Semalam saya berdebat dengan seorang teman. (Well, siapa sih yang nggak pernah didebat sama Bayik?) Dia cerita, dia barusan ‘menasihati’ seorang teman lain yang barusan mengajukan pengunduran diri alias resign. “Janganlah kau keluar dari perusahaan karena sakit hati pada atasanmu. Mengapa nggak ditimbang baik-baik. Tahan dulu, masa depanmu cerah di sini.” Dan sekian blablabla lainnya.
Dan seorang Bayik, tentu saja langsung nyolot mendengar cerita si teman, karena Bayik tahu persis cerita dari awal sampai akhir tentang kegalauan si anak sampai resign. Lalu mengapa ‘sakit hati’ tidak boleh menjadi pemicu dia untuk keluar?
Semua kita punya hati. Semua kita pasti pernah tersakiti.
Lagipula, resign dari tempat kerja pasti ada alasan. Entah karena mendapat tawaran yang lebih menarik dari perusahaan lain, karena memang sudah nggak nyaman di tempat lama, karena karir yang nggak naik-naik, karena gaji yang juga nggak naik-naik, karena sakit hati sama atasan, karena bosan, ataupun karena: iseng aja.
Bayangkan percakapan seperti ini. “Kenapa lu resign?”
Jawab: “Mmm, nggak tahu ya. Tahu-tahu gue udah ngajuin resign, tanpa sadar. Kenapa ya?”
Absurd banget pembicaraan di atas ‘kan?
Yang juga bikin saya mendebat teman saya itu, adalah mengapa dia ‘menasihati’ si anak setelah keputusan dibuat. Yang ada si anak jadi galau lagi. Jadi bingung apakah keputusannya benar atau nggak. (Well, saya juga nggak ngecek sih reaksi si anak setelah ‘dinasihati’ seniornya itu. Kurang kerjaan banget saya.)
Kalau saya di posisi teman saya, saya akan mendukung keputusan yang telah dibuat. Keputusan itu tidak bisa dianulir, jadi yang bisa kita lakukan adalah memperkuat mental dia untuk menghadapi dunia baru, yang mungkin lebih keras dan kejam dibanding ‘comfort zone’ yang selama ini dia nikmati.
Sakit hati, bisa jadi alasan sah untuk kita keluar dari tempat kerja. Asalkan….
Asalkan sudah dipikir matang-matang. Jangan mentang-mentang sakit hati, lalu prinsipnya “bodo amat, yang penting gue keluar dulu dah, mau nggak kerja juga gak masalah”. Atau “bodolah, kerja di perusahaan abal-abal juga gapapa, yang penting boss gue nggak kayak si Mak Lampir itu”.
Itu baru saya nggak setuju. Sesakit-sakitnya hati yang kita alami selama di dunia kerja, jangan sampai jadi pendek pikir. Been there, done that. Untung Tuhan baik, jadi saya diberi kesempatan lagi untuk memperbaiki diri.
Bayangkan kalau pas sakit hati, pas ada tawaran lebih baik dari company lain, pas dengan paket yang jauh lebih tinggi, dengan power yang lebih besar, lalu nggak boleh gitu mengajukan pengunduran diri? Pas ada perusahaan yang lebih besar, yang berstandar internasional, yang menawarkan pengalaman plus pembelajaran pas kita lagi sakit hati dengan atasan, gimana dong? Tolak aja?
Tolol itu namanya.
Masa’ ya gara-gara sakit hati, lalu kita menolak peluang yang nggak tiap hari mampir. Masa’ ya kita akan bilang: “tunggu ya, saya akan menyembuhkan sakit hati saya dulu dan bertekun di perusahaan saya ini, kalau sudah sembuh sakit hati saya, baru saya terima tawaran situ.”
Absurd banget.
Jadi ya, sah-sah saja merasa sakit hati dengan atasan atau rekan kerja, sah-sah saja keluar dari pekerjaan yang sekarang demi masa depan yang lebih cerah. Asalkan… (duh, asalkan lagi).
Asalkan alasan sakit hati itu jangan jadi alasan resmi pas pengajuan pengunduran diri. Mengapa? Kesannya personal banget. Mencampuradukkan perasaan dengan dunia kerja yang semestinya nggak pakai hati. Cari kek alasan lain. Keluarga membutuhkan saya, sehingga saya musti pulang kampung. Atau, tawaran lain datang dengan segudang harapan untuk masa depan lebih baik, untuk pengalaman yang lebih luas, dan pembuktian kemampuan yang lebih menantang. Atau… cari kek alasan lain, yang penting nggak perlu alasan ‘sakit hati’ itu tertulis hitam di atas putih.
Dan setelah itu, setelah menerima tawaran baru, mengajukan pengunduran diri, nggak perlu berbasa-basi dengan “sebenarnya saya nggak pengin seperti ini”. Bullshit. Kalau nggak pengin resign, ya jangan resign, stay calm dan makan semua tai yang dijejalkan atasanmu yang bikin kamu sakit hati dan jangan mengeluhkan hal-hal yang itu-itu saja. “Sebenarnya bukan ini yang saya mau”. Bullshit, sekali lagi. Kamu sudah resign, lantas sebenarnya mau kamu apa?
Maaf kalau nada cerita saya agak keras. Dunia kerja itu keras. Kejam. Nggak ada waktu untuk bergalau-galau berkepanjangan. It is what it is.
Ada lagi sebenarnya yang ingin saya sampaikan tentang rasa sakit hati tadi. Tapi biarlah jadi bahan postingan saya berikutnya deh, bagaimana cara menghilangkan sakit hati dan ‘move on’ segera dari masa lalu yang kelam. (Drama banget nggak sih kedengarannya. Maafkan hahaha.)
4 Responses
resign boleh, tapi paling gag udah nemu penggantinya yang mateng
Ada lagi sebenarnya yang ingin saya sampaikan tentang rasa sakit hati tadi. bullshit.. sebenarnya.. sebenarnya… whahhahaah. ini cerita serius atau ga sih.. kwkwkw
Saya sangat menginginkan resign, bahkan surat resign sudah saya siapkan berikut tanggal dan tahunnya. Semuanya sudah saya siapkan, tinggal menunggu aset selesai saja untuk menghasilkan cashflow. Doakan teman-teman, hidup terlalu berharga untuk terus jadi babu.
Mantap! Terima kasih sudah mampir & membaca ya. Semoga sukses selalu di jalan pilihannya, Mas. Aamiiin.