Suatu malam, saya dan dua orang teman mampir di sebuah minimart. Saat itu hujan deras. Mobil kami berhenti di parkiran, dan di sana ada sebuah motor penjual nasi jinggo. Si penjual sibuk membereskan payung yang nggak beres entah kenapa, dan spontan teman saya,” Aduh kasihan, basah semua dah….” Saya menimpali dengan komentar senada, mengasihani si penjual nasi jinggo yang basah gara-gara payungnya rusak.
Dan teman yang seorang lagi menyambar, “That’s why I’d rather be blind….”
Iya, menurut teman saya itu, mending tutup mata aja daripada ikutan bersusah hati, toh kita nggak bisa memperbaiki keadaan. Kecuali kalau saat itu saya bersedia turun dari mobil, menghibahkan sebuah payung untuk si penjual nasi jinggo itu. Namun apabila cuma turut bersusah hati, ah, ngapain, mending tutup mata aja deh nggak usah menyerap kesedihan dan kepedihan di sekitar.
*****
Saya nggak menyalahkan teman saya yang memilih untuk ‘buta’. Masing-masing kita punya prinsip hidup, bukan?
Tapi saya nggak bisa menjadi seperti teman saya.
Tapi lagi, saya juga bukan manusia mulia macam Ibu Theresa, yang kuat menampung duka lara umat manusia bimbingannya, dan menjadi juru selamat bagi mereka yang membutuhkannya.
Yang ada saya hanya memendam perasaan ngilu setiap melihat pemandangan yang pedih itu.
*****
Tapi apakah sah kepedihan saya itu? Mungkin saya merasa pedih karena apa yang saya lihat berada di bawah standar saya. Melihat orang-orang yang tinggal di kampung kumuh, misalnya. Mereka masih bisa tertawa-tawa tuh. Anak-anak mereka masih selayaknya seperti anak-anak di belahan dunia lain, bermain dan tertawa, meskipun dalam standar yang sangat sederhana. Para bapak dan ibu, juga masih bisa tertawa setiap kongkow di ujung gang, meskipun ya siapa tahu mereka menertawakan kepedihan mereka sendiri?
Saya bukan mereka, bagaimana saya bisa menentukan mereka pastilah susah hati, susah pikiran, tidak bahagia, dan butuh bantuan untuk ‘mengentaskan’ mereka atau untuk melenyapkan kesusahan mereka?
(Ya pastinya banyaklah dari mereka yang benar-benar bersusah hati, namun sekali lagi, bagaimana bisa saya dengan selintas pandang sudah langsung membuat penghakiman tentang situasi dan kondisi mereka, tanpa saya tahu cerita keseluruhan dan latar belakang?)
*****
Kemarin saya berkeliling daerah Legian untuk cari kost. Saya melewati perkampungan, perumahan, sampai kompleks villa atau hotel di lokasi yang tak terduga. Saya melewati satu tempat pembuangan sampah, dan saya lihat tiga anak – saya taksir seusia SD – sedang bercakap-cakap sambil menunjuk-nunjuk tempat pembuangan sampah itu. Seorang di antara mereka menjinjing barang-barang entah apa, yang saya kenali hanya satu gelas besar seperti gelas bir yang kotor sangat – apakah dia memungutnya dari tempat pembuangan sampah itu?
Mereka tidak tampak susah. Mereka tetap terlihat bercakap dengan antusiasme kanak-kanak. Di tempat pembuangan sampah.
*****
Begitu banyak kisah sedih yang saya bawa dari masa lalu. Kisah sedih yang bukan tentang saya, namun tentang orang-orang yang tak saya kenal. Yang mampir ke telinga saya, yang melintas sekelebat di mata saya.
Sampai sekarang saya nggak lupa cerita dari kakak saya yang wartawan itu. Ketika itu dia mengunjungi kantor pos, dan seorang ibu tua mendekatinya. Bertanya di mana dia bisa menukarkan selembar uang kertas yang nyaris hancur. Tertinggal di kantong saku dan ikut tercuci, katanya. Seratus ribu, nilainya. Dan ibu itu memperlakukan kertas yang nyaris hancur itu seperti layaknya satu-satunya uang yang dimilikinya. Ya, mungkin juga memang itu yang dimilikinya saat itu.
Saya juga nggak lupa cerita dari ibu saya yang saat itu mengantri pensiun. Dia bertemu sesama pensiunan, seorang ibu tua, yang mengantri uang pensiun yang setelah dipotong pinjaman sana-sini bakal diterimanya sebesar duapuluh lima ribu rupiah. Duapuluh lima ribu rupiah!
Masih banyak kisah lainnya, yang sebenarnya sih nggak istimewa banget, apalagi jaman online begini, bisa deh ditemukan di banyak media.
Saya nggak ingin membutakan mata saya. Namun sekarang saya mohon agar saya dikuasakan melihat keindahan di semua hal yang melintas, seburuk dan sesedih apapun itu. Dan keindahan itu, menurut saya, bernama harapan. Harapan milik mereka yang sedang bersusah hati, dan juga harapan bagi saya bahwa hal-hal yang menyedihkan itu akan semakin sirna, dan menjadi indah pada waktunya.
2 Responses
I can’t get through at the moment
Hmmm. And may I know why? 🙂