Kemarin saya bertemu seorang teman lama, setelah lima belas tahun tidak bertemu. Well, sebenarnya sih, dari awal saya kenal dia sampai sekarang, kami hanya bertemu tiga kali.
Cerita tentang mengapa saya kenal dia itu termasuk salah satu kenorakan saya di masa lalu. Mungkin lain kali saja saya ceritakan tentang ini.
Kemarin, kami berjanji untuk makan siang, yang akhirnya berlanjut menjadi percakapan hampir tujuh jam. Sebenarnya bisa dilanjut ke makan malam, tapi perut masih penuh gegara makan siang yang super.
Jadi ya ngobrol aja gitu selama tujuh jam.
Saya belajar banyak dari dia. Dari pengalaman hidupnya yang luar biasa.
Tapi pertemanan kami mengingatkan saya pada definisi ulang saya tentang pertemanan.
Dulu, saya menganggap teman itu kudu sering bertemu, atau berhubungan.
Ternyata, ada beberapa orang yang tidak butuh berhubungan sama sekali, namun begitu bertemu, kami bisa ngobrol selayaknya teman lama.
Contohnya ya teman saya yang kemarin itu.
*****
Belakangan ini, saya sering bertemu orang baru. Gara-gara menginap di hostel.
Sesekali kami mengobrol di teras hotel sampai lewat tengah malam.
Selama menginap di female dormitory yang sekamar isinya enam ranjang itu pula, saya menyempatkan bercakap dengan penghuni yang lain.
Ada sih, satu dua yang menutup diri, jadi komunikasi sebatas selamat pagi, selamat siang, selamat malam.
Tapi ada pula yang tidak berkeberatan berbagi cerita.
Dari situ saya mendapat insight tentang tamu-tamu yang memilih menginap di hostel.
Beberapa memilih menginap di hostel karena sesuai dengan budget jalan-jalan mereka.
Tapi ada juga yang sudah bekerja mapan, memilih menginap di hostel karena “biar tidak kesepian”. Kalau di hotel ‘kan, nginep di kamar sendirian yak. Kalau di hostel, ada teman berbagi ruang yang bisa dijadikan teman bicara pula.
Cerita-cerita dari mereka memperkaya khazanah cerita saya. Berbagai background dan pengalaman hidup tersampaikan, beberapa di antaranya baru saya dengar untuk pertama kalinya.
*****
Seorang teman bercerita, saat dia mengalami depresi akut, di satu titik dia mendapat pencerahan. Cara dia mengatasi depresi adalah dengan memaksa diri untuk keluar rumah. Bertemu orang. Menyerap energi-energi baik dari orang-orang baik yang ditemuinya.
Dan saya mendapati apa yang saya alami belakangan ini, serupa dengan yang dialami teman saya itu.
Tanpa sadar, saya mendapat energi terbarukan dari orang-orang yang saya temui. Dari cerita-cerita hidup mereka, sesingkat apapun itu.
Tentu saja saya tidak memaksa setiap orang yang bertemu saya harus berbagi cerita. Saya bisa melihat ketika orang enggan berbagi dan cenderung menutup diri. Saya harus menghargai itu.
Tapi ada beberapa orang yang – boleh dikatakan – memiliki level energi yang sama sehingga kita mudah terkoneksi. Dan kalau sudah begitu, ngobrol berjam-jam pun takkan terasa.
*****
Dari pertemuan kemarin juga, saya belajar bahwa setiap pertemuan tidak harus berkelanjutan.
Jika kita harus bertemu, maka kita akan bertemu.
Ah, jadi ingat, ketika saya dan teman-teman bercakap di teras hostel di pagi hari, seorang tamu hendak check-in. Karena check-in time pukul 14.00 WIB, maka dia menitipkan tas saja untuk bisa berjalan-jalan.
Selang beberapa waktu, dia kembali untuk mengambil tas. Katanya, dia tidak jadi menginap di hostel. Baiklah.
Beberapa hari kemudian, di coffee shop langganan saya, seorang anak muda masuk dan memesan kopi.
Hari itu, tumben banget coffee shop penuh sehingga saya tidak bisa menempati meja favorit saya dan kebagian tempat di depan kasir.
Anak muda itu kemudian duduk di samping saya. Tampangnya familiar. Ternyata dia anak muda yang tidak jadi menginap di hostel itu.
Kami mengobrol. Dia berbagi cerita soal startup yang didirikannya. Keren, deh!
Pertemuan kami hanya segitu saja. Tanpa bertukar nama, tanpa bertukar telepon atau email atau akun Instagram.
Bertukar cerita, itu sudah cukup buat saya.
Dan kalaupun ada kejadian yang menyusul setelahnya, biarlah itu terjadi.
Tanpa rekayasa.
Ya, sepertinya saya semakin memahami ilmu hidup tanpa rekayasa ini (kalau bisa disebut dengan ilmu, ya). Meskipun, kalau saya berpikir “saya semakin memahami” saya langsung menegur diri sendiri bahwa “ingat selalu, masih banyak yang belum kamu pahami”.
Hidup tanpa rekayasa. Mengalir saja.