Belakangan ini saya rajin buka Kaskus. Gampang ditebak, saya adalah satu dari sekian banyak umat manusia yang terpana oleh cerita Genta, “Diary Keluarga Tak Kasat Mata”. Agak telat ngikutinnya. Saya baru ngeh keberadaannya setelah booming dan ada teman yang posting di Path. Setelah itu saya kecanduan, mantengin terus thread si Genta sambil deg deg serrr gitu setiap baca kisahnya.
Pacar suka ngetawain hobi saya yang baru ini. Soalnya saya penakut. Gara-gara baca kisah horor ini aja, saya sempat nggak berani turun lift sendirian di malam hari.
Dan banyak yang nggak percaya kalau sebenarnya saya penakut. Ada banyak cerita di mana saya tampil sebagai si pemberani.
Bukan maksud saya ikut-ikutan Genta ya, tapi kali ini saya mau menulis tentang pengalaman-pengalaman aneh yang saya alami sedari kecil. Kata pacar, biar abadi gitu ceritanya, nggak cuma jadi bedtime stories koleksi pribadi hahaha.
Pengalaman saya nggak ada seram-seramnya sih. Percayalah, banyak teman saya yang pengalamannya jauh lebih seram….
*****
Waktu SD, saya punya kesenangan buruk. Menangkap kupu-kupu dan capung, lalu mengikat buntutnya dengan benang. Lalu saya permainkan aja seperti layaknya layang-layang, mereka terbang tapi nggak bisa bebas karena terikat benang yang saya tarik ulur seenaknya. Kejam ya?
Di tengah keasikan saya dan teman-teman, sesosok yang mirip ibu saya melintas. Mengapa saya katakan mirip? Karena menurut saya, ibu saya nggak setinggi itu. Jadi saya melongo aja ketika dia berkata,” Jangan suka main begini, kasihan kupu-kupunya.”
Saya bengong aja. Sosok yang mirip ibu itu melanjutkan langkahnya menyusuri gang menuju jalan raya, saya nggak ngikutin ke mana dia pergi karena saya langsung lari pulang ke rumah menghentikan permainan yang kejam itu.
Dan di rumah, ternyata ibu sedang asyik ngobrol dengan kakak-kakak. Nah loh, benar ‘kan perasaan saya bahwa yang menegur saya tadi adalah sesosok yang mirip ibu. Bukan ibu saya beneran. Nggak mungkin setelah menegur saya lalu dia pulang ke rumah secepat itu, karena saya lihat dia pergi ke jalan raya menjauhi rumah.
*****
Masih saat saya SD, saya ingat perjalanan saya dari rumah ke pasar tradisional yang kurang lebih 600 m jaraknya. Dalam rangka mencari bahan prakarya, saya jalan kaki siang-siang ke Pasar Bulu. Di jalan, saya berpapasan dengan seorang wanita yang menurut saya aneh. Badannya tinggi besar, pakai baju putih gombrong-gombrong (duh, apa ya, semacam kegedean gitu deh), rambutnya panjang dan matanya hitam nan murung. Dia nggak tersenyum.
Pulang dari pasar, elhadalah saya bertemu dia lagi. Tapi ya saya nggak kepikiran apa-apa, cuma bengong aja, kalau kebetulan kok ya kebetulan banget.
Nggak cuma itu. Di dekat katedral, saya melihat satu anak kecil berkepala gundul cuma pakai celana gombrong dan nggak pakai baju. Telanjang dada. Duduk di pagar sambil ketawa-ketawa. Saya mah gak peduli, terus jalan ke rumah.
Lah di gang rumah saya, kok ya saya melihat anak kecil serupa tapi jalan kaki. Gundul, celana gombrong tanpa baju.
Waktu itu saya cuma mikir, wah ini jangan-jangan tuyul yang terpisah dari temannya. (Ada yang bilang, tuyul itu harus berdua-duaan ketika menjalankan aksinya.)
*****
Menginjak SMA, yang saya ingat adalah perjalanan bersama keluarga melewati Alas Roban. Kala itu malam hari, hujan amat sangat lebat. Bapak hati-hati sekali menyetir, maklum mobil tua. Saya yang duduk dekat jendela, mendadak melihat sesosok nenek sedang jongkok di pinggir jalan.
Ngapain juga malam hari, hujan lebat pun, jongkok di jalan gitu?
Saya cuma diam aja nggak cerita ke siapa-siapa.
Nah ngerinya malah berbelas tahun kemudian. Ketika saya berkumpul dengan ibu dan kakak, seperti biasa kami cerita ngalor ngidul sampai ke cerita-cerita masa lalu. Dan ibu menyebut tentang perjalanan kami pulang dari Pekalongan melewati Alas Roban. “Masa’ ya, ada nenek-nenek jongkok di tepi jalan….”
“Wait, wait,” saya memotong. “Ibu lihat juga nenek itu?”
Ibu membalas,” Lho, kamu juga lihat?”
Ternyata kami sama-sama melihat tapi sama-sama memendam, namun sama-sama tidak melupakan. Aneh.
****
Saya kuliah di Yogyakarta. Nah, di kota ini barulah banyak cerita seru nan menyeramkan, meskipun tetap saya beruntung nggak sekalipun memergoki mereka yang tak kasat mata. Kalau sebatas digoda sih, sering. Mendengar suara lampor (pasukan Ratu Kidul) yang rameee banget tapi nggak ada wujudnya, juga pernah. Melihat keris terbang, pernah. Dengar gamelan tengah malam tanpa ada sumbernya… hmm, saya lupa pernah apa nggak.
Yang paling terasa nyata waktu asrama putri tempat saya tinggal mendapat gangguan.
Ceritanya udah malam. Lewat tengah malam, sepertinya. Sepertinya semua penghuni sudah tidur, kecuali saya yang masih merem melek golak-golek di atas kasur. Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu. Suara ketok-ketok pintu dengan irama yang khas.
“Siapa?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan saya.
Ah sudahlah, mungkin teman kost yang iseng. Sudah biasa.
Eh ternyata nggak berapa lama, suara ketukan terdengar lagi, kali ini dari kamar sebelah. Wah, mungkin ada teman yang benar-benar butuh bantuan, sampai ketok sana ketok sini. Sigap saya bangun dan keluar kamar.
Saya menuju ke kamar tempat saya mendengar suara ketukan terakhir. Nggak ada siapa-siapa di sana. Saya berbalik menuju kamar tengah. Sepi. Saya lanjutkan ke tangga (kamar saya di lantai dua), dari sana saya bisa melihat lantai tiga yang adalah lantai jemuran. Sama, nggak ada siapapun. Sepiiii banget rasanya malam itu. Saya turun tangga, sampai di tengah saya tengok ke lantai satu. Gelap dan sepi, nggak ada tanda-tanda kehidupan.
Baiklah, sambil menarik napas lega (karena saya pikir awalnya ada orang luar yang iseng), saya kembali ke kamar.
Sambil berbaring, saya baru bisa berpikir. Nah, kalau nggak ada orang, siapa yang ketuk-ketuk? Spontan saya menarik selimut dan nggak mau buka mata lagi sampai pagi.
Pagi hari, seperti biasa saya beredar dari kamar ke kamar. Ya kali-kali ada sarapan yang bisa diembat. Sampai di satu kamar, iseng saya mengetuk pintu dengan irama khas seperti yang saya dengar semalam. Langsung, teman saya nyeletuk, “Oh, jadi semalam itu kamu?”
“Hah? Kamarmu diketuk juga? Bukan, itu bukan aku.”
Waaah, langsunglah gempar satu asrama, terutama anak-anak di lantai dua. Teman saya mengaku diketuk-ketuk, namun ketika ia mau buka pintu, ia curiga mengapa tak nampak bayangan orang (kordennya bukan korden yang tebal, dan biasanya dari dalam kamar terlihat bayangan jika ada orang di sekitar pintu kamarnya). Alhasil ia batal buka pintu.
Yang kamarnya dekat tangga mengaku mendengar suara itu, lantas ia berseru,” Siapa?” Nggak ada jawaban, tapi dia mendengar langkah kaki dan langsung berpikir,” Oh, itu Ayik.” BTW, Ayik itu nama panggilan saya. Padahal, justru saat itu saya sedang mencari siapa tukang ketuk pintu yang tak terlihat itu.
(Kalau baca cerita ini, jadi bingung ‘kan? Saya ini penakut atau pemberani?)
Asrama putri kami memang banyak menyuguhkan peristiwa aneh. Tapi waktu itu sih nggak berasa seram. Barang diumpetin, sudah biasa. Dilemparin kerikil entah dari mana sumbernya, biasa. Teman pernah melihat ada kucing masuk kamar, lompat ke kasur dan berselimut ria. Ketika dipukul-pukul, kucingnya sudah nggak ada.
*****
Masih di Yogyakarta saat jadi mahasiswa. Waktu itu masa Lebaran. Seperti biasa para mahasiswa pulang mudik kecuali beberapa yang kurang kerjaan seperti saya. Kebetulan, teman saya dititipi rumah temannya yang mudik. Sebut saja namanya Dian. Kata Dian, daripada rumah kosong dan kami pun merana di asrama, mengapa nggak jaga rumah aja? Kami setuju. Akhirnya kami bertiga menginap di rumah besar nan mewah itu (mewah, bagi kami yang mahasiswa kantong pas-pasan ya).
Senang banget deh kami, bisa nonton tivi gede (biasanya tv 14 inch ditonton rame-rame), masak-masak, kulkas penuh bahan makanan (dan teman sepulang dari mudiknya ternganga: benar-benar kulkasnya bersih sih sih).
Kecuali kalau malam. Agak serem gimana gitu, karena rumah gede dan cuma kami bertiga di rumah itu.
Untuk menambah keramaian, kami mengundang satu teman cowok untuk datang makan bersama. Ketika si cowok datang, dia protes pada kami. “Gimana sih kalian, ditelpon nggak pernah ada.”
“Hah? Kamu telpon ke mari? Siapa yang ngangkat?” Kami bertiga merasa nggak pernah menerima telepon dari dia.
“Ada bapak-bapak. Aku mau bicara sama kamu, dibilangnya nggak ada orang.”
Errr… bapak-bapak?
“Di rumah ini cuma kami bertiga. Cewek semua. Salah sambung ‘kali.”
Teman cowok kami mulai gelagepan. “Nggak ah. Aku udah nanya bener ‘kan ini nomor telepon rumahnya Dian, bapak itu bilang iya dan Dian lagi mudik katanya. Trus aku bilang mau ngomong sama temennya Dian yang jaga rumah, eh dia bilang nggak ada orang.”
Okay. Sudahlah. Lupakan.
Malam harinya, kami bertiga (teman cowok sudah pulang seusai makan) tidur sekamar. Dua teman saya sudah ngorok di tempat tidur berukuran queen. Saya masih asik main game di komputer di samping tempat tidur.
Dan….
Mendadak terdengar suara yang membuat bulu kuduk saya langsung berdiri. Nggak cuma itu, saya langsung lompat ke tempat tidur, mendesakkan tubuh di antara dua teman saya. Sumpah, saya merinding banget. Saya langsung menutup mata dan nggak mau buka mata sampai pagi.
Pagi harinya, teman saya heran mengapa saya tidur tanpa mematikan komputer.
Ya mana sempat. Begitu dengar suara mbak kunti dekaaaat banget seperti nempel di jendela kamar di samping tepat tidur, saya langsung lompat nggak pakai babibu. Suaranya ya seperti yang di film-film gitu deh. Dan jangan bilang saya berkhayal, lha wong nggak ada mikir apa-apa, saya asik main game tiba-tiba disamperin gitu.
(Eh konon, kalau suara beliau-you-know-who itu dekat, berarti beliau jauh ya? Dan kalau suaranya jauh, berarti sebenarnya dia dekat? Entah, saya belum riset tentang kebenarannya.)
*****
Ini kisah terakhir deh. Yang printilan gak penting saya skip aja.
Ceritanya kami sedang menjalani Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Catur, bertempat di Wisma Haji Ciputat. Kompleks yang amat sangat luas. Saat itu, nggak kayak jaman sekarang, Kejurnas dilakukan bisa memakan waktu seminggu-dua minggu.
Di hari-hari pertama, nggak ada cerita apa-apa.
Setelah lewat seminggu, barulah beredar cerita seram. Ada penampakan seorang pangeran berbaju Sunda. Ada yang merasa dipanggil-panggil cewek cantik dari luar ruangan, ketika dia berlari mendekat, dia nggak sadar dia menabrak pintu kaca pemisah ruangan. Alhasil dia menderita luka-luka terkena pecahan kaca, sementara cewek cantik yang melambai-lambai itu entah ke mana.
Wisma benar-benar dihantui suasana seram.
Malam itu, saya nggak bisa tidur. Padahal esoknya adalah pertandingan penting yang menentukan hidup dan mati saya (halah). Teman sekamar saya sudah tidur pulas di ranjang seberang. Akhirnya saya memutuskan keluar kamar.
Kami menginap di satu cottage yang berisi 3-4 kamar. Sepi. Semua ada di kamar masing-masing. Maklum, sudah jam tiga jelang jam empat pagi.
Saya cuek keluar ke teras cottage. Duduk di pagar sambil menyalakan rokok (saya masih merokok kala itu). Sambil menghisap dan menghembuskan rokok, saya melihat ke sekeliling. Ke pepohonan yang rimbun sambil membatin, katanya kemarin ada penampakan di situ, kok sekarang saya nggak lihat apa-apa?
Beberapa batang rokok saya habiskan sebelum akhirnya kembali ke kamar dan memaksa diri untuk tidur.
Herannya, meski saya kurang tidur, saya memenangkan pertandingan dengan spektakuler. Brilian banget deh partai (=permainan) saya. Nah, karena saya semalamnya kurang tidur, hari itu saya pulas banget tidurnya. Tidur lebih awal dan bangun di pagi hari dengan segar bugar.
Lalu saya merasa aneh. Teman sekamar saya mendadak jadi rajin banget. Baju-baju kotor kami yang berserakan di kamar, dia beresin. Kamar jadi rapi. Tapi… dia mengajak saya untuk pindah tidur ke kamar teman kami yang lain. Yang memang lebih besar dan muat berempat. Saya heran dan pengin tahu alasannya. Dia menolak.
Dengan sedikit ngambek, akhirnya keingintahuan saya dipenuhi. Teman sekamar saya bercerita, di malam saya pulas tidur akibat kecapekan setelah pertandingan penting itu, dia malah nggak bisa tidur. Dan ketika dia melihat ke arah pintu, nampak sesosok pangeran Sunda menatap ke arah dia. Teman saya bengong dan terpaku karena… menurut dia, sosok itu tembus pandang. Teman saya bisa melihat jelas baju-baju yang kami gantungkan di pintu, terlihat di balik sosok pangeran Sunda tembus pandang itu.
Dan malam itu, ketika teman saya mendapat penampakan, saya dengan asiknya tertidur pulas. Hehe.
*****
Demikianlah, printilan-printilan cerita saya yang nggak berarti. Saya percaya adanya makhluk tak kasat mata, tapi saya selalu mohon janganlah saya dipertemukan secara langsung dengan mereka. Saya percaya mereka ada, sebagaimana saya percaya alien itu ada. Setiap saya merasa ada kehadiran mereka di sekeliling, saya selalu membatin bahwa saya nggak berniat mengganggu.
Sepertinya, pembahasan lebih lanjut tentang dua dunia ini lebih baik ditaruh di tulisan mendatang ya. Sampai jumpa di postingan berikutnya!