Minggu sore yang cerah meski saat siang, Bali sempat terguyur hujan.
Bersama teman-teman baik, kami memilih Pantai Double Six untuk menikmati sore. Pantai yang selurusan Pantai Kuta ini cukup popular sebagai tempat menjemput matahari terbenam, dan juga terkenal dengan baksonya. Bakso? Iya, ada satu gerobak yang mangkal di pantai, dekat Hotel Kumala Pantai, yang antriannya bisa sampai mengular gituh.
Kami duduk di kursi pantai, memesan teh botol dan bir Bintang, sembari menunggu pesanan bakso datang. Sore itu pantai lumayan ramai, para pemuja matahari duduk berkelompok di kursi-kursi yang berjajar sepanjang pantai, silih berganti hilir mudik dengan berbagai gaya dan bawaannya. (Maksudnya, ada yang bawa pacar, banyak juga yang bawa balita, atau bawa anjing kesayangan. Kalau kata teman, untuk menjaring perhatian – penting bagi para jomblo – lebih menarik bawa anjing daripada bawa balita. Yaiyalah, jomblo mau bawa balitanya siapa yak. Oke, saya mulai melantur.)
Rame celotehan dari kursi-kursi sekitar mampir di telinga. Semua tampak ceria, berbagi tawa dan cerita. Turis lokal dan turis mancanegara, nggak berjarak, tersatukan oleh angin pantai dan langit cerah meski tetap berawan.
Dan perlahan mulai terdengar bebunyian yang nggak asing lagi di telinga saya. Sekelompok orang menari-nari dan bernyanyi diiringi tetabuhan. Mereka berjalan sambil berjoget-joget, makin lama makin mendekat ke arah saya.
Hare Krishna.
Setiap saya berkunjung ke Pantai Double Six, kelompok yang bisa sampai belasan orang ini nggak pernah luput dari pengamatan saya.
Pun sore itu.
Dua orang gadis bangkit dari kursi pantainya dan ikut melebur dalam kelompok itu, menari-nari seirama. Mereka, sepertinya turis dari ibukota Jakarta, tertawa riang dan menularkan kegembiraannya kepada teman-temannya yang lain yang sibuk memotret-motret dan sesekali ikut menari.
“Indah, bukan?” saya berkata pada teman di samping. “Mereka, Hare Krishna ini, bebas berekspresi, menyatakan kepercayaan mereka tanpa takut dihujat orang-orang yang beda iman. Indahnya keberagaman.”
Seperti Puja Mandala, tempat ibadah lima agama yang berada di satu kompleks. Indah, bukan? Masing-masing bersandingan, menghaturkan puja dengan bahasa dan cara yang berbeda, namun satu tujuan: Tuhan Yang Mahaesa.
Takkan ada kebencian, apabila umat manusia sudah paham apa makna sejati dari perbedaan dan bagaimana indahnya keberagaman.
Amin.