Orang jamak mengutip, “Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, namun tetap lebih nyaman menangis di dalam mobil mewah daripada menangis di atas sepeda.”
Kalau mendengar perumpamaan seperti itu, saya cuma tersenyum dan mengamini. Ya, amin baginya, meskipun bagi saya, saya nggak seratus persen setuju dengan perumpamaan tersebut.
Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Ini saya setuju. Setuju banget.
Namun bagian kedua, nggak begitu pas bagi saya.
Karena saya membayangkan, menangis di dalam mobil mewah sendirian akan terasa lebih menyesakkan, ketimbang menangis di atas sepeda namun dikelilingi teman-teman tercinta. Ada yang menawarkan tissue untuk menghapus airmata, ada yang menepuk-nepuk bahu dan menawarkan pelukan hangat untuk mengurangi duka. Ada yang tanpa banyak bicara membantu menyelesaikan masalah, ada yang memang dari sananya cerewet, kembali mengulang-ulang nasihat yang sedari dulu dipetuahkannya.
*****
Menjelang Natal tahun kemarin, kekasih saya datang berkunjung ke Bali. Terus terang, karena keuangan saya belum pulih sepenuhnya, saya nggak bisa membawa dia ke tempat-tempat yang fancy dan hip macam KuDeTa, makan di Warung Made yang tersohor bagi para Jakartan, atau menikmati sunset di El Kabron Uluwatu.
Tapi saya berusaha keras untuk mewujudkan apa yang dia inginkan. Karena kami adalah lovepigs dan bukannya lovebirds, kami berburu babi dan lumayan panjang daftar masakan yang kami icipi. Babi guling, baso babi, sate babi, pork belly, pork ribs, dan babi asap khas NTT.
Saya nggak membawanya ke tempat-tempat mewah. Kami bahkan menikmati sate babi di Puputan Badung. Iya, lapangan pusat kota Denpasar itu setiap sore dipenuhi masyarakat kota yang ingin jogging, atau bermain-main bersama keluarga, sambil menikmati makanan yang dijajakan selingkar lapangan seperti bakso, siomay, srombotan, tipat cantok dan sate babi.
Seporsi sate babi hanya dua belas ribu rupiah termasuk tipat (ketupat).
Kami duduk di samping penjual sate, di pinggir lapangan tanpa beralaskan apa. Kekasih saya lahap menyantap. Ya, segala tentang babi pastilah dilahapnya tanpa malu-malu. Saya tersenyum menatapnya. Dan tiba-tiba hati saya mengamini kata-kata yang popular banget bagi kita: bahagia itu sederhana.
Bahagia itu, seperti cinta, seperti sekian banyak hal di dunia ini, sederhana.
Kita saja yang membuatnya tampak rumit dengan berbagai permainan kata.
Saya bersyukur punya kekasih yang nggak keberatan untuk hidup sederhana. Saya nggak perlu mobil mewah untuk membuatnya terkesan. Atau intan berlian untuk membuatnya lekat selalu pada saya.
Yang saya tawarkan padanya hanya ketulusan. Ketulusan untuk setia mencintai dia. (Okey, stop it here sebelum saya membuat kalian semua muntah karena kedangdutan saya.)
*****
Kembali pada perumpamaan di atas. Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi uang bisa membeli barang-barang atau pengalaman yang membuat kita bahagia. Wait, bahagia, atau hanya senang yang sesaat saja?
Saya nggak munafik. Saya butuh uang, saya ingin punya banyak uang, untuk mewujudkan impian hidup bersama kekasih saya.
Tapi saya nggak mau uang itu menjadi yang terpenting di mata saya, yang membuat saya menilai segala sesuatu berdasarkan nilai nominalnya. Saya menolak untuk menghamba pada uang sehingga lupa bahwa uang itu bukan segalanya. Kebersamaan saya dengan kekasih saya, seperti juga kebersamaan saya dengan para sahabat, keluarga dan orang-orang yang saya cintai, jauh lebih berarti ketimbang momen “menangis di dalam mobil mewah”.
Karena bahagia itu sederhana, dan kebahagiaan sejati tak ternilai harganya, karena itulah segudang uang pun takkan cukup untuk membeli kebahagiaan sejati, kecuali kalau Anda nggak keberatan untuk mendapatkan kebahagiaan imitasi.
3 Responses
LOVE it!!! <3
Beautifully written…. Loving it..
@ Eric & Cisyelya: thanks a lot sudah mampir membaca! GBU 🙂