Belakangan ini saya sering memasang status BBM yang berkisar seputar rasa kangen saya padanya.
Dan 99,99% teman-teman menganggap saya sedang galau. (Doh. ABG banget sih rasanya kalau dianggap galau.)
Saya malah jadi berpikir. Apa iya kangen itu sama dengan galau? Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi kangen itu sederhana: sangat ingin akan bertemu. Sederhana ‘kan?
Dan bagi saya, galau itu kalau satu perasaan timbul tenggelam, misalnya sekarang kangen lantas sepuluh menit lagi benci. Galau itu juga berarti satu kondisi yang tercipta karena terseret jauh oleh perasaan sehingga nggak tahu lagi musti ngapain atau sedang berasa apa.
Jadi kalau kangen saja mah, belum bisa dibilang galau yak? Itu sih menurut saya.
Lantas saya jadi teringat seorang teman sekian belas tahun silam. Saat itu saya mengobral kata kangen. Nggak bertemu teman sebulan saja, saya sudah kangen. Tanggapan dia datar saja: “Gue nggak pernah ngerasain kangen. Kangen itu seperti apa sih?”
Serius.
Teman saya serius. Dan saya waktu itu terbahak sambil geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa orang nggak pernah kangen pada sesuatu, seseorang, pada whatever lah.
Mungkin karena teman saya itu logis banget sampai nggak pakai hati kalau mikir. Beda dengan saya yang mikirnya lebih pakai hati dibimbing oleh otak. Bagi teman saya, nggak ketemu ya sudah, toh nanti akan ada saatnya bertemu. Kangen itu toh nggak akan mengubah apa-apa, kecuali bikin hati jadi galau.
Nah loh, balik lagi ke galau.
Ya, kangen bisa menyebabkan galau. Tapi bukan berarti kangen itu sama dengan galau, ‘kan.
Seperti sekarang. Saya sedang kangen pada seseorang. Kalau saya mau turuti, saya bisa jadi galau, karena pun bilang ke ybs bahwa saya sedang kangen padanya, saya nggak bisa. Kalau ditarik lebih panjang lagi, ujung-ujungnya saya bisa meratapi nasib kenapa saya musti terlambat bertemu dengannya, kenapa dia sudah ada yang punya, kenapa dia nggak tertarik sama saya, kenapa saya selalu sendiri, kenapa cinta ini selalu salah sasaran, kenapa….
Jadinya galau bener.
Kalau saya turuti.
Tapi ‘kan saya nggak turuti. Saya berhenti pada titik kangen itu. Setelah itu ya sudah, apa mau dikata, kalau saya nggak bisa bersamanya, kalau saya nggak berhak mendapat cintanya, ya sudah, nikmati saja kangen ini, toh sebentar juga akan terlindas kesibukan sehari-hari.
(Buat kamu, iya, saya kangen kamu. Tapi saya nggak mau bilang saya kangen kamu. Saya nggak mau bikin kamu jengah. Saya menikmatimu dari kejauhan saja. Meskipun pathetic kedengarannya.)