Beberapa hari yang lalu, di LinkedIn saya membaca sebuah posting tentang kultur perusahaan yang mengibaratkan perusahaan sebagai keluarga. Tak lama kemudian, ketika berselancar di Twitter, ternyata warga Twitland juga sedang membahas soal perusahaan vs family ini. Hmm, menarik juga.

Jujur, dulu saat baru mulai bekerja, sepertinya konsep “perusahaan ini adalah keluargamu” begitu merasuk di hati. Namanya juga anak baru berkarir, ya.

Kesannya, welcome banget perusahaan yang menyambut kita sebagai anggota keluarga.

Seiring perjalanan karir yang sudah 20 tahun ini, saya belajar bahwa “perusahaan ini adalah keluargamu” seringkali dimanfaatkan oleh pemilik atau petinggi perusahaan, untuk “memperbudak” karyawan.

Jargon tersebut semacam romantisasi kultur perusahaan untuk membuat karyawan merasa sebagai bagian dari sebuah keluarga. Sifatnya subjektif, karena yang namanya perasaan tidak bisa terukur, dan bisa berbeda dari satu pihak ke pihak lain.

Di Tiktok, sejak tahun kemarin ramai beredar video seorang bos yang mengatakan bahwa perusahaan tersebut (kantor tersebut), adalah keluargamu. Argumentasinya, waktu yang dihabiskan di kantor dalam sehari lebih banyak daripada waktu bertemu keluarga di rumah.

Berhubung saya melihat video tersebut dengan pengalaman kerja yang lumayan kaya, reaksi saya cuma “meh”.

Kantor macam apa yang menyita waktu berkumpul di rumah cuma satu-dua jam saja? Apa weekend nggak dihitung? Mereka kerja tujuh hari apa, ya?

Keluarga broken home itu mah, celoteh seorang warga di video yang saya maksud di atas.

Saya lebih setuju pada posting LinkedIn yang tergambar berikut ini.

perusahaan adalah keluarga
Source: LinkedIn

Iya, toh? Kalau perusahaan adalah keluarga kita, tidak semudah itu mencoret kita dari Kartu Keluarga (= memecat kita).

Kalau perusahaan adalah keluarga kita, mbokyao itu CEO yang bergaji ratusan juta, cutting salary dulu sebelum memecat karyawan yang gaji satu digit dan jadi tumpuan keluarganya.

*****

Saya jadi teringat percakapan dengan seorang founder. Kami berbincang tentang staf yang baru bergabung.

“Saya bilang ke dia, saya yang bawa dia ke Bali. Saya bertanggung jawab atas hidupnya di sini, jadi saya tidak mau dia mengecewakan saya.”

Begitu tipis batas antara perasaan dan profesionalitas.

Bagi saya, itu berlebihan. Kerja ya kerja, hidup orang ya hidup orang. Jangan membuat orang seakan berhutang karena kita memberi kesempatan padanya untuk bergabung dengan perusahaan. Perkara nanti dia mengecewakan kita atau tidak, itu tergantung pada pencapaian yang terukur, bukan karena “utang” dikasih pekerjaan.

Bisa ditebak, tipikal bos (saya tetap tidak menganggap dia sebagai leader) seperti itu. Akhir pekan bisa menyuruh anak buah untuk kerja tanpa dihitung sebagai lembur. Meminta karyawan menemani ke sana-sini dengan alasan kerjaan, padahal cuma buat peneman.

Dan bos seperti itu yang biasanya senang menyuarakan jargon, “We are family.” Karena, ya, dengan menganggap karyawan sebagai anak, lebih mudah memperbudak dan mengabaikan hak-hak yang seharusnya mereka terima.

*****

Don’t get me wrong.

Saya tidak menentang prinsip kekeluargaan dalam sebuah perusahaan. Tapi tetap harus ditarik tegas, garis batas antara keluarga dan perusahaan.

Kemarin, Google mengumumkan PHK terhadap 10.000 karyawan.

Sebuah posting dari pegawai yang terkena PHK menyiratkan kekecewaan dia. Bagaimana tidak, dia sudah bekerja selama 5 tahun, dan tetap terkena PHK. Begini tulisnya, “Lesson learned: A Company is not your Home and you are never a part of a family. Stop Glorifying about companies work culture. Work for money n move on.”

Saya sendiri senang jika tim memiliki kedekatan seperti keluarga. Saya juga memperhatikan tim saya sama seperti saya memperhatikan keluarga.

Namun, kedekatan seperti itu akan muncul dengan sendirinya. Tanpa perlu direkayasa, tanpa perlu jargon atau slogan. Kultur perusahaan itu bisa diupayakan untuk terbentuk, tapi tidak bisa dipaksakan. Kalau nggak, jadinya toxic.

Sekarang, pandangan saya tentang perusahaan lebih realistis.

Perusahaan adalah tempat saya mencari uang. Di sisi lain, perusahaan juga adalah tempat si pemilik perusahaan mendapatkan untung. (Ya, tentu ada faktor idealis seperti passion dll, tapi tidak perlu diromantisasi. Namanya juga perusahaan, bukan lembaga amal. Pasti ujung-ujungnya duit, ‘kan?)

Jadilah profesional. Sebisa mungkin jangan libatkan perasaan untuk urusan pekerjaan.

Jelas, ya? Dan ini ada satu artikel pendukung yang layak untuk disimak, bahwa perusahaan itu bukan keluarga kita.