Beberapa hari ini tiba-tiba perhatian saya tertumbuk pada Anthony de Mello. Nama ini akrab dengan saya pada masa-masa mahasiswa, saat saya masih muda dan semangat melahap berbagai bacaan, termasuk “Burung Berkicau” dan buku-buku lainnya karya Anthony De Mello.
Cerita-cerita Anthony de Mello memperkaya hidup saya. Dalam berbagai kesempatan tak terduga, cerita-cerita itu muncul ketika saya mengalami situasi yang relevan.
Pagi ini, saya membaca tulisan de Mello tentang “The Most Important Minutes In Your Lives”. Tentang kesadaran. Pencerahan. Kebahagiaan. Label.
Iya, label yang tanpa sadar sering kita terima, dan tanpa terasa menghambat kita untuk merasakan kebahagiaan yang sebenarnya telah ada bersama kita.
Jabatan pekerjaan, tingkat kemakmuran, atribut kekayaan, kehidupan cinta, dan teruskanlah neverending list tentang label yang kita sandang dalam hidup kita, yang mau tak mau kita terima dari orang-orang di sekitar kita.
Saya teringat percakapan dengan seorang teman, percakapan yang tak terlupakan.
Saat itu saya berhenti dari perusahaan tempat saya bekerja, yang meski tidak terkenal di publik namun kami adalah nomor satu di bidangnya.
Teman saya bilang, “Mulai sekarang kamu akan tahu siapa yang benar-benar teman kamu, atau yang mendekatimu karena alasan bisnis semata, karena kamu punya posisi penting di perusahaan kamu.”
Benar. Teman-teman saya mulai menyusut.
Namun saya syukuri, lebih banyak yang tinggal daripada pergi. Merekalah yang saya sebut sebagai teman sejati.
Apakah kebahagiaan saya berkurang? Tidak. Saya hanya tersenyum melihat mereka yang menjauh dan bersyukur atas mereka yang tetap ada.
Tahun 2011 saya bergabung dengan sebuah start-up. Gaji saya lumayan banget untuk hidup seorang lajang. Saya bisa berlibur ke Thailand, Kamboja, Vietnam, plus beberapa perjalanan domestik. Apakah saya bahagia? Yes, those were the days, my friend.
Tapi sekarang, saya kembali ke kehidupan standar yang nggak menjanjikan kemewahan.
Saya kembali ke Bali, ke perusahaan yang pertama membesarkan saya. Saya bukan lagi seorang big boss. Saya hanya manajer biasa. Apakah saya bahagia? Ya, kecuali saat memikirkan cicilan kartu kredit yang masih harus saya lunasi.
Saya sudah kenyang dengan label-label yang diperuntukkan orang pada saya. Pada kebanyakan waktu saya nggak peduli, tapi karena saya manusia biasa yang belum tercerahkan, terkadang saya sakit hati.
Semestinya nggak perlu membuang energi untuk sakit hati, hanya gara-gara seorang teman kerja menjuluki saya sebagai “kodok” yang doyan loncat sana loncat sini. (Saya sih menganggap dia iri hati saja, soalnya dia mau loncat ke perusahaan lain, selalu saja gagal.)
Semestinya nggak perlu pusing memikirkan standar hidup saya yang jauh beda dengan tahun kemarin. Kalau burung-burung liar itu saja dipelihara olehNya, mengapa saya musti kuatir?
Saya musti belajar lagi membuang segala label, segala sebutan, segala apa yang dipikirkan orang lain tentang saya. Karena saya adalah saya. Tidak ada cara yang lebih baik untuk menjelaskannya. Dan memang tidak perlu dijelaskan.
Saya adalah saya.
2 Responses
Kodok juga ciptaan tuhan koq, orang yg kasi label kodok juga adalah kodok, tapi sayang dia ga bisa lompat jadi ya iri lihat kodok yang bisa lompat… Hehehehe…. Happy weekend kk…
Hahaha happy weekend you too kaka Daus 🙂