Pada suatu hari saya tertumbuk pada satu image yang lalu lalang di Path, Twitter, Facebook. Kemungkinan besar Anda pun pernah melihatnya, sebuah image tentang “attitude”. Jadi diandaikan A = 1, B = 2, C = 3 dst, apa yang akan menghasilkan angka sempurna 100? Bukanlah “money”. Bukan “leadership”. Bukan pula “knowledge”. (Kalau nggak percaya, hitung sendiri.)
Jawabnya adalah: “attitude”. Perfect 100 nilainya!
Dan saya share image tersebut di wall saya dengan imbuhan: “Namun hati-hati agar tidak tergelincir menjadi ARSE-LICKER (101 points).”
*****
Pada suatu masa, seorang teman kerja bilang saya nggak punya attitude. Oya, tentu saja dia nggak berani bilang di muka saya. Seorang teman lain yang menceritakannya pada saya, ketika saat itu saya sedang cuti dan perusahaan sedang dalam saat-saat genting. CEO memanggil beberapa department head dan bahasan tiba pada saya, karena CEO ingin mempertahankan saya dan dia melihat ada tanda-tanda saya mau hengkang dari perusahaan itu.
Dan (yang ngaku) teman saya itu bilang: “Dia nggak punya attitude.”
There.
Cerita lalu yang sudah lewat sekian tahun namun selalu melintas setiap saya mendengar kata “attitude”.
“Attitude” itu apa sih?
Kalau kata Wikipedia, “An attitude is an expression of favor or disfavor toward a person, place, thing, or event (the attitude object).”
Mungkin kalau dalam bahasa Indonesia bisa disebut: sikap, perilaku seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Ada good attitude, ada bad attitude. (Jadi yang-ngaku-teman-saya-itu sepertinya nggak paham attitude itu apa. Mustinya dia jangan bilang saya nggak punya attitude, tapi bilanglah “she has a bad attitude”. Gitu.)
Banyak yang menyamaratakan “attitude” dengan kesopanan. Mentang-mentang saya bicara keras, tanpa tedeng aling-aling, nggak kenal basa-basi, lalu saya dicap nggak punya “attitude” alias berkelakuan buruk. Bagi kebanyakan orang, “attitude” itu berarti kita nggak boleh menyakiti perasaan orang lain, kebenaran itu nggak harus dikemukakan, yang penting tersenyum meski hati mencela, yang penting setuju sama pimpinan meskipun sehari-harinya nggak ada perintah pimpinan itu dilaksanakan.
Lalu saya teringat Ahok. Sempat wara-wiri juga image Ahok tentang “santun”. Menurut dia, kalau ngomong sopan itu nggak berarti santun, kalau korupsi ya itu nggak santun. Kurang lebihnya begitu.
*****
Saya akui di masa lalu saya begitu berangasan. Jarang kompromi. Apa yang menurut saya nggak benar, saya lawan. Selama saya di jalur yang benar, saya nggak peduli. Macam Ahok-lah.
Sekarang saya lebih banyak tersenyum ketika melihat hal-hal yang bertentangan di depan mata. Selama saya tidak ditanya, saya tidak merasa perlu untuk berpendapat. Untuk apa? Prinsip saya sekarang, hemat energi. Asalkan jangan sampai keterlaluan. Saya, sebagaimana semua manusia, punya batas kesabaran.
Dan teman-teman lama saya yang bilang saya nggak punya attitude itu? Ohya, karir mereka cemerlang. Yang seorang kembali ke perusahaan lamanya dengan gaji 30 juta per bulan (basic), padahal saat dia keluar dari perusahaan itu dan bergabung dengan perusahaan tempat kami bekerja, dia hanya digaji 12 juta (beberapa dari kami curiga dia memang sengaja ditempatkan di perusahaan kami sebagai parasit). Yang seorang juga sudah beli rumah hasil pesangon PHK, dan saya cuma bisa menaruh iba karena sangatlah tepat perkataan Paulo Coelho ini ditempelkan ke jidatnya: “Some of my friends are very poor; all the only thing that they have is money.”
Dan saya? Saya masih di sini, begini-begini saja, nggak berkelimpahan harta, namun saya bahagia. Saya bangga saya nggak pernah menjual diri saya demi uang, menikam teman demi jabatan, korupsi kecil-kecilan seperti memakai gift voucher dari para supplier untuk saudara saya. Nggak, saya nggak sehina mereka.
Baiklah, harus saya sudahi tulisan ini, sebelum nanti saya keceplosan banyak hal yang membuat saya nanti dicap “nggak punya attitude”. (Hahaha, segitu traumanya saya.)
2 Responses
Carane follow blogmu iki piye yo? Ora nemu tombol’e
huehehehe memang belom aku pasang tools buat follow-followan. ntar deh aku cari cara 😀