Semua yang doyan berkunjung ke Jalan Dhyanapura di Seminyak, Bali pasti paham betapa sulitnya mencari tempat parkir mobil di sana, terlebih saat malam hari di akhir pekan. Jalan yang nggak seberapa lebar itu dipadati oleh jajaran motor parkir di sebelah kiri, jadi kita musti pandai-pandai cari tempat parkir atau mengalah dengan parkir agak jauh dan jalan kaki menuju tempat hiburan yang nyaris nggak pernah sepi.
Untungnya saya punya langganan tukang parkir di sana. Dan sepanjang pengalaman bertahun-tahun, hanya seperseribu kemungkinan tukang parkir saya itu gagal memenuhi keinginan saya. Kalau itu terjadi, artinya memang Jalan Dhyanapura benar-benar penuh malam itu dan sudah nggak ada celah kemungkinan untuk parkir mobil.
Seminggu lalu, saya dan teman-teman bertekad melewatkan malam di Dhyanapura. Begitu mobil memasuki jalan yang terkenal sebagai Jalur Gaza (di Bali, tentunya) itu, saya langsung mencari tukang parkir favorit saya. Begitu menemukan sosoknya, sembari menjalankan mobil perlahan dan membuka kaca jendela, saya langsung berseru,” Parkir, Boss!” Dan dia memberi kode agar saya terus menjalankan mobil dan berpesan,” Puter dulu ya, nanti balik lagi!”
Ya, itu ritual biasa bagi saya apabila Jalan Dhyanapura lumayan padat namun si tukang parkir masih punya spot buat mobil saya. Saya terus saja menjalankan mobil, melewati jalanan padat merayap mendekati macet, sampai lewat kepadatan itu dan menemukan tempat untuk berputar, lalu kembali lagi melewati jalanan padat merayap mendekati macet, sampai kembali ke tempat tukang parkir andalan saya. Dan seperti biasa pula, beliau sudah siap. Sepetak tempat kosong siap untuk parkir mobil saya.
Bertahun-tahun saya menggunakan jasa tukang parkir itu, dan kemarin saya terpikir bahwa sebenarnya ada yang bisa saya pelajari dari Bapak yang hingga kini saya tidak tahu namanya.
1. Lakukan yang terbaik.
Si Bapak itu tanpa segan-segan menggeser motor-motor yang parkir, merapikannya, agar petak yang semula tidak memungkinkan buat parkir mobil, jadi kosong dan siap untuk diparkiri. Itu yang bikin saya senang dengan si Bapak, berbeda dengan kebanyakan tukang parkir yang hanya muncul saat kita mau pulang dan siap menagih uang parkir tanpa peduli sebelumnya kita butuh bantuan.
2. Setia pada janji.
Dari contoh kejadian di atas, waktu yang saya butuhkan untuk berputar kembali menemui si Bapak, bisa lebih dari limabelas menit. Selama itu, saya yakin banyak mobil di belakang saya yang siap untuk menempati petak kosong itu, namun si Bapak tetap setia menunggu mobil saya muncul kembali, karena janji adalah janji.
3. Balaslah kesetiaan dengan kesetiaan pula.
Demikian pula sebaliknya. Terkadang, saat saya sedang dalam proses berputar itu (maafkan bahasa saya yang acakadut ini), saya menemukan spot parkir yang kosong. Namun saya memilih untuk setia pada si Bapak karena saya tahu dia juga setia pada saya. Padahal, gampang saja saya untuk parkir di mana saja, setelah itu pulang cari rute lain biar nggak ketemu si Bapak. Tapi yha nggak gitu caranya, ‘kan?
4. Teliti berhitung.
Nggak, saya nggak kegedean rasa bahwa si Bapak memperlakukan saya sepesial. Kalau dinalar, tindakan si Bapak untuk menyingkirkan dan merapikan motor-motor demi untuk parkir mobil saya, itu logis kok. Anggap saja 1 mobil = 5 motor parkir. Penghasilan yang didapat = 5 x Rp. 2,000 = Rp. 10,000(normal sih seribu perak, tapi anggaplah harga spesial akhir pekan). Sedangkan saya setiap parkir mobil, bisa memberinya minimal Rp. 20,000. Ya jelaslah dia pilih saya daripada 5 motor parkir, ya to?
Itu empat hal yang kemarin terpikir bahwa saya bisa belajar dari tukang parkir favorit saya ini. Pelajaran sederhana, namun sering dilupakan. Sepanjang pengalaman saya di dunia kerja, sudah terlampau sering saya dikhianati oleh janji. Saat bertemu, manis-manis bilang akan support dan seterusnya. Saat ditagih, eh ternyata omongannya dianulir dengan berbagai alasan. Juga dalam berhitung, nggak selamanya harus menang kuantitas, kalau memang target kita adalah kualitas.
Ada “Amin”, saudara-saudara?
satu Respon
Amin