Hari-hari ini saya melankolis sekali, dan setiap saya merasa biru seperti itu, saya selalu teringat pada Soe Hok Gie. Setiap membaca “Catatan Seorang Demonstran”, saya selalu larut dalam kacamatanya yang memandang dunia dengan murung, dan mesra. Bukan berarti pathetic, atau negatif, tapi… pandangan yang seakan menerobos permukaan hingar bingar dunia dan menemukan inti kesunyian di dalamnya.
(Dan iya, saya lebih tertarik pada pandangan SHG tentang cinta, ketimbang aktifitas politiknya.)
Setiap saya melalap jalanan Bali di tengah malam, sendirian, kelengangan selalu membuat saya ingin merangkul semesta dan malam dengan mesra. Kesunyian bukanlah sesuatu yang harus ditepis atau dipunahkan dengan keriaan. Hadapi saja, jalani saja, nikmati saja.
Setiap saya bercakap dengannya via messenger, setiap itu pula saya terbentur pada satu kenyataan: dia bukanlah untuk saya. Lalu untuk apa saya teruskan? Nggak tahu. Mungkin untuk memuaskan nafsu egois saya, sampai saya bosan, meski saya nggak bisa membayangkan kapan saya akan bosan dengannya.
Kemarin seorang teman bertanya: “Sudah berapa lama dia pacaran dengan sahabat karibnya itu?” Dan meski saya seperti tertancap sembilu, saya tetap bisa tersenyum dan sedikit terbahak sambil balik bertanya: “Mengapa tidak kautanyakan langsung saja padanya?” Kemudian saya merasa pedih. Saya nggak tahu apakah mereka beneran pacaran, dan saya nggak peduli, perasaan saya padanya nggak ada hubungannya dengan apakah mereka pacaran atau tidak. Cuma, memang, seandainya waktu itu si sahabat karib berterus terang pada saya, ketika saya tanya apakah dia punya pacar atau enggak, mungkin saya nggak akan sedalam ini merasa suka padanya. Mungkin saya akan memutuskan berhenti di titik itu dan membiarkan mereka dengan hubungannya dan saya nggak akan terjerat dalam pusaran perasaan seperti sekarang ini.
Dan itu yang membuat saya jauh dengan si sahabat karib. Seorang sahabat mustinya menjaga sahabatnya agar tidak masuk jurang. Saat dia punya kesempatan untuk itu, dia malah menjebloskan saya ke jurang.
Saya sadar nggak fair menyalahkan si sahabat itu. Saya bertanggung jawab atas perasaan saya. Saya tahu. Tapi seandainya saja waktu itu….
Ah, sudahlah.
Dan saya kembali merasa seperti SHG yang ingin bercakap-cakap secara intim dengan para sahabat wanitanya. “Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian,” kata SHG di lembar terakhir buku hariannya. Saya juga.
Banyak orang enggan membicarakan kematian. Saya enggak. Sedari remaja saya sudah akrab dengan kata itu. Saya gemar mengulik ada apa di balik kematian. Hidup itu cuma menunggu mati, kata seorang teman. Mari kita membuat penungguan ini terasa menyenangkan, baik bagi kita sendiri maupun bagi teman-teman sepenantian.
“Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya,
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.
Mari sini sayangku,
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tengoklah ke langit luas atau awan yang mendung,
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak ‘kan pernah kehilangan apa-apa.”
Itu penggalan sajak SHG yang ditulisnya pada tanggal 11 November 1969.
Begitu murung, begitu mesra.
Nggak, saya belum mau mati sekarang – kalau boleh meminta. Saya nggak bisa membayangkan Ibu berduka atas kematian saya.
Saya teringat percakapan dengan seorang teman belasan tahun silam. Bukankah pedih, ditinggalkan orang yang kita cintai? Dan sebaliknya, pedih pula membayangkan orang-orang menangis karena kita meninggalkan mereka selama-lamanya. Lalu untuk apa ada cinta apabila berujung pada pedih. Saya nggak mau membuat mereka sedih.
Kata teman saya, kebahagiaan yang ditimbulkan selama kita bersama orang yang kita cintai, melebihi kedukaan yang ditimbulkan ketika kita pergi.
Dan ketika saya menulis posting ini, Jason Mraz menyenandungkan lagu kesukaan saya “I Won’t Give Up”.
Saya nggak tahu apa yang akan saya lakukan padanya. Jalani saja. Dengan segala kegalauan dan kepedihan, tapi itu murni, perasaan ini murni.
Mau berbagi hal-hal acak tentang cinta, kematian, kepedihan?
Tinggalkan komentar di sini ya.