Saya berasal dari keluarga sederhana. Bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga dari gaya hidup. Sedari kecil, orang tua mengajarkan kami untuk tidak berlebihan baik dalam hal kepemilikan barang-barang, maupun dalam hal berkeinginan.
Kesederhanaan itu terbawa sampai saya dewasa. Tidak peduli orang lain punya apa atau mencapai apa, saya tidak terbawa untuk menjadi iri atau menjadi berambisi. Saudara-saudara dari lingkungan keluarga besar terbiasa memamerkan mobil baru, atau rumah baru, atau bercerita sudah bepergian ke manca negara. Itu semua saya tanggapi dengan senyum saja, tapi tidak lantas memicu keinginan untuk ‘bersaing’ dan menjadi ‘sama’ seperti mereka. Saya tidak ingin jadi kaya, saya tidak menginginkan pengalaman hebat untuk diceritakan. Bahkan kakak kandung saya yang sempat dua tahun tinggal di Inggris karena mendapat beasiswa, tidak membuat saya ‘ngiler’ untuk berusaha bagaimana pun caranya bisa mengunjungi dia, atau paling tidak termotivasi untuk mendapatkan beasiswa sekeren dia.
Jadi, sampai usia 39 tahun, hidup saya begitu-begitu saja. Saat teman-teman bercerita tentang pengalaman mereka bepergian ke berbagai negara, saya cuma cengok dan tidak bisa ikut berbagi karena, ya jangankan pengalaman, paspor saja saya tidak punya.
Sampai tahun 2011, teman-teman dekat saya berencana untuk berlibur bareng. “Pastinya seru kalau kita traveling berempat,” demikian kata mereka. “Ke Singapura aja! Airasia sedang ada promo tuh!”
Ketika saya bilang saya belum punya paspor, mereka terperangah. Tapi memang mereka teman yang baik ya, mereka tidak ambil pusing. “Kita bisa booking tiket dulu. Untuk booking tidak perlu paspor. Yang penting kamu segera bikin paspor dan jadi sebelum berangkat.” Tiket pun dipesan untuk kami berempat mumpung promo belum habis. Tanggal 3 Juni 2011, kami berempat terbang ke Singapura memakai AirAsia.
Ketiga teman saya sudah berpengalaman ‘menjajah’ berbagai negara. Mereka bahkan pernah tinggal berbulan-bulan di Singapura saat training masa kuliah. Sedangkan saya? Paspor saja masih bersih dan licin karena baru jadi dua hari sebelum kami berangkat. Bukan karena susah mengurusnya, tapi karena memang saya malas. Ternyata kemalasan saya itu tak beralasan, mengurus paspor sekarang sangat mudah dan tak perlu calo.
Lima hari kami habiskan di Singapura. Semalam menginap di hotel bintang lima, gratis memanfaatkan fasilitas hotel tempat teman saya bekerja. Empat malam lainnya kami menumpang tinggal di apartemen teman di daerah Alexandra. Kami hanya mengeluarkan uang untuk tiket MRT, makan sehari-hari dan pastinya belanja karena saat itu bertepatan dengan Singapore Great Sale.
Apa yang saya dapatkan dari perjalanan ke luar negeri pertama saya? Selain persahabatan kami berempat tambah erat, mata saya juga semakin terbuka dengan melihat keseharian bangsa lain yang lain tempat lain adatnya. Perjalanan pertama saya itu juga membuat saya ingin mencicipi destinasi lain. Saya mulai membiasakan diri menabung untuk berlibur, tidak melulu ke luar negeri tapi juga ke destinasi dalam negeri. Tidak harus bersama teman, sendirian pun tak mengapa.
Belajar dari teman saya selama kami di Singapura itu, saya jadi lebih rajin mencatat setiap pengeluaran selama saya bepergian. Pengeluaran sekecil apapun saya catat setiap malam sebelum tidur. Saya jadi lebih teratur soal keuangan dan bisa memprediksi anggaran perjalanan saya.
Pada akhirnya, saya menjadikan kalimat ini sebagai motto hidup saya: “collect the experience, not things”. Kumpulkan pengalaman, jangan harta benda. Karena pengalaman itu abadi, sementara harta benda bisa menyusut, hilang, basi, busuk. Sampai sekarang saya tidak punya harta benda untuk dibanggakan. Masih tinggal di kost, mobil mengandalkan fasilitas kantor, smartphone pun cuma satu dan bukan seri yang paling baru. Tapi saya punya banyak cerita tentang tempat dan negara yang pernah saya kunjungi. Saya bisa bercerita bagaimana dinginnya Ha Long Bay di bulan Februari sementara seminggu sebelumnya saya tersengat panas di kompleks Angkor Wat. Saya bisa berbagi tips berlibur di Bangkok lima hari empat malam dengan hanya menghabiskan uang kurang lebih 1,5 juta rupiah untuk akomodasi, transportasi, makan dan tiket obyek wisata – itu terbilang sangat irit bagi saya. Dan meskipun pengalaman saya cuma seujung jari pejalan terkemuka seperti Trinity, tetap saya bersyukur dan berbangga, karena tidak semua orang bisa punya pengalaman seperti saya.
Semua itu bermula di tahun 2011 ketika teman-teman sigap menyambar promo AirAsia demi kebersamaan, sedangkan saya saat itu paspor pun tidak punya.
*****
Saat saya bekerja di Jakarta, saat Lebaran tahun 2012, perusahaan saya membagikan tiket pesawat gratis Jakarta-Bali-Jakarta. Tiket saja, sedangkan penginapan dan acara di Bali terserah masing-masing. Seorang staf menolak berangkat dengan alasan uang dia hanya tinggal 500 ribu. Saya memaksanya berangkat. “Saya ajari kamu cara menikmati Bali selama tiga hari dua malam, dengan uang limaratus ribu.”
Dia terbelalak. “Duit segitu cukup, Bu?” Akhirnya dia sepakat untuk berangkat. Tips yang saya berikan memang manjur. Dia menginap di Poppies, sekamar bertiga. Dua hari dia menyewa motor untuk mengunjungi Tanah Lot, GWK, Uluwatu. Makan cukup di warung muslim atau makan nasi jinggo. Nongkrong di Pantai Kuta terhitung gratis, bermodal sebotol bir. Dan setelah dia pulang dari Bali, dia mengaku pada saya, “Saya jadi ingin traveling lagi.”
Saya tersenyum. Sebagaimana perjalanan ke Singapura memberi banyak pelajaran buat saya, bagi staf saya itu, pengalaman pertamanya ke Bali pasti punya arti khusus bagi hidupnya. Sekali lagi saya mengamini, “kumpulkan pengalaman, jangan harta benda.”