Akhir tahun kemarin, saya menyempatkan pulang ke Semarang. Saya sudah lupa kapan terakhir saya melewatkan tahun baru bersama keluarga. Dahulu banget sih, sebelum mahasiswa, malam tahun baru identik dengan kebaktian bersama keluarga besar di Salatiga.
Saya sudah berpuluh tahun meninggalkan tradisi itu.
Dan kemarin, akhirnya saya berkumpul lagi bersama ibu, kakak dan keponakan di Semarang.
Malam harinya, mengikuti kebaktian keluarga besar melalui Zoom.
Ralat: saya nggak ikut kebaktian. Saya ikut acara setelahnya, yaitu acara kuis dan main game online bareng.
Sekian puluh tahun tidak bertemu dengan keluarga, menyajikan kejutan-kejutan yang bikin saya terkejut (yaiyalah, kalau nggak terkejut, bukan kejutan namanya).
Misalnya, sekarang saya sudah sah dipanggil “Yang Yut” alias “Eyang Buyut” alias satu level di atas eyang atau kakek/nenek. Soalnya tante saya sudah ada yang punya cucu, jadi si cucu ini memanggil saya “Yang Yut”, gitu.
Tentu saja perjalanan hidup masing-masing anggota keluarga juga menjadi kejutan bagi saya. Ada yang begini, ada yang begono.
Sebanding lah, dengan kejutan yang tersampaikan dari saya ke keluarga besar gara-gara saya jadi gendat gini. Duluuu banget, saya ini cungkring. Cungkring banget.
*****
Siang itu saya bercakap dengan ibu dan kakak perempuan saya. Ibu menegaskan tentang weton saya.
Setelah bertahun-tahun saya bimbang tentang weton saya, sekarang saya mendapat kejelasan.
Menurut kalender Masehi, saya lahir pada hari Jumat setelah jam tiga sore.
Karena itu, menurut kalender Jawa, saya sudah dianggap lahir pada hari Sabtu.
Karena pergantian hari menurut kalender Jawa itu adalah setelah jam tiga sore.
Well, kalau googling soal pergantian hari menurut kalender Jawa, banyak yang menulis setelah maghrib. Tapi saya lebih percaya ibu saya sih, lagipula setelah maghrib itu pergantian hari menurut kalender Islam.
Dan kalender Jawa itu beda dengan kalender Islam.
Mungkin lain waktu saya akan menulis lebih banyak tentang kalender Masehi, kalender Jawa dan kalender Islam.
Anyway, setelah itu kakak saya nyeletuk kalau selama ini ternyata dia salah weton. Jadi dia puasa weton dengan salah weton itu.
Toh doa-doanya terkabulkan.
Saya sedikit terkejut sih, karena baru tahu kalau kakak saya rajin puasa.
Dia puasa setiap weton dia, dan weton dua anaknya.
Puasa menurut agama Kristen, tidak ada panduan jelas seperti puasa dalam agama Islam.
Jadi kakak saya menerapkan sendiri aturan baginya. Puasa dia mulai setiap jam tujuh pagi dan berakhir jam tujuh malam.
Kagum sih.
Diam-diam, ternyata kakak saya sudah lelaku tanpa banyak omong.
Nggak kayak saya. Banyak niat, banyak omong, tapi sedikit yang kejadian.
Yasudahlah, bulan depan semoga saya bisa meneladani kakak saya dengan mulai puasa weton saya.
*****
Itulah sedikit cerita mengenai kejutan-kejutan yang saya dapatkan dari kunjungan singkat akhir tahun 2021 ke Semarang.
Semoga tahun 2022 ini semakin banyak kejutan yang akan saya terima, tapi kejutan yang menyenangkan saja, ya!