpa penekanan berlebih. Saya nggak tahu apakah generasi millenial paham tentang G30S, Kedung Ombo dan kisah-kisah yang mendapat porsi sedikit dalam buku sejarah Indonesia. Tapi saya berharap, andai mereka menonton film ini, terbersit keingintahuan mereka untuk mengulik lebih jauh tentang printilan sejarah Indonesia dan nggak sekedar menelan versi yang ada, mentah-mentah.
Yang paling menohok bagi saya, dan bagi banyak penonton lain, pasti cara sang sutradara mengakhiri filmnya.
Sungguh… mencekam.
Tanpa perlu banyak kata, tanpa perlu gembar-gembor, tapi akhir film “Ziarah” ini membuat kami terpaku di kursi masing-masing.
Terpaku, bengong, mencerna dalam benak, “Oh, jadi begini, jadi begitu, oh….” dan lantas seperti dihantam dengan palu godam ketika kami tersadar akan maksud sang sutradara.
Sungguh pengakhiran kisah yang apik.
Buat saya, menonton film ini memberikan pemaknaan baru tentang kata “ziarah”. Ziarah nggak cuma kita lakukan dalam bentuk fisik, namun mengenang momen-momen yang lalu yang pernah terjadi dalam film kita pun, termasuk ziarah spiritual.
Dan terberkatilah mereka yang tuntas berziarah, ditandai dengan kemampuan untuk berdamai dengan masa lalu, dengan diri sendiri.
Jadi, buat kalian yang belum menonton, saya rekomendasikan untuk nonton film “Ziarah” ini!
4 Responses
Dari kemarin belum tertarik buat nonton film ini. Tapi setelah baca reviewnya…jadi pengen nonton. Hikss..
Semoga masih ada kesempatan untuk nonton.
Thank you buat review-nya!
Hai Nisrina, semoga masih sempat nonton ya! Sayang banget kalau terlewat. Terima kasih juga sudah mampir dan membaca! 🙂
waaa aku baru nonton trailernya aja sih belum sempet tonton full filmnya. mengena banget sih ya kayaknya
Hai Inklocita! Mudah-mudahan belom telat ya, sempat gak nonton film Ziarah? 😀