Balepoint

Toxic corporate culture

9 Tanda Perusahaan dengan Toxic Work Culture

Kalau dulu saya sempat berceloteh tentang toxic positivity, kali ini saya ingin ngomyang tentang toxic work culture. Bagi kaum pekerja, pasti sering mendengar istilah ini. Sering ‘kan, teman kita mengeluh tidak betah di tempat kerja karena toxic gitu deh.

Dari istilahnya saja sudah jelas, budaya kerja yang beracun. Jelas, siapa yang akan betah bekerja di tempat yang beracun alias tidak sehat?

Jadi, sebelum terjebak di sebuah perusahaan yang toxic, mending kita ketahui ciri-ciri toxic company. Agar tidak terbujuk rayu untuk bergabung dengan mereka. Karena kalau sudah telanjur bergabung, repot keluarnya, cuy.

1. Karyawan yang ogah-ogahan kerja

Kalau kita mengunjungi suatu kantor, sekilas kita bisa merasakan apakah para karyawan di tempat tersebut menikmati pekerjaannya atau tidak. Perusahaan yang sehat terlihat dari antusiasme yang ditunjukkan oleh para karyawannya. Sebaliknya, perusahaan yang tidak sehat akan menghasilkan karyawan yang ogah-ogahan dalam bekerja. Datang ke kantor hanya untuk bekerja, tanpa termotivasi lebih.

2. Turnover karyawan yang tinggi

Selanjutnya bisa ditebak. Kalau kerja saja sudah ogah-ogahan, ujungnya seringkali resign. Akibatnya turnover karyawan tinggi. Jadi, kalau Anda melamar ke satu perusahaan, coba cari tahu dulu turnover di tempat tersebut. Lebih bagus lagi kalau Anda cari tahu mengapa karyawan sebelum Anda, resign, dan berapa lama rata-rata mereka bekerja di sana. Kalau dalam setahun, untuk posisi yang ditawarkan pada Anda, mereka sudah ganti karyawan lebih dari 3 x, itu sudah red flag banget!

3. Karyawan terkotak-kotak dan budaya gosip subur

Ini sering terjadi. Sesama staf membentuk circle mereka sendiri, mengeksklusifkan diri, dan biasanya juga disertai dengan suburnya budaya gosip. Karena ketidakpuasan mereka akan tempat kerja tidak ditampung dan ditindaklanjuti oleh manajemen, akhirnya mereka melampiaskannya dengan bergosip.

4. Intrik dan politik yang kental

Politik kantor itu pasti ada. Tidak bisa dihindari. Namun jika karyawan harus ikut bermain politik untuk menyelamatkan pekerjaannya, itu salah satu pertanya perusahaan tersebut beracun! Saya pernah mengalami hal ini. Saat itu saya dipercayai menjadi pimpinan anak perusahaan yang baru, ala ala startup gitu. Setelah produk launching, ternyata manajemen lama merasa tidak puas dan kasak-kusuk di belakang saya. Mereka bahkan membentuk kelompok kerja dan meeting tanpa saya. Tentu saja tim saya bingung, instruksi siapa yang harus diikuti. Saya mah tenang saja, politik macam gitu sudah basi buat saya. Setelah beberapa bulan, pada momen yang tepat akhirnya saya keluar dari perusahaan itu. Karena saya pikir, ngapain saya bertahan kalau jelas-jelas dikelilingi orang-orang munafik dan toxic.

5. Middle management tidak berfungsi

Manajer level menengah tidak memegang kendali karena semua putusan ada di tangan big boss. Sering ‘kan, karyawan merasa tidak puas dan melapor pada departemen HR. Alih-alih memberikan solusi atau menjembatani antara karyawan dan manajemen, HR cuma diam saja karena mereka tidak diberi kuasa untuk mengambil putusan. Perusahaan bertindak melenceng dan melanggar aturan ketenagakerjaan pun, HR tidak bisa ngapa-ngapain. Sedih, ya?

6. Komunikasi tidak berjalan baik

Padahal komunikasi adalah kunci agar semua lini perusahaan bisa berjalan bebarengan. Saya pernah menemui seorang staf yang memiliki satu ide. Saya merasa ide dia bagus dan bisa dieksekusi. Namun, ketika saya minta dia untuk minta persetujuan dari CEO, dia malah bilang, “Nggak jadi deh, Bu. Malas.” Saat itu juga saya merasa sedih karena ide yang baik terpaksa masuk tempat sampah hanya karena yang bersangkutan malas berkomunikasi dengan pimpinannya. Tentunya, kemalasan dia ada penyebabnya, ya.

7. Work-life balance adalah mitos

Di perusahaan yang toxic, work-life balance adalah mitos. Kerja saat weekend sudah biasa. Kerja lembur tanpa dibayar, jangan ditanya. Menolak mengikuti acara pada saat akhir pekan, karena acara kantor itu dadakan sementara kita sudah berencana bersama keluarga sejak bulan lalu? Siap-siap SP (Surat Peringatan) melayang.

8. Karyawan takut pada atasan

Ini budaya feodalisme yang terbawa ke dunia kerja. Karena status karyawan lebih rendah daripada manajer, maka karyawan wajib takut pada atasan. Salah! Status atau jabatan itu hanyalah jabatan. Di perusahaan yang sehat dan demokratis, semua karyawan punya hak yang sama. Jadi, tidak perlu takut pada atasan. Hormat, itu pasti. Tapi hormat itu tidak bisa dipaksakan. Atasan pun, wajib hormat pada karyawan.

9. Perusahaan melanggar peraturan

Ada satu perusahaan yang benar-benar toxic. Pajak dilaporkan tidak semestinya. Hak karyawan seperti BPJS diabaikan. THR tidak dicairkan dengan alasan pandemi, padahal THR semestinya sudah disiapkan dari tahun sebelumnya, jadi ada pandemi atau tidak, anggarannya sudah pasti ada. Perusahaan tidak segan melanggar peraturan pemerintah, dan jika tertangkap basah, penyelesaiannya adalah dengan penyelesaian di bawah meja. Kalau kerja di perusahaan seperti ini, kira-kira hati karyawannya bakal tenang nggak ya?

Demikianlah sembilan ciri-ciri sebuah perusahaan yang memiliki toxic work culture. Kalau ditawari bergabung dengan perusahaan seperti ini, sebisa mungkin jangan tergiur semanis apapun tawaran mereka. Kalau sudah kadung bergabung, selamat, mental Anda akan sangat teruji. Hanya satu pesan saya: hati-hati dengan kesehatan mental Anda jika bekerja di perusahaan yang toxic.

Share:

Facebook
Twitter
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Tulisan Terbaru

Indonesia darurat judi online

Indonesia Darurat Judi Online!

Mengikuti perkembangan zaman, sekarang perjudian muncul muncul dalam bentuk online. Popular istilah “judol” alias “judi online”, dan banyak pihak yang resah melihat fenomena ini tegas berkata: Indonesia darurat judi online!

Teknik debat yang baik

8 Tips Teknik Debat yang Baik

Kemampuan untuk berdebat dengan baik adalah keterampilan yang sangat berharga. Dengan menggunakan teknik debat yang baik, kita dapat mempengaruhi orang lain, mempertahankan argumen, dan bahkan memenangkan debat.