Minggu lalu, karena satu dan lain hal, saya perlu akomodasi secepatnya di Jakarta. Yang murah, meriah, tapi aman bagi perempuan. Ngobrol dengan satu teman, dia mengusulkan, “Mengapa tidak coba menginap di Bobobox saja?” (Padahal dia sendiri belum pernah menginap di sana.)
Ide bagus. Singkat kata, akhirnya saya memesan kamar di sana. Malam pertama lewat salah satu online travel agent, dan karena saya puas, saya extend dua malam langsung booking lewat aplikasi Bobobox.
Buat yang belum pernah dengar apa itu Bobobox, ini adalah salah satu penyedia hotel kapsul di Bandung, Jakarta, dan juga sudah tersedia di Jogja dan Semarang. Startup ini dinilai cukup potensial sehingga tahun 2020 mampu mendatangkan funding sebesar USD 11,5 M!
Eniwei, apa itu hotel kapsul?
Istilah hotel kapsul awalnya populer di Jepang. Hotel ini menyediakan kamar dengan ruang yang sangat sempit dan hanya berisi kasur ukuran satu atau dua orang.
Jadi nggak kayak hotel-hotel biasa dengan kamar luas dan fasilitas lengkap ya, gaes. Jangan berharap dapat kamar include breakfast.
Sesuai desain kamarnya, bisa diduga hotel kapsul menyasar target mereka yang membutuhkan penginapan untuk tidur semata, dengan harga murah dan terjangkau. Fasilitas, itu prioritas kedua. Di Jepang, hotel kapsul diminati oleh para pekerja yang merasa nanggung untuk pulang ke rumah karena lembur sampai larut malam, misalnya.
Kembali ke pengalaman saya bersama Bobobox.
Karena trauma dengan pengalaman overbooking dan untuk mengamankan reservasi, saya telepon ke nomor cabang Bobobox tempat saya akan menginap. Oya, saya pesan kamar di Bobobox Pancoran.
Tidak ada yang mengangkat. Sungguh menyebalkan. Saya coba menghubungi WhatsApp Customer Service. Meskipun lama jawabnya, saya paham karena sudah lewat jam kerja dan hari libur pula, tapi akhirnya ada juga yang menjawab chat saya. Manusia, bukan bot.
Akhirnya saya check-in. Kata mas-mas front-office, memang telepon mereka suka bermasalah. Suka tidak berdering meski ada telpon masuk.
Ternyata saya harus download aplikasi Bobobox dulu untuk proses check-in. Setelah verifikasi KTP dan sebagainya, akhirnya check-in lah saya lewat aplikasi. Jadi nggak ada lagi namanya nunggu front-office ngurusin tetek bengek seperti lazimnya di hotel biasa, karena semua proses dilakukan lewat aplikasi, termasuk kunci kamar.
Iya gaes. Nggak ada lagi istilah kehilangan kunci kamar, karena kunci kamar berbentuk QR Code ada dalam genggaman, alias ada di aplikasi Bobobox di hape kita.
Saat check-out pun simple prosesnya, kita tinggal swipe button di aplikasi untuk menandakan kita check-out dan menyerahkan kunci locker pada petugas FO.
Proses check-in selesai, mas-mas FO menyodorkan kunci locker.
Ternyata, sebelum masuk ke area dalam, kita tidak boleh pakai sandal/sepatu. Disediakan slipper di locker, jadi kita ganti deh pakai slipper dan sandal/sepatu bisa kita simpan di locker.
Plus, kita tidak boleh bawa makanan minuman ke dalam, kecuali air botolan macam Aqua. Karena saya warga yang taat, persediaan snack saya tinggal di loker.
Semua sudah siap. Mari menuju ke kamar!
Saya pesan kamar Sky Room, yang ternyata adalah kamar (atau disebut “pod”) di bagian atas. Seperti terlihat di foto di bawah, pod di atas itu untuk kamar Sky dan pod bawah untuk kamar Earth. Semacam kamar dormitory gitu tapi ini dibungkus tertutup seperti kapsul.
Mau masuk kamar, tinggal scan QR Code di aplikasi kita ke scanner yang terpasang di samping pintu kamar.
Saya masuk ke kamar yang sesuai ekspektasi: sempit namun bersih. Untuk kamar single ini, ukurannya cuma 4 meter persegi. Ada juga sih yang double untuk 2 tamu, 10 meter persegi.
Minimalis banget kamarnya. Putih bersih (pantas tidak boleh bawa makanan, ntar mengundang semut dan mengganggu keharmonisan yang sudah tertata ini).
Disediakan handuk, sikat gigi dan pasta gigi.
Untuk mencapai bed, saya harus naik rak yang dijadikan tangga. Cukup merepotkan buat orang tua seperti saya (tumben ngaku tua). Apalagi kalau kebelet pipis, musti hati-hati deh naik turunnya.
Akhirnya saya bisa merebahkan badan yang capek setelah seharian di jalan.
Toleh ke kiri, ternyata ada panel berisi tombol-tombol untuk mengatur lampu (bisa diatur sesuai ‘mood’ juga) dan memainkan musik meditatif yang mereka sediakan.
Ada dua colokan, pas deh, satu buat laptop dan satu buat hape.
Berhubung saya corporate slave yang berdedikasi, saya sempatkan buka laptop untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.
Dan wow, koneksi internet di kamar sungguh kencang. Kerjaan jadi lancar deh.
Setelah tutup laptop, saya kembali merenung menghadap langit-langit.
Merenungi betapa tugas-tugas yang menumpuk bisa selesai dalam waktu cepat. Dan itu menyadarkan saya bahwa bekerja di kamar sempit ini malah bikin produktivitas meningkat karena minim distraksi!
Tidak ada suara tv yang bisa mengalihkan perhatian dari layar laptop.
Dan karena saya memang niatnya ‘nyepi’, saya sudah deactivate akun media sosial saya saat itu. Jadi nggak ada suara tang ting tung notifikasi dari berbagai platform yang distraktif sungguh.
Sepi.
Sesekali terdengar suara dari luar, saat tetangga keluar masuk kamar sebelah. Selain itu, tidak ada gangguan berarti.
Saya mulai menyukai kamar super minimalis ini.
Karena itu, saya extend dua malam lagi. Untuk experience yang baru, saya memesan kamar tipe Earth.
Kalau kamar Sky terletak di atas, kamar tipe Earth terletak di bawah. Jadi begitu masuk, langsung terhampar kasur. Bisa langsung menggeletak deh.
Cuma kalau dipikir-pikir, enakan kamar Sky sih. Terkesan lebih lapang, karena kalau kita tiduran, pandangan kita lepas ke dinding. Sedangkan kalau di kamar Sky dan kita tiduran, pandangan kita sedikit terhalang bagian kamar atas kita.
Eniwei, bagaimana soal mandi?
Bobobox menyediakan kamar mandi umum, yang pastinya terpisah antara cowok dan cewek. Di Bobobox Pancoran di bagian kamar mandi cewek, ada dua bilik toilet dan dua bilik shower. Ukuran masing-masing bilik cukup luas. Plus, air panasnya joss! Senang deh, bisa mandi air panas untuk menghilangkan lelah seharian.
Tersedia shampoo dan sabun cair.
Ada juga hair dryer lho, buat kamu yang ingin mengeringkan rambut setelah mandi dan keramas.
Saat mandi, saya jadi terkenang masa-masa kuliah di Jogja. Saat jadi anak kost, dengan kamar mandi luar yang masih pakai gayung dan toilet jongkok.
Jauh sungguh jika dibandingkan dengan kenyamanan ala Bobobox.
Setelah mandi, saya menyempatkan ke lobby. Ambil cemilan dari locker, lalu nongkrong di lobby, main hape sambil mengamati lingkungan sekitar.
Lumayan ramai aktivitas di lobby. Beberapa anak muda terlihat check-in. Berdua, bertiga, bersatu. Cukup populer juga ya Bobobox ini.
Oya, kabarnya ada pantry di lantai 3, kalau kita butuh masak air panas buat bikin kopi atau mie instant.
Saat saya hendak check-out, terlihat beberapa orang yang dari penampakannya seperti saya, buruh korporat tipikal pekerja. Hmm, Bobobox bisa jadi alternatif juga nih buat korporasi yang demen mengirim staf tugas ke luar kota. Biar staf fokus kerja dan nggak ngapa-ngapain selama bertugas.
Tiga malam menginap di Bobobox Pancoran, membuat saya teringat satu konsep: urban retreat.
Yang rasanya pas diaplikasikan dengan menginap di Bobobox.
Sesekali, kita kaum urban yang tinggal di perkotaan, pasti merasa jenuh dengan keseharian.
Atau, mengalami masalah yang menekan sehingga kita butuh sedikit pelepasan.
Boleh tuh, retreat ala urban dengan menginap di Bobobox.
Merasakan gaya hidup minimalis. Tidur di kamar yang sempit tanpa fasilitas berlebih kecuali wifi yang super kencang.
Matikan sementara semua akun medsos.
Gunakan waktu untuk merenung. Apa masalah kita? Introspeksi, apakah ada yang perlu kita perbaiki dari diri kita sendiri, sebelum kita melemparkan kesalahan ke pihak lain.
Mencoba gaya hidup komunal dan menekan egoisme dengan berbagi tempat mandi.
Dan bagi yang sudah berumur seperti saya, gunakan waktu untuk mengenang bagaimana masa lalu zaman kita susah dulu. Bandingkan dengan zaman sekarang, dan semoga kita menemukan alasan untuk bersyukur.
Selepas retreat ala urban ini, semoga kita tersadarkan bahwa kita tidak butuh banyak hal untuk tetap bisa hidup. Kamar sempit nan minimalis plus kamar mandi komunal, tetap bisa membuat kita refresh.
Saya malah berandai-andai, berapa lama kiranya saya bisa tinggal di akomodasi seperti Bobobox ini ya?
Bagi penganut casual minimalism seperti saya, kamar kapsul tidak menjadi masalah. Pagi hingga jelang malam, bisa saya habiskan di luar hotel. Malam, kembali ke kamar kapsul untuk benar-benar istirahat. Sepertinya menarik menerapkan ide ini untuk menguji jiwa minimalisme seseorang.
*****
Sedikit catatan: tentu, menginap di hotel kapsul tidak disarankan untuk mereka pengidap claustrophobia atau fobia berlebih terhadap tempat-tempat sempit.
Untuk mendapatkan pengalaman urban retreat ala saya di Bobobox ini, wajib diawali dengan pemikiran yang positif. Kalau sudah negatif misalnya: “Halah ngapain nginep di hotel kapsul ala backpacker” bisa dipastikan Anda tidak akan menemukan pencerahan seperti yang saya raih.
Jika kalian berminat menginap di Bobobox, saya sarankan langsung download aplikasi dan booking lewat aplikasi Bobobox. Banyak promonya! Saat saya menginap, saya bisa dapatkan harga di bawah 150ribu untuk satu malam.
Disclaimer: Artikel ini bukan artikel berbayar. Tulisan ini murni berdasar pengalaman menginap atas biaya saya sendiri.
BTW kalau mau menginap di hotel, pasti perlu travel pouch buat barang bawaan kita, dong? Biar ringkas dan nggak berceceran di kamar, ntar pas check-out ketinggalan lagi. Nah, coba pilih travel pouch di marketplace kesayangan saya, nih! Cekidot di Tokopedia, ya!