[30DMC] Day 05 – Your Favorite Drama Movie: Dead Poets Society (1989)

 

Selamat berjumpa lagi dalam 30 Days Movie Challenge! Hari ini hari kelima, dan saya musti menulis tentang favorite drama movie. Banyak banget sih judul yang terlintas, karena hampir semua film yang saya tonton ya kalo nggak drama, komedi atau film anak-anak.

Saya memilih menobatkan Dead Poets Society (1989) sebagai film drama favorit saya.

dead poets society poster

Jadi sedikit nostalgia nih….

Saya menonton film ini saat masih kuliah di Yogyakarta. Nonton di bioskop (jaman dulu belum ada DVD). Nggak cuma sekali. Saya nonton tiga kali di Bioskop Empire yang sudah tutup bertahun-tahun silam. Yang terakhir saya ingat, saya nonton sendirian, dan di tahun segitu kalau cewek nonton sendirian itu = aneh bin ajaib. Sebelum film mulai, saya bertemu teman kampus yang ternyata nonton juga meski beda film. Ketika teater saya kelar, saya keluar dan menemui dua teman cowok saya itu nongkrong di lobi bioskop. Nungguin saya. Just to make sure saya baik-baik saja.

Entahlah, apa yang saat itu ada di pikiran mereka, melihat seorang cewek nonton film sendirian malam-malam pula.

Apa yang membuat saya terpikat banget dengan film ini?

Pastinya karena tema ceritanya begitu related dengan saya. Sesuai dengan judulnya, Dead Poets Society berkisar seputar puisi. Bukan itu sih intinya. Inti cerita adalah pendidikan masa lalu yang kaku dan saklek, di satu akademi berasrama khusus putra. Keteraturan jalannya pendidikan di Akademi Welton itu terusik ketika datang guru sastra baru bernama John Keating.

Si Mister Keating ini mengajak murid-muridnya untuk mendobrak tradisi pembelajaran. Dari yang semula berpatokan pada kurikulum dan buku-buku baku, menjadi eksplorasi bebas tanpa peduli apa kata buku.

(Sebelas dua belaslah dengan salah satu paslon pilgub DKI 2017, yang menekankan soal rasa dan rasa.)

dead poets society1
Mister Keating dikelilingi anak didiknya

Metode pengajaran Keating membangkitkan minat tujuh muridnya yaitu Neil, Todd, Knox, Charlie, Richard, Steven  dan Gerard untuk lebih merasakan sumsum kehidupan. Mereka menghidupkan lagi perkumpulan Dead Poets Society, yang sempat hidup saat Keating masih menjadi murid di Akademi Welton.

Konflik dimulai ketika Neil yang tertarik pada teater, berasa mendapat spirit dan dorongan dari sang guru. Neil bersitegang dengan ayahnya yang tidak setuju dengan kegiatan ekstrakurikulernya.

Dan cerita berakhir menyedihkan.

Menyedihkan banget sampai saya nangis.

Eh udah tahu sedih dan bikin nangis, kok ya tetap nonton lagi dan lagi.

Sampai sekarang, nggak bosen deh nontonnya. Ampe hapal dialog dan adegan demi adegan.

Eniwei, bagi saya yang waktu itu masih mahasiswa muda, kehidupan yang disajikan dalam film Dead Poets Society adalah kehidupan impian saya. Kebebasan, eksplorasi, eksperimen, semua ditalikan dengan lantunan puisi demi puisi.

Saya bukan mahasiswa sastra. Saya kuliah ambil Jurusan Ilmu Komputer.

Tapi saya suka sastra. Termasuk puisi.

Sungguh terhubung banget roh saya dengan film ini. Ketika Keating dengan caranya yang khas berhasil memaksa Todd mengeluarkan isi kepala dan hatinya tanpa terbendung.

John Keating: Close your eyes, close your eyes! Close ’em! Now, describe what you see.
Todd Anderson: Uh, I-I close my eyes.
John Keating: Yes.
Todd Anderson: Uh, and this image floats beside me.
John Keating: A sweaty-toothed madman.
Todd Anderson: A sweaty-toothed madman with a stare that pounds my brain.
John Keating: Oh, that’s *excellent*! Now, give him action – make him do something!
Todd Anderson: H-His hands reach out and choke me.
John Keating: That’s it! Wonderful, wonderful!
Todd Anderson: And all the time he’s mumbling.
John Keating: What’s he mumbling?
Todd Anderson: Mumbling truth.
John Keating: Yeah, yes.
Todd Anderson: Truth like-like a blanket that always leaves your feet cold.
John Keating: [some of the class start to laugh] Forget them, forget them! Stay with the blanket. Tell me about that blanket!
Todd Anderson: Y-Y-You push it, stretch it, it’ll never be enough. You kick at it, beat it, it’ll never cover any of us. From the moment we enter crying t-to the moment we leave dying, it’ll just cover your face as you wail and cry and scream.
[long pause then class applauds] John Keating: Don’t you forget this.

Hanya saja, belakangan saya baru tahu kalau ada kontroversi seputar film ini. Banyak kolumnis yang menganggap Dead Poets Society tidak seperti yang dielu-elukan penggemarnya.

Apa pasal?

Karena di film ini, ditampilkan seolah-olah pemahaman karya sastra itu semata soal rasa.

Latar belakang historis, pemahaman tradisi, analisa terstruktur, dikesampingkan dan dianggap Keating sebagai tidak penting.

Kevin J.H. Dettmar, seorang profesor menulis bahwa Dead Poets Society adalah anti intelektual, menyajikan informasi yang salah tentang profesi seorang pengajar (guru sastra).

Membaca kritik tentang Dead Poets Society tidak mengurangi kekaguman saya, malah menambah pemahaman saya tentang apa keunggulan film ini dan lubang apa yang semestinya diisi untuk menjadikannya sempurna.

Karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah.

Yang jelas, lewat Dead Poets Society, pemikiran saya akan sastra jadi terbentang lebih. Berbekal nama-nama yang tersebut di film ini, saya menggali sendiri siapakah Walt Whitman, Tennyson, Henry David Thoreau dan sejajaran nama lainnya.

Lewat Dead Poets Society saya merasakan keromantisan hidup, meski itu sebatas layar kaca, dan saya musti siap tertampar kenyataan begitu melangkah ke dunia nyata seusai film.

Dan bagi saya, ini adalah film terbaik Robin Williams almarhum. May you rest in peace, Robin! Terima kasih atas akting cemerlangmu sebagai John Keating.

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

2 Responses

  1. Ah! Sama 🙂 Dari “Dead Poets Society” ini aku menggali Lord Byron, Walt Whitman, Henry David Thoreau … <3 <3 <3 Aku pun menganggapnya film terbaik Robin William! Selalu mewek saat mereka naik ke meja di akhir cerita.

    BTW … aku baru ngeh Naima itu mirip kamu ya… HAHAHA …. Dia suka sastra, termasuk puisi, tapi kuliahnya ngambil Ilmu Komputer.

  2. Hahaha bedanya kalo Naima beneran niat, persistent. Ndak kayak aku, sakpenake dhewe. BTW iya, kupikir film yang bagus itu nggak harus film yang langsung menggurui, namun justru yang memancing keingintahuan kita untuk belajar lebih jauh ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru