Topik tentang “perusahaan itu keluarga” makin santer belakangan ini di Twitter. Bermula dari “speak up” seorang mantan pekerja yang membongkar kelakuan mantan boss-nya di dunia nyata, yang bertolak belakang dari pencitraan gencar di dunia maya.
Benar tidaknya, kita tunggu saja. Saat tulisan ini ditulis, perdebatan masih cukup panas, satu pihak membongkar “aib” pihak lainnya, dan ada ancaman untuk membawa si mantan pekerja ke pengadilan dengan tuduhan (seperti biasa) menyebarkan informasi tentang perusahaan tanpa izin.
Bagi saya, lebih menarik melihat perdebatan warga Twitter tentang kultur “perusahaan itu keluarga”.
Ternyata, cukup banyak juga kaum pekerja yang sudah terbuka pikirannya, dan tidak mentah-mentah menelan jargon “perusahaan itu keluarga” yang biasanya diluncurkan oleh boss yang tidak profesional. Tidak seperti saya dulu yang masih polos dan menganggap kultur “perusahaan itu keluarga” itu sungguh keren, seperti yang saya ceritakan di tulisan sebelumnya.
Ternyata pula, cukup banyak referensi yang menyoroti perihal ini sedari lama.
David Burkus menggambarkannya dengan tepat, sebagaimana yang tercantum dalam artikel di Ted.com:
1. Batas antara dunia kerja dan kehidupan pribadi menjadi samar
Ada perusahaan yang berupaya mewujudkan jargon ini dengan berbagai rekayasa. Membuat karyawan betah di kantor selayaknya di rumah, misalnya. Menyediakan berbagai fasilitas yang membuat karyawan nyaris tidak pernah meninggalkan pekerjaan – karena ya, mau ke mana lagi, bukankah perusahaan ini adalah keluarga?
Dalam jangka panjang, tindakan yang kelihatannya mulia ini akan jadi backfire karena karyawan terikat untuk selalu bekerja, dan akhirnya menyebabkan kelelahan – yang terjadi secara gradual, dan boom! Burnout.
2. Karyawan yang berkomitmen tinggi rawan diperbudak
Come on, bukankah kita ini keluarga? Tidak salah dong, meminta seorang programmer membuatkan kopi untuk CEO – bukankah CEO itu kepala keluarga? Dan lagi-lagi, karena ini keluarga, kalian tidak boleh membantah apa kata kepala keluarga alias CEO. Kualat!
Merasa tidak asing dengan cerita di atas? Ya, itu biasa terjadi pada boss yang sering berlindung di alasan “kita ini keluarga”. Karyawan yang polos akhirnya menurut saja ketika diminta melakukan hal di luar lingkup tugasnya, atau diminta bekerja di hari libur, tanpa diberikan apresiasi balik.
3. Karyawan yang resign dianggap sebagai pengkhianat
Namanya juga kekeluargaan. Pasti berdasar perasaan, bukan berdasar objektivitas. Seorang karyawan yang memutuskan keluar dianggap sebagai pengkhianat, dan dituntut untuk memutus kontak dengan karyawan yang masih tinggal. Padahal, terjalinnya hubungan antara karyawan dengan mantan karyawan itu malah bagus, lho. Mereka bisa berbagi tips untuk meningkatkan kualitas diri sebagai karyawan, berbagi kabar berita terkini tentang dunia kerja (tidak berarti membocorkan rahasia perusahaan ya), dan memperluas jejaring.
Alih-alih menganggap perusahaan adalah keluarga, jauh lebih sehat menganggap perusahaan adalah tim.
Julukan yang berbeda ini saja sudah menggambarkan perbedaan besar. Reed Hastings dalam sebuah presentasi di tahun 2009 tegas menyatakan, “We’re a team, not a family.”
Dalam sebuah perusahaan yang menjunjung semangat kerja tim, kita tidak akan sibuk meladeni kemauan kepala keluarga yang seringnya semau gue.
Dalam sebuah perusahaan yang menjunjung semangat kerja tim, kita akan berusaha menunjukkan kompetensi kita dengan cara yang profesional, dan mencetak prestasi yang terukur – bukan berdasar subjektivitas kepala keluarga.
Versi pembaruan dari pernyataan Reed Hastings di atas bisa kita baca di laman Netflix tentang kultur perusahaan mereka.
“We model ourselves on being a professional sports team, not a family. A family is about unconditional love. A dream team is about pushing yourself to be the best possible teammate, caring intensely about your team, and knowing that you may not be on the team forever. Dream teams are about performance, not seniority or tenure. It is up to the manager to ensure that every player is amazing at their position, plays effectively with others and is given new opportunities to develop. That’s how we keep winning the championship (entertaining the world). Unlike a sports team, as Netflix grows, the number of players also grows. We work to foster players from the development leagues so they can become the stars of tomorrow.”
Kalimat ini rasanya layak digarisbawahi: “Dream teams are about performance, not seniority or tenure.”
Sebagai karyawan dengan pengalaman kerja di lebih dari 8 perusahaan, termasuk 2 perusahaan keluarga, saya merasakan betul tentang senioritas ini.
Di perusahaan keluarga (yang salah manage, pastinya), setinggi apapun kemampuan kita, tetap saja kita akan kalah dengan yang lebih senior. Setidak mampu apapun pegawai lama, tetap saja dia akan diistimewakan oleh pemilik perusahaan.
Tetap saja, harus kita akui, meniadakan nilai kekeluargaan yang positif akan membuat sebuah perusahaan jadi garing dan akan menjelma sebagai sebuah pabrik yang berisikan robot tanpa sentuhan kemanusiaan.
Apalagi di Indonesia, yang kultur kekeluargaan masih sangat kental.
Ada kenyamanan yang kita dapatkan ketika kita berada di tengah keluarga. Ada perhatian dan kasih sayang yang tercurah antar sesama anggota keluarga.
Tentu kita bisa mempertahankan perhatian, kasih sayang, dan kepedulian ini dalam kehidupan kerja kita, dengan tetap menomorsatukan profesionalitas dan tidak melalaikan performa kita.
Dan tetap menarik garis batas yang tegas antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi kita.
Garis batas yang akan mengingatkan kita bahwa, “We are a team, not a family.“